Kau Tak Kenal Dirimu dan Tak Kenal Dirinya
Saudaraku, semoga Allah mengokohkan imanku dan imanmu… perjalanan
hidup ini acapkali kita lalui dengan ‘ketidaksadaran’. Bukan linglung,
pingsan, atau hilang ingatan. Akan tetapi karena kita tidak sadar
tentang hakekat diri dan kedudukan kita serta kita tidak sadar betapa
agung hak Rabb yang telah menciptakan kita atas diri kita. Berangkat
dari ‘ketidaksadaran’ itulah muncul ‘penyakit ganas’ berikutnya yang
bernama ketidaksabaran.
Tentang hakekat diri dan kedudukan kita, maka bacalah firman-Nya
(yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Kita adalah hamba
yang harus menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apa saja.
Adapun mengenai keagungan Rabb (Allah) yang telah menciptakan kita, maka
bacalah firman-Nya (yang artinya), “Segala puji bagi Allah, Rabb seru
sekalian alam.” (QS. al-Fatihah: 1). Allah lah sosok paling berjasa
kepada kita dan yang paling layak untuk mendapatkan cinta.
Tatkala seorang hamba telah kehilangan dua buah ilmu ini ilmu
tentang hakekat dirinya dan ilmu tentang keagungan hak Rabbnya maka
pupuslah harapan untuk menggapai kebahagiaan yang sebenarnya. Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Seorang hamba akan sampai pada tujuannya
-dengan meniti jalan yang lurus- adalah dengan merealisasikan kedua
macam ma’rifat ini baik dalam bentuk ilmu maupun keadaan/sikap hidup,
sedangkan keterputusannya -untuk bisa menggapai tujuan- adalah karena
dia kehilangan keduanya. Inilah kandungan makna ucapan mereka -sebagian
orang bijak-, ‘Barangsiapa yang mengenal -hakekat- dirinya niscaya akan
mengenali -keagungan- Rabbnya’…” (al-Fawa’id, hal. 133)
Nah, sadarkah dirimu bahwa Allah menciptakanmu untuk beribadah
kepada-Nya? Sadarkah dirimu bahwa hidup di dunia ini tiada artinya jika
tidak digunakan untuk menghamba kepada-Nya? Sadarkah dirimu, betapa
besar anugerah dan nikmat yang Allah curahkan kepada kita -yang
semestinya kita syukuri dengan hati, lisan dan segenap anggota badan
kita- di sepanjang perjalanan hidup yang kita lalui, di setiap jengkal
tanah yang kita pijak dan setiap bangunan rumah yang kita huni. Aduhai,
betapa seringnya kita tak sadar, terlena oleh suasana, melupakan hakekat
diri kita dan melalaikan hak Rabb kita atas diri kita. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kalian bersyukur maka pasti akan
Aku tambahkan nikmat kepada kalian, akan tetapi jika kalian
kufur/ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim:
7). Allah ta’ala berfirman pula (yang artinya), “Betapa sedikit
hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. Saba’: 13)
Saudaraku, untuk apakah kau pergunakan waktu yang diberikan Allah
kepadamu? Waktu yang begitu berharga ini kerapkali kita sia-siakan.
Jangankan berpikir untuk melipatgandakan pahala amalan, bahkan sekedar
untuk beramal yang ringan pun kita sering berat dan menganggapnya
sebagai beban atau bahkan siksaan! Padahal Rabb kita jalla fi ‘ulaah
telah memberikan janji luar biasa bagi hamba yang patuh kepada-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan
rasul-Nya sungguh dia akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.”
(QS. al-Ahzab: 71). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya),
“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan
tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123)
Ketidaksadaran itulah yang membuahkan ketidaksabaran. Tidak sabar
dalam menjalani ketaatan. Tidak sabar dalam menjauhi kemaksiatan. Dan
tidak sabar dalam menghadapi perihnya musibah yang menimpa hati maupun
badan. Oleh sebab itu tidak ada yang beruntung kecuali orang-orang yang
sabar. Bukankah Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa,
sesungguhnya semua orang merugi, kecuali orang-orang yang beriman,
beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati
dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Bagi banyak orang ketaatan terkadang dirasakan memberatkan dan tidak
menyenangkan. Yaitu tatkala seorang hamba tidak lagi menyadari bahwa
kesulitan yang dihadapinya di saat berjuang menegakkan ketaatan adalah
ujian untuk membuktikan sejauh mana kualitas iman pada dirinya. Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Alif lam mim. Apakah manusia itu
mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan, ‘Kami
beriman’ lantas mereka pun tidak diuji?” (QS. al-Ankabut: 1-2). Allah
ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwa
kalian akan masuk surga begitu saja sementara Allah belum mengetahui
-menunjukkan- siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara
kalian, dan juga siapakah orang-orang yang bersabar.” (QS. Ali Imran:
142)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat dalam
surat Ali Imran di atas, “Artinya, janganlah kalian mengira dan jangan
pernah terbetik dalam benak kalian bahwa kalian akan masuk surga begitu
saja tanpa menghadapi kesulitan dan menanggung berbagai hal yang tidak
menyenangkan tatkala menapaki jalan Allah dan berjalan mencari
keridhaan-Nya. Sesungguhnya surga itu adalah cita-cita tertinggi dan
tujuan paling agung yang membuat orang-orang saling berlomba -dalam
kebaikan-.
Semakin besar cita-cita maka semakin besar pula sarana untuk
meraihnya begitu pula upaya yang mengantarkan ke sana. Tidak mungkin
sampai pada kenyamanan kecuali dengan meninggalkan sikap santai-santai.
Tidak akan digapai kenikmatan -yang hakiki/surga- kecuali dengan
meninggalkan (tidak memuja) kenikmatan -yang semu/dunia-. Hanya saja
perkara-perkara yang tidak menyenangkan di dunia yang dialami seorang
hamba di jalan Allah -tatkala nafsunya telah dia latih dan gembleng
untuk menghadapinya serta dia sangat memahami akibat baik yang akan
diperoleh sesudahnya- maka niscaya itu semua akan berubah menjadi
karunia yang menggembirakan bagi orang-orang yang memiliki bashirah,
mereka tidak peduli dengan itu semua. Itulah keutamaan dari Allah yang
diberikan-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.” (Taisir al-Karim
ar-Rahman, hal. 150)
Sementara itu, kesabaran menerima cobaan dan kesungguhan dalam
menjalani ketaatan hanya akan lahir dari keyakinan yang kokoh terhunjam.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah
kecuali dengan izin Allah, barangsiapa yang beriman kepada Allah maka
Allah akan menunjuki hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11). Ibnu Mas’ud
radhiyallahu’anhu berkata, “Dia adalah seorang hamba yang tertimpa
musibah lalu dia mengetahui/meyakini bahwasanya musibah itu datang dari
sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah.” (HR. Said bin Manshur,
lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 208).
Tatkala seorang hamba mampu menyempurnakan keyakinan di dalam jiwanya
maka niscaya musibah yang menimpa akan berubah menjadi nikmat, dan
cobaan yang dialami akan berubah menjadi anugerah (lihat al-’Ilmu
Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 208).
Ibnul Qayyim rahimahullah menukil
penjelasan para ulama bahwa ciri orang yang telah memiliki keyakinan
yang kokoh terhunjam itu adalah;
[1] dia senantiasa menengok/ingat
kepada Allah pada setiap kejadian yang dialaminya,
[2] dia selalu
kembali kepada-Nya pada setiap urusan,
[3] dia senantiasa memohon
pertolongan kepada-Nya dalam setiap keadaan, dan
[4] dia senantiasa
mengharapkan wajah-Nya dalam setiap gerakan maupun diam (lihat al-’Ilmu
Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 208).
Itu artinya apabila seorang hamba ingin keluar dari ketidaksadaran
ini, hendaknya dia betul-betul memahami kedua buah ilmu tersebut.
Pertama; ilmu tentang hakekat dirinya beserta segala kekurangan,
kelemahan dan keterbatasannya. Dan yang kedua; ilmu tentang hak dan
keagungan Rabbnya beserta kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Kedua ilmu itulah yang akan mengokohkan akar keyakinan di dalam hatinya
dan menegakkan pohon kesabaran di dalam hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar