Jumat, 06 September 2013

Hindari Dengki Sirik Atau Hasud

Menepis Dengki Membangun Kesabaran

Dengki atau sirik atau hasud itu tidak sekedar dosa biasa, bahkan dianggap bahaya, karenanya harus dijauhi. Dalam Al-Qur'an sendiri dalam surat al-Falaq, Allah memerintah Nabi Muhammad untuk berlindung dari tindakan penghasud. Ini cukup menunjukkan betapa bahayanya tindakan hasud tersebut. Mengapa hasud itu sangat berbahaya? 


Dengki atau sirik atau hasud itu tidak sekedar dosa biasa, bahkan dianggap bahaya, karenanya harus dijauhi. Dalam Al-Qur'an sendiri dalam surat al-Falaq, Allah memerintah Nabi Muhammad untuk berlindung dari tindakan penghasud. Ini cukup menunjukkan betapa bahayanya tindakan hasud tersebut. 

Mengapa hasud itu sangat berbahaya? 

Pertama, bermula dari ketidaksenangan terehadap kebahagiaan seseorang, biasanya hasud lantas diiringi dengan keinginan mencelakakan orang tersebut. 

Kedua, ia merupakan serangan sepihak, tanpa orang yang dihasud tahu kapan dan dari mana asalnya serangan. Serangan sepihak seperti ini tentu lebih bahaya, karena pihak yang diserang tidak punya persiapan untuk balas melawan atau bertahan. Serangan di sini tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, tapi bisa juga berujud fitnah. 

Ketiga, di samping berbahaya bagi orang lain, hasud adalah sumber kesengsaraan bagi diri penghasud. Rasulullah bersabda: "Jauhilah olehmu semua kedengkian, sebab kedengkian itu memakan segala kebaikan, sebagaimana api melalap kayu bakar yang kering." Ini artinya, kebaikan-kebaikan yang kita lakukan tidak ada artinya jika kita masih suka menghasud. 

Jelasnya demikian: karena hasud itu merupakan rasa ketidaksenangan atas kebahagiaan orang lain, dan bahkan bisa diiringi dengan tindakan yang mencelakakan orang tersebut, maka sebenarnyalah hasud itu membuktikan bahwa kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan itu hanya bohong-bohongan belaka. Karena hati kita ternyata masih menyimpan keinginan (bahkan rencana-rencana) mencelakakan orang lain.

Hasud, dengan ungkapan lain, adalah membangun kebahagiaan diri kita di atas kesengsaraan orang lain, dan sebaliknya, kesengsaraan diri kita atas kebahagiaan orang lain. Sekarang yang terpenting mengetahui kenapa sampai timbul hasud (iri, dengki, dan semacamnya)? Sebab utama munculnya hasud adalah ketiadaan rasa syukur atas nikmat-nikmat Allah yang kita terima. 

Kita selalu saja beranggapan "the grass over the fence always looks greener" (rumput di ladang orang lain selalu nampak lebih hijau), orang lain senantiasa lebih banyak kenikmatannya dari kita. Akibatnya muncul rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri disertai iri, dengki, lalu hasud. 

Ini senada dengan penegasan Allah : "Dan ingatlah ketika Tuhanmu sekalian menegaskan, jika kamu benar-benar bersyukur maka pasti Aku akan tambahi (karunia) bagi kamu, dan jika kamu benar-benar ingkar maka sesungguhnya azab-Ku amat pedih." (QS. Ibrahim/14:7) 

Kalau kita pandai-pandai mensyukuri nikmat yang kita terima maka kenikmatan akan terus bertambah, dan sebaliknya, kalau tidak kesengsaraan terus bertambah. Baik kenikmatan dan kesengsaraan di sini tidak harus langsung berujud materi, tapi rasa, sikap, dan nuansa batin. 

Kita sepenuhnya sadar, siapapun tidak akan sukses dunia-akherat tanpa rasa percaya diri, optimis, bahagia/senang (atas nikmat yang kita terima atau yang diterima orang lain), semangat, dan semacamnya. Dan yang menjadi pangkal kegagalan adalah adanya penyakit-penyakit batin: rasa tidak percaya diri, pesimis, iri, dengki, dan semacamnya. 

Yang terakhir, teruslah berdoa mohon ampunan Allah, mohon agar dikaruniai ketulusan, mudah mensyukuri nikmat yang kita terima dan diterima orang lain, agar dihindarkan dari rasa/sikap dengki, iri, hasud, dan sikap-sikap negatif lainnya, dan sebaliknya agar dikaruniai sikap-sikap positif. Perlu saya tegaskan, doa itu tidak harus dipanjatkan dengan bahasa Arab, tapi yang penting adalah kita tahu apa yang kita panjatkan disertai hati khusyuk dan memelas. Allah Maha Tahu apa yang terlintas dlm hati kita. 

