Jangan Berprasangka Buruk
“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.” (QS al-Hujurât [49]: 12)
Suatu ketika Fulan ingin melaksanakan shalat Jum’at. Saat ia memasuki masjid, para jamaah telah mengisi separoh dari ruangan tersebut. Mereka duduk bersimpuh sembari menunggu khutbah Jum’at. Selesai berwudhu, sesegera saja Fulan mengisi shaf yang kosong dan ikut larut dalam kesyahduan suasana sebelum shalat jumat.
Beberapa saat kemudian, salah satu dari jamaah yang bertindak sebagai muadzin maju dan berdiri di samping mimbar. Sebelum mengumandangkan adzan, ia menyuruh para jamaah untuk maju dan mengisi shaf-shaf yang kosong. Karena shaf yang ada di depan Fulan telah terisi, maka ia tetap duduk di tempat. Sekitar terpaut tiga jamaah di sebelah kirinya, ia melihat ada shaf yang kosong. Tempat tersebut terus saja kosong hingga adzan selesai dikumandangkan. Fulan memandangi orang yang ada di belakang shaf itu. Orang itu tak bergeming dari tempatnya. Ia tetap saja diam dan tak mempedulikan shaf tersebut.
Orang-orang yang ada di sampingnya mulai risih dengan sikapnya itu. Kengganannya maju mengisi shaf itu terlihat sangat nyata dan jelas. Padahal orang yang ada di sebelahnya telah menyuruh ia untuk maju. Seakan angin lalu, ia tak menghiraukannya. Fulan yang sedari tadi melihatnya juga menjadi risih dengan kelakuan orang tersebut. Ia kurang suka dengan sikap sombong yang ditunjukkan oleh orang itu. Fulan yakin bahwa orang-orang yang ada di sampingnya itu pun juga tak suka dengan sikapnya. Oleh karena itulah, mereka sengaja tidak mengisi shaf tersebut, berharap sang objek paham dan mau maju ke depan. Sayangnya, sampai khutbah kedua selesai, shaf tersebut masih saja kosong. Orang itu tetap saja tak bergeming dari tempatnya
Tatkala semua orang berdiri untuk melaksanakan shalat Jum’at, orang itu masih saja duduk dan hanya lihat sana sini. Shaf di depannya masih saja dibiarkan kosong. Sepertinya orang-orang ingin membuatnya jera dengan sikap sombongnya tersebut. Mereka tetap dengan sengaja tidak mengisi shaf itu. Akhirnya orang itu berdiri dan berjalan ke depan. Semua orang terkejut dengan apa yang dilihatnya, tidak terkecuali si Fulan. Ia berjalan ke depan dengan tertatih-tatih. Ternyata orang tersebut lumpuh. Fulan beserta orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi merasa tak enak hati dengan sikap curiga yang tadi mereka miliki. Mungkin inilah alasan kenapa orang tersebut tak segera mengisi shaf tersebut. Ia adalah orang lumpuh. Ternyata apa yang dipikirkan oleh Fulan dan orang-orang di sekitarnya, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Prasangka Buruk, Pemutus Ukhuwah Islamiyah
Cerita di atas merupakan salah satu dari sekian banyak cerita tentang prasangka buruk. Masih banyak cerita lain yang beredar di masyarakat. Lalu bagaimanakah Islam menanggapi hal tersebut?
Prasangka buruk dalam Islam disebut su’ul zhan (سوء الظنّ). Lawannya adalah husnul zhan (حسن الظنّ) yaitu prasangka baik atau berbaik sangka. Prasangka buruk merupakan pendapat anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui, menyaksikan, atau menyelidiki sendiri. Hal ini sebenarnya dapat merusak ukhuwah dan tali silaturrahim, karena dapat menimbulkan fitnah dan itu dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu, hal ini sangat ditentang dalam Islam. Bahkan Allah mengumpamakan dosa fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan. Sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah [2]: 191 dan al-Baqarah [2]: 217.
Sesungguhnya sifat su’ul zhan dapat memutus ukhuwah Islamiyah dan tali silaturahmi. Padahal sebagai seorang muslim, sudah seharusnyalah saling menghormati dan menghargai, baik sesama muslim maupun kepada manusia secara umum. Kita juga diwajibkan untuk saling tolong-menolong. Bagaimana mungkin hal itu bisa terwujud, sedangkan di dalam hati masih ada prasangka buruk. Yang tumbuh justru sebaliknya yaitu rasa permusuhan dan saling membenci tanpa ada dasar dan alasan sama sekali.
