SURAT CINTA TERINDAH (love actually)
Tapi
tahukah engkau, wahai Ibu… bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya’…
Semenjak sholat isya’… aku duduk di pintu kamar, aku buka surat yang
engkau tuliskan untukku… dan aku baru selesaikan membacanya setelah ayam
berkokok… setelah fajar terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan…
Sebenarnya,
surat yang engkau tulis tersebut, jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia
akan pecah… Jika engkau letakkan di atas daun yang hijau, tentu dia akan
kering…
Sebenarnya, surat yang engkau tulis tersebut tidak
akan tertelan oleh ayam… Sebenarnya, wahai ibu, suratmu itu bagiku
bagaikan petir kemurkaan, yang jika dipecutkan ke pohon yang besar, dia
akan rebah dan terbakar…
Suratmu wahai ibu, bagaikan awan Kaum Tsamud, yang datang berarak dan telah siap dimuntahkan kepadaku…
Ibu…
Aku
telah baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!!
Bagaimana tidak… Jika surat itu ditulis oleh seorang yang bukan ibu dan
bukan ditujukan pula kepadaku, layaklah orang yang paling bebal, untuk
menangis sejadi-jadinya… Bagaimana kiranya, jika yang menulis itu adalah
ibuku sendiri… dan surat itu ditujukan untukku sendiri…
Sungguh
aku sering membaca kisah sedih, tidak terasa bantal yang dijadikan
tempat bersandar telah basah karena air mata… Bagaimana pula dengan surat
yang ibu tulis itu!? bukan cerita yang ibu karang, atau sebuah drama yang ibu
perankan, akan tetapi dia adalah kenyataan hidup yang ibu rasakan.
Ibuku yg kusayangi…
Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu… semua yang engkau telah sebutkan benar adanya…
Aku
masih ingat ketika engkau ditinggalkan ayah pada masa engkau hamil tua
mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang
belanja, jadilah engkau mencari apa yang dapat dimasak di sekitar rumah
dari dedaunan dan tumbuhan.
Dengan jalan berat engkau
melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil engkau
membisikkan kepada penjual bahwa apa yang engkau ambil tersebut adalah
hutang… hutang… yang engkau sendiri tidak tahu, kapan engkau akan dapat
melunasinya…
Ibu…
Aku masih ingat ketika
kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan, engkau tiba-tiba
menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yang telah lama engkau
jemur dan keringkan…
Tidak jarang pula engkau simpan untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dengan segera.
Aku
masih ingat… engkau sengaja ambilkan air didih dari nasi yang sedang
dimasak, ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.
Ibu…
maafkanlah
anakmu ini… aku tahu bahwa semenjak engkau gadis, sebagaimana yang
diceritakan oleh nenek sampai engkau telah tua seperti sekarang ini,
engkau belum pernah mengecap kebahagiaan.
Duniamu hanya
rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dengan anak-anakmu… Belum pernah
aku melihat engkau tertawa bahagia, kecuali ketika kami anak-anakmu
datang ziarah kepadamu. Selain dari itu, tidak ada kebahagiaan… Semua
hidupmu adalah perjuangan. Semua hari-harimu adalah pengorbanan
Ibu…
Maafkan
anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan untukku seorang istri, wanita yang
telah engkau puji sifat dan akhlaknya… yang engkau telah sanjung pula
suku dan negerinya! Semenjak itu pula aku seakan-akan lupa deganmu…
Wahai ibu…
Keberadaan
dia sebagai istriku telah membuatku lupa posisi engkau sebagai ibuku…
senyuman dan sapaannya telah melupakanku dengan himbauanmu.
Ibu…
aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena kewajibannya
untuk menunaikan tanggung-jawabnya sebagai istri… Aku berharap pada
permasalahan ini, engkau tidak membawa-bawa namanya, dan mengaitkan
kedurhakaanku kepadamu karenanya… Karena selama ini, di mataku dia
adalah istri yang baik, istri yang telah berupaya berbuat banyak untuk suami
dan anak-anaknya… Istri yang selalu menyuruh untuk berbuat baik dan
berbakti kepada kedua orang tua.