Tentang kesabaran, "kesabaran" itu menempati spektrum yang luas. Sabar atas cobaan dan penderitaan, sabar atas datangnya musibah, sabar menjalani program-program yang telah direncanakan sampai mencapai target, sabar menunggu teman, dll. Singkatnya, kesabaran itu tidak hanya musti dikerahkan pada saat-saat tertimpa duka saja, tapi juga saat-saat suka. 

Kita perlu kesabaran ketika mengalami saat-saat suka agar kita tidak terlena dengan kesuka-riaan kita. Dan perlu diketahui, kesabaran itu adalah sikap yang amat terpuji. Nabi Muhammad saw sendiri dalam sebuah ayat diperintahkan untuk bersabar dan dilarang memohon pada Allah untuk menyegerakan siksa bagi musuh-musuhnya: "Maka bersabarlah kamu seperti sabarnya para Rasul yang mempunyai keteguhan hati dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka." (QS. 46:35) Dan banyak ayat-ayat lain yang menegaskan betapa pentingnya sikap sabar itu. "...dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. 8:46) "Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. 11:115) "Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan." (QS. 16:127) "Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan." (QS. 38:17) "Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi." (QS. 40:55) 

Setelah tahu bahwa kesabaran itu sesuatu yang niscaya, tidak bisa tidak, perlu diketahui pula apa sih kesabaran itu? Kesabaran adalah kesadaran untuk bertindak secara kontinyu atau terus-menerus sesuai logika dan agama. "Kesadaran untuk bertindak" berarti bertindak dengan sadar. 

Tindakan tidak sengaja atau di luar kesadaran tidak bisa disebut kesabaran. "Kesadaran untuk bertindak" juga berarti tidak diam atau vakum, karena kevakuman itu sendiri adalah tidak baik. Bahkan diam saja sementara zaman terus berubah itu sama saja dengan kemunduran. Jadi, "Kesadaran untuk bertindak secara kontinyu sesuai logika dan agama" berarti tekad untuk bertindak secara sadar dan kontinyu sesuai logika dan norma-norma agama dalam segala situasi-kondisi dan kapanpun. 

Manakala kontinyuitas itu terputus, otomatis kesabaran menjadi terputus. Ini juga menunjukkan bahwa kesabaran sesuai ajaran agama kita dilakukan dengan tanpa batas, kita harus bersabar tanpa mengenal batas. Jangan semata karena motor kita dicuri lantas kita menggebuki pencurinya sampai mati; jangan karena kebandelan anak kita menghajarnya habis-habisan; jangan karena tahu ada acara yang lebih menarik kita tinggalkan janji; jangan karena sang kekasih meninggalkan kita lantas kita putus asa; dll. 

Dalam kondisi-kondisi seperti itu, kapan kesabaran hilang, otomatis emosi/amarah tidak terkontrol merasuk, lantas mendorong kita melakukan hal-hal negatif. Memang, mustahil manusia terlepas total dari emosi (hanya berlandaskan logika dan agama) , sehebat apapun dia. Persoalannya bukan kita hendak membebaskan diri dari emosi, tapi mengendalikannya agar kita termotivasi berbuat hal-hal positif. Lantas, bagaimana kita bisa berlaku sabar? Kita akan bisa berlaku sabar setelah mengetahui apa sebab utama ketidaksabaran, dan setelah tahu kita mau mengatasinya. 

Tiada lain adalah faktor atau sebab utama ketaksabaran adalah ketidakmauan atau ketidakmampuan berfikir panjang dan ketidakmauan atau ketidakmampuan mengambil hikmah/pelajaran dari kejadian yang dihadapinya. Untuk mengatasinya, 

PERTAMA kita harus membiasakan diri berfikir panjang mengenai sebab-akibat yang berkaitan dengan tindakan yang akan kita lakukan. Kita bikin daftar panjang: andai saya begini kira-kira apa yang akan terjadi, lantas akan berdampak apa.. terus apa...terus apa, dst; seandainya saya begitu kira-kira apa akibatnya, lantas akibat ini akan membuahkan apa.. lalu apa...lalu apa, dst. Kemauan berfikir seperti ini akan membuat kita tahu apa yang seharusnya dan sebaiknya kita lakukan. Kita bikin skala prioritas: mana yang harus dikerjakan lebih dulu, lalu yang harus berikutnya, dst. Sebab, tidak mungkin kita bisa bersabar tanpa mengetahui bahwa apa yang seharusnya kita perbuat itu baik. 