Bahkan Umar bin Khaththab t melarang prasangka buruk, meskipun itu hanya terhadap sebuah ucapan yang keluar dari mulut saudara. Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam al-Zuhd, dan diriwayatkan juga oleh selainnya, bahwa ‘Umar pernah memberikan nasihat: “Janganlah sekali-kali engkau menyangka dengan prasangka yang buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari (mulut) saudaramu, padahal kalimat tersebut masih bisa engkau bawakan pada (makna) yang baik.”
Pada dasarnya, konsekuensi dari sebuah ukhuwah adalah kejujuran, kebaikan dan ketaatan. Sedangkan prasangka buruk terhadap orang lain berseberangan dengan konsekuensi dari ukhuwwah tersebut. Ujung-ujungnya yang terjadi nantinya adalah terputusnya ukhuwah yang telah terbangun sedemikian rupa.
Prasangka Buruk adalah Perkataaan Paling Dusta
Rasûlullâh r bersabda: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْث yang artinya “Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR Muslim). Akdzabul Hadits dapat pula diartikan sebagai ‘ucapan yang paling dusta’, ‘paling dustanya perkataan’, ‘berita yang paling dusta’, ‘kedustaan besar’, dan lainnya. Meskipun dengan redaksi yang berbeda, semua terjemahan tersebut mengandung esensi dan maksud yang sama, yaitu prasangka itu merupakan sebuah ucapan atau perkataan yang paling dusta.
Imam al-Nawawi berkata untuk menjelaskan ucapan al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah I memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja.” (Al-Minhaj, 16/335)
Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh, bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni atau tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 8/28). Pernyataan di atas menjelaskan bahwa dosa dari prasangka buruk muncul ketika seseorang telah memiliki zhan, kemudian terus bersemayam di hati hingga akhirnya ia mengucapkannya. Apalagi jika itu tidak beralasan dan tidak didukung oleh bukti-bukti yang jelas.
Meskipun begitu, penulis tetap mengajak kepada seluruh pembaca dan kepada penulis sendiri untuk tidak membangkitkan prasangka itu walaupun hanya di dalam hati. Jangan biarkan prasangka itu bercongkol dalam hati walaupun hanya sedikit. Sesungguhnya prasangka itu berawal dari hati, dan kemudian berlanjut pada ucapan yang tidak-tidak, seperti ngata-ngatain, menggunjing, membicarakan seseorang, gosip, menyebarkan isu, menjelek-jelekkan orang, dan lain sebagainya.
Seperti cerita di awal tulisan ini. seandainya Fulan tidak tahu kelumpuhan yang dimiliki orang tersebut, mungkin saja selepas pulang dari shalat Jum’at, ia akan mencari teman dan kemudian menceritakan kisahnya tersebut. Ia akan menjelek-jelekkan orang tersebut dan mengatakan bahwa perbuatan orang itu salah. Padahal ada alasan tertentu yang menyebabkan orang itu melakukannya. Sufyan rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam atau menyimpannya dan tidak membicarakannya maka ia tidak berdosa.”
Epilog
Setidaknya ada beberapa cara untuk menghilangkan munculnya prasangka buruk. Pertama, mendahulukan prasangka baik daripada prasangka buruk. Ini dapat diartikan dengan selalu berpikir positif kepada orang lain. Segala sesuatu yang kita dengar dan lihat dapat menimbulkan prasangka baik atau buruk. Tergantung dari cara kita menanggapinya. Oleh karena itu, selalu dahulukan prasangka baik adalah pilihan utama. Dengan berprasangka baik, maka kita tidak akan terkotori oleh bisikan-bisikan setan yang terus membumbui pemikiran kita dengan prasangka buruk.
Kedua, mencari alasan-alasan positif bagi orang lain saat mereka melakukan kekeliruan. Semua manusia pasti melakukan kesalahan. Namun tidak mesti kesalahan itu kita tanggapi dengan cara yang buruk. Bisa jadi kesalahan tersebut dilakukan karena ketidaksengajaan. Tinggalkan sikap mencari-cari kesalahan orang lain.
Ketiga, jauhi sikap suka menggali-gali rahasia dan membicarakan aib orang lain. Sikap ini sangat berdekatan dengan prasangka buruk. Dari sikap inilah muncul prasangka buruk yang pada akhirnya menimbulkan fitnah.
Semoga kita semua selalu dilindungi oleh Allah I dari sifat-sifat
tidak terpuji. Semoga kita dapat menjaga diri kita dari godaan syaitan
yang terkutuk.
Wallâhu ‘alam bi al-shawwâb.
Muhammad Qamaruddin
Jur. Ekonomi Syari’ah ‘10 & Sekretaris Umum KODISIA
0 komentar:
Posting Komentar