Istiqamah dalam Bertaubat
Selama ini, kebanyakan orang sering memahami bahwa bertaubat
hanya perlu dilakukan oleh seseorang yang telah berbuat dosa besar.
Maka, bagi orang yang shalatnya sudah baik, dalam arti telah menjalankan
shalat lima waktu dengan tertib; atau orang yang perbuatannya sudah
termasuk golongan orang yang baik-baik, dalam arti bukan pelaku dosa
besar, maka sudah tidak perlu untuk bertaubat. Benarkah demikian?
Dalam risalah sederhana ini, saya akan mengajak pembaca tercinta
untuk memahami bahwa bertaubat pun semestinya kita lakukan secara
terus-menerus, sebagaimana kita memohon ampunan kepada Allah SWT.
Menurut Syekh Abu Ishak Ibrahim al-Mabtuli dalam kitabnya, al-Minahu as-Saniyyah,
menyebutkan bahwa taubat itu ada permulaan dan kesudahannya; taubat itu
bertingkat-tingkat, ada awal dan ada puncaknya.
Setidaknya ada sembilan
tingkatan taubat menurut beliau. Yakni,
(1) permulaan dari taubat
adalah bertaubat dari dosa-dosa besar;
(2) lalu bertaubat dari dosa-dosa
kecil;
(3) bertaubat dari perkara yang dibenci atau makruh;
(4)
bertaubat dari perkara yang menyimpang dari keutamaan;
(5) bertaubat
dari dugaan mengenai kebaikan dirinya;
(6) bertaubat dari dugaan bahwa
dirinya sudah menjadi kekasih Allah;
(7) bertaubat dari dugaan bahwa
dirinya telah benar-benar bertaubat;
(8) bertaubat dari kehendak hati
yang tidak diridhai Allah;
(9) dan puncaknya adalah bertaubat
sewaktu-waktu lupa dari melihat-Nya (mengingat-Nya) walau hanya dalam
sekejap.
Berdasarkan tingkatan taubat sebagaimana pendapat Syekh Abu Ishak
Ibrahim al-Mabtuli tersebut, tampaknya kita semua tidak bisa melepaskan
diri dari amalan taubat tersebut. Bagi seseorang yang telah melakukan
dosa besar, maka sudah barang tentu ia bertaubat kepada Allah SWT. Lalu,
bagaimana dengan orang yang sudah tidak pernah melakukan dosa besar,
hendaknya ia bertaubat kepada Allah SWT atas dosa-dosa kecil yang telah
ia lakukan.
Bertaubat semestinya tetap dilakukan, meskipun bagi orang yang sudah
tidak melakukan dosa besar maupun kecil, ia bisa bertaubat kepada Allah
apabila ia telah melakukan perkara yang dibenci atau makruh. Bila tidak,
ia bisa bertaubat apabila ia telah melakukan perkara yang menyimpang
dari keutamaan. Misalnya, seseorang mempunyai waktu luang, dapat saja
waktu luang itu ia gunakan untuk menonton televisi atau tidur-tiduran,
tapi ada yang lebih utama dari kedua hal tersebut untuk mengisi waktu
luang, yakni membaca Al-Qur'an atau berdzikir. Bila seseorang telah
memilih menonton televisi atau tidur-tiduran dibanding membaca Al-Qur'an
atau berdzikir, maka dia pun semestinya bertaubat kepada Allah SWT.
Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah sangat baik sekali, yang
sepertinya sudah sangat langka keberadaannya di zaman modern ini, yakni
sudah tidak melakukan dosa besar maupun kecil, meninggalkan perbuatan
makruh, dan selalu memilih yang utama dalam hidupnya? Subhanallah…!
Orang yang semacam ini pun masih perlu bertaubat kepada Allah SWT dari
dugaan bahwa dirinya telah menjadi orang baik. Selanjutnya, ia tetap
bertaubat kalau-kalau merasa bahwa dirinya telah menjadi kekasih Allah,
bahkan ia perlu bertaubat dari dugaan bahwa dirinya telah benar-benar
bertaubat.
Saudaraku tercinta, sungguh merinding hati saya dan benar-benar
merasa sangat kecil diri ini bila membayangkan tingkatan taubat diri ini
sampai di mana. Apalagi, masih ada tingkatan taubat lagi bagi orang
yang sangat baik sebagaimana tersebut, yakni bertaubat dari kehendak
hati yang tidak diridhai Allah SWT. Dan, puncaknya, bertaubat dari
sewaktu-waktu lupa melihat-Nya (mengingat-Nya) walau hanya sekejap.
Sungguh dalam sekali makna ajaran Syekh Abu Ishak Ibrahim al-Mabtuli
yang terkenal sebagai seorang wali atau kekasih Allah tersebut.
Dengan demikian, bertaubat kepada Allah SWT adalah amalan yang
semestinya kita lakukan. Sebab, setiap manusia pasti mempunyai
kesalahan. Siapakah di antara kita yang mempunyai alasan untuk tidak
bertaubat? Sungguh, sama sekali kita tidak mempunyai alasan untuk tidak
bertaubat kepada Allah SWT. Maka, marilah kita memperbanyak memohon
ampunan dan bertaubat kepada-Nya.
Penulis : Akhmad Muhaimin Azzet
0 komentar:
Posting Komentar