KEDUA, kita harus pandai-pandai mengambil hikmah dari kejadian yang menimpa kita. Kalau tertimpa kesedihan jangan lantas kita lupa daratan, demikian pula kalau dikaruniai nikmat yang luar biasa. Tapi ambillah hikmah atau pelajaran dari sebuah kejadian. Misalnya sepeda motor kita dicuri orang, maka setidaknya hikmah itu berupa kesadaran "betapa nikmatnya orang memiliki sepeda motor, bisa ke sana kemari dengan cepat, bisa bekerja dg waktu yang sangat efisien." 

Munculnya kesadaran seperti ini adalah sebuah nikmat pula, yang boleh jadi memicu kita untuk bekerja lebih baik di masa-masa mendatang. Itu hikmah yang paling minim kita rasakan setelah hilangnya sebuah kenikmatan. Perlu diketahui, kebanyakan orang itu tidak menyadari adanya sebuah kenikmatan kecuali setelah hilangnya kenikmatan tersebut. Juga kebanyakan orang merasa harus bersabar setelah mengalami keadaan sulit. Namun hendaknya kita jangan seperti kebanyakan orang itu. Tapi galilah hikmah-hikmah lainnya yang intinya menuntut kita untuk berbuat lebih baik. 

Bila kehilangan motor, kita telusuri sebab akibatnya: oh, salah sendiri saya tidak menguncinya; oh, salah sendiri saya terlalu lama meninggalkannya; oh salah sendiri saya tidak menitipkannya di tempat penitipan yang aman. Kita gali semua kemungkinan-kemungkinan penyebabnya, lantas kita bertekad agar keteledoran-keteledoran itu tidak terulang di waktu mendatang. Sampai kita pada kesadaran bahwa kebaikan atau kenikmatan itu adalah kesabaran itu sendiri. Pernah ada seseorang mengeluh ke Rasulullah: "Wahai Rasul, harta saya hilang dan badan saya sakit." Jawab beliau: "Kebaikan (keberuntungan) itu tidak terdapat pada orang yang hartanya tidak hilang dan badannya tidak sakit. Sebab, jika Allah itu memang mencintai seorang hamba maka Allah menurunkan cobaan padanya lantas membekalinya kesabaran." 

Dalam hadis lain, Nabi bersabda: "Besok di hari Kiamat didatangkan orang yang paling banyak kenikmatan duniawinya, lantas dimasukkanlah orang itu sebentar di neraka dan dikeluarkan dalam keadaan hangus terbakar, setelah itu ditanya: 'Apakah selama kamu di dunia selalu mendapati kenikmatan duniawi?' Jawabnya: 'Tidak. Saya selalu menemui cobaan sejak saya tercipta.' Dan didatangkan juga orang yang paling berat cobaan hidupnya di dunia, lalu dimasukkan ia ke surga sesaat dan dikeluarkan dalam keadaan bersinar laksana bulan purnama, lantas ditanya: 'Apakah selama di dunia kamu selalu tertimpa cobaan?' Jawabnya: 'Tidak. 

Saya senantiasa mengalami kenikmatan sejak saya tercipta.'" Kedua hadis itu menegaskan bahwa kebaikan/kenikmatan itu tidak identik dengan sesuatu yang mengenakkan, seperti harta benda. Tapi kebaikan/kenikmatan adalah kesabaran itu sendiri. 

Sebab andai saja kita kaya raya, maka itu berarti cobaan: apakah kita bisa dg sabar membelanjakan harta di jalan yang benar? Bila dikaruniai ilmu yang tinggi, maka apa kita akan kontinyu mengamalkan ilmu demi kebenaran? Bila dikaruniai fisik sempurna, sehat tidak kurang suatu apa, maka apakah kita akan senantiasa menggunakan kesehatan tersebut untuk hal-hal yang manfaat? 

Pertanyaan-pertanyaan (muhaasabah) seperti inilah yang perlu kita bisikkan terus-menerus dlm hati dan pikiran kita. Demikian sekelumit nasehat ini, semoga bermanfaat bagi saya, Anda, dan saudara-saudara kita yang lain. Tulisan singkat ini sama sekali tidak menyarankan agar meninggalkan kenikmatan dunia. Tapi adalah penegasan bahwa kita harus bekerja sebaik-baiknya di bidang masing-masing. 

Kewajiban bekerja itu bukan semata untuk menumpuk harta, tapi untuk mencari harta yang harus (senantiasa/kontinyu) kita gunakan sebaik-baiknya. Kewajiban menuntut ilmu setinggi mungkin tidak hanya agar kita menjadi pintar (apalagi sekedar mendapat gelar), tapi agar senantiasa bisa memanfaatkannya untuk kebaikan. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution