Muliakan Istrimu agar Engkau Dimuliakan!
Saling menjaga dan memuliakan pasangan, adalah kuunci utama keutuhan rumah-tangga
PERCERAIAN di negeri ini kecenderungannya masih
meningkat. Data perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat
drastis. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA)
tahun 2012 mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan
perceraian hingga 70 persen. Data Badilag, tingkat perceraian sejak
2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. (Republika
online, Selasa 24/1/2012).
Data tersebut hanya sampel sederhana dari data seluruh negeri.
Tetapi, hal itu sudah cukup untuk menjadi warning, pelajaran, dan
pengalaman bagi keluarga Indonesia untuk membina keutuhan rumah tangga.
Sebab hakikat dasar perceraian bukan semata-mata ekonomi. Terbukti,
kalangan menengah ke atas juga tidak ada yang selamat dari badai
perceraian ini.
Apalagi, di kalangan selebriti. Perceraian seolah menjadi bagian dari gaya hidup. Dalam beberapa kasus, faktor utama yang melatarbelakangi kasus
perceraian selain ekonomi adalah rendahnya komitmen untuk membina rumah
tangga sebagaimana diajarkan Baginda Nabi. Padahal, perceraian adalah perkara halal namun sangat dibenci oleh-Nya.
Sempurnakan Akhlak
Di tahun-tahun belakangan ini, kasus perceraian pasangan di Indonesia
ternyata lebih banyak diajukan atas inisiatif sang istri dibandingkan
oleh suami. Hal ini terlihat dari data 346.446 pasangan yang bercerai di
sepanjang 2012 yang diambil dari pengadilan agama di seluruh Indonesia.
"Tahun 2012 pengadilan agama termasuk mahkamah syariah menangani
perkara 476.961 kasus. Perkara ini naik 11,52 persen dari tahun
sebelumnya yang menerima 363.041 perkara," demikian lansir Mahkamah
Agung (MA) dalam siaran persnya. (Detiknews.com, Kamis, 14/3/2013).
Banyaknya angka perceraian akibat gugatan dari pihak istri sungguh
mengherankan. Dari bentuk sifat wanita yang lembut, sangat kecil
kemungkinan istri menggugat suami jika istri merasakan kelembutan dan
keindahan akhlak suami.
Kecil kemungkinan sang istri menggungat sang suami, manakala suaminya
orang tidak bermasalah. Oleh karena itu, banyak disebutkan dalam nash,
tugas utama suami adalah menyempurnakan akhlaknya, terkhusus terhadap
istri dan keluarga. Jika suami tidak bermasalah, kecil kemungkinan istri
dan anak-anak mereka bermasalah.
Rasulullah pernah bersabda, "Mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kaian adalah yang
paling baik akhlaknya terhadap istri-istrinya." (HR. Tirmidzi).
Dengan demikian maka pencegahan terbaik dari terjadinya perceraian
adalah dengan menyempurnakan akhlak. Suami dan istri hendaknya
berlomba-lomba untuk kesempurnaan akhlak, sehingga akan tercipta suasa
cinta penuh kebahagiaan. Misalnya, suami dan istri berlomba untuk selalu
berkata benar, peduli dan peka terhadap pasangan.
Dengan cara seperti itu maka tidak akan ada ruang bagi egoisme,
apalagi buruk sangka yang merupakan akar dari segala keburukan.
Sebaliknya akan tercipta budaya saling jaga dan saling bela antara suami
dan istri, sehingga benih cinta yang tertanam kuat pada saat ijab qabul
akan semakin menghujam ke dalam hati seiring dengan perjalanan waktu
hingga tiba saat perpisahan abadi yakni kematian.
Hal itulah yang terjadi pada rumah tangga Nabi bersama Siri Khadijah.
Perbedaan dalam umur dan status tak membuat keduanya gagal membina
keharmonisan rumah tangga.
Sebaliknya, justru kian harmonis, mesra dan membahagiakan. Rasul
berkata, Khadijah adalah wanita terbaik. Ia mempercayai Nabi ketika
orang mendustakanya. Ia membela Nabi ketika orang mencacinya.
Khadijah juga sangat mulia akhlaknya. Terhadap Nabi ia selalu hadir
sebagai obat. Ia selalu mampu hadir menenangkan kegelisahan suami,
bahkan meneuhkan keyakinan dan langkah-langkah suami. Khadijah selalu
menyebut kebaikan-kebaikan suaminya kala bertatap muka. Maka, wajar jika
Nabi tak pernah bisa lupa dengan Khadijah meskipun telah ada Aisyah.
Mengapa, lebih karena akhlaknya.
Jika kesempurnaan akhlak keluarga Muslim negeri mewujud sedemikian
rupa, tentu perceraian tidak akan terjadi seperti jamur di musim hujan.
Ali adalah suami yang tidak memiliki kekayaan materi, malah sangat
kekurangan. Tetapi Fatimah tak pernah menggugat suaminya apalagi untuk
bercerai.
Demikian pula dengan Salman Al-Farisi. Beliau juga orang yang hidup
sangat sederhana. Tetapi istrinya tidak pernah menggugat cerai. Mengapa,
karena keduanya sebagai suami senantiasa menyempurnakan akhlaknya.
Jadi, jelas tangkal segala keburujan dengan akhlak mulia. "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak," demikian ungkap Nabi.
Berkata Baik
Dalam hadits riwayat Bukhari disebutkan, "Berkata baik atau diam."
Hadits ini wajib diterapkan dalam kehidupan rumah tangga sebagai media
awal selalu mampu berkata baik dalam pergaulan masyarakat.
Dalam hal memanggil nama saja Rasulullah selalu memanggil dengan sebutan Ya humairah
(wahai yang kemerah-merahan pipinya, red). Berbeda dengan kebanyakan
suami yang memanggil istrinya dengan sekedar menyebut nama pendeknya.
Tetapi setidaknya, sebagai suami hendaknya kita tidak memanggil istri
sendiri seperti teman-teman memanggilnya.
Dalam konteks lebih umum, suami-istri hendaknya membiasakan diri
berkata baik. Misalnya selalu mengucapkan perkataan yang membahagiakan
pasangan. Dan, jika memang benar-benar tidak suka, sebaiknya diam dan
bersegera berkata baik pada hal lainnya.
Lebih dari itu suami istri wajib berkata baik kepada orang lain
perihal pasangan sendiri. Tidak berkata buruk tentang pasangan kita
kepada siapa pun. Karena selain akan merugikan pasangan sebenarnya hal
semacam itu sama sekali tidak memberi manfaat apa pun. Kecuali kita
bercerita untuk kepentingan membina keluarga menjadi lebih harmonis
kepada orang yang ahli dalam soal keluarga.
Suatu ketika Rasulullah ditanya oleh seseorang, "Apa hak istri salah seorang di antara kita?" Beliau menjawab, 'Wa la Tuqobbih (janganlah engkau menjelek-jelekkannya) (HR. Ahmad).
Allah berfirman
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً
غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu [246]. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS: Ali Imran: 59)
Artinya seorang istri tidak boleh dihina, dicaci, atau dikatakan
kepadanya perkataan yang buruk. Termasuk dilarang berkata, 'Semoga Allah
memburukkanmu'. Istri haruslah dimuliakan agar ia juga memuliakan kita.
Dengan demikian maka tidak pantas suami istri yang sudah saling
percaya menerapkan perilaku buruk dalam berumah tangga. Sebaliknya,
suami istri harus berlomba memperbaiki akhlak dan selalu berkata baik
terhadap pasangan. Jika itu dapat direalisasikan, Insya Allah
pertengkaran apalagi perceraian akan jauh dari tali pernikahan yang lama
dibina dan didamba membahagiakan.
0 komentar:
Posting Komentar