Ibu…
Ketika
seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita, maka seolah-olah dia
telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka
atau orang-orangan. Maafkan aku ibu…
Aku tidaklah
membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan
ada padaku, anakmu ini… Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yang
aku alami, perubahan suasana setelah engkau dan aku berpisah, tidak
satu atap lagi…
Ibu…
Perkawinanku membuatku
masuk ke alam dunia baru… dunia yang selama ini tidak pernah aku kenal…
dunia yang hanya ada aku, istri dan anak-anakku… Bagaimana tidak, istri
yang baik, anak-anak yang lucu-lucu! Maafkan aku Ibu… Maafkan aku anakmu…
aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dengan keadaan orang yang
penting bagiku… yang penting bagiku adalah keadaan mereka: anak-anak dan
istriku…
Ibu…
Maafkan aku, anakmu… Ampunkan aku, anakmu… Aku telah lalai… aku telah alpa… aku telah lupa… aku telah menyia-nyiakanmu…
Aku
pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan untuk cinta
kepada anaknya, akan tetapi anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang
tuanya… Oleh sebab itu, dilarang mencintai anak secara berlebihan,
sebagaimana anak dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya… Itulah yang
terjadi pada diriku, wahai Ibu!!
Aku pasti akan gila
ketika melihat anakku sakit… Aku seperti orang kebingungan ketika
melihat anakku diare… Tapi itu sulit, aku rasakan jika hal itu terjadi
padamu wahai ibu… Itu sulit aku rasakan, jika seandainya hal itu
terjadi pada ibu, dan pada ayah…
Ibu…
Sulit aku merasakan perasaanmu…
Kalaulah
bukan karena bimbingan agama yang telah engkau talqinkan kepadaku, tentu
aku telah seperti kebanyakan anak-anak yang durhaka kepada orang
tuanya!!
Kalaulah bukan karena baktimu pula kepada orang
tuamu dan orang tua ayahmu, niscaya aku tidak akan pernah mengenal arti
bakti kepada orang tua.
Setelah suratmu datang, baru aku
mengerti… Karena selama ini hal itu tidak pernah engkau ungkapkan,
semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti semua permasalahan berat, yang
engkau hadapi selama ini.
Sekarang baru aku mengerti,
wahai ibu… bahwa hari yang sulit bagi seorang ibu, adalah hari di mana
anak laki-lakinya telah menikah dengan seorang wanita… wanita yang telah
mendapat keberuntungan…
Bagaimana tidak… Dia dapatkan
seorang laki-laki yang telah matang pribadinya dan matang ekonominya,
dari seorang ibu yang telah letih membesarkannya… Dari hidup ibu itulah
ia dapatkan kematangan jiwa, dan dari uang ibu itu pulalah ia dapatkan
kematangan ekonomi… Sekarang, dengan ikhlas ia berikan kepada seorang
wanita yang tidak ada hubungan denganya, kecuali hubungan dua wanita yang
saling berebut perhatian seorang laik-laki… Dia sebagai anak dari
ibunya dan dia sebagai suami dari istrinya.
Ibuku sayang…
Maafkan
aku… Ampunkan diriku… Satu tetesan air matamu adalah lautan api neraka
bagiku… Janganlah engkau menangis lagi, janganlah engkau berduka
lagi!… Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api
neraka!! Aku takut Ibu…
Kalau itu pula yang akan kuperoleh…
kalau neraka pula yang akan aku dapatkan… ijinkan aku membuang semua
kebahagiaanku selama ini, hanya demi untuk dapat menyeka air matamu…
Kalau
engkau masih akan murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa
segala yang aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah
engkau… terserah engkau, mau engkau buat apa…
Sungguh
ibu, dari hati aku katakan, aku tidak mau masuk neraka, sekalipun aku
memiliki kekuasaan Firaun… kekayaan Karun… dan keahlian Haman… Niscaya
aku tidak akan tukar dengan kesengsaraan di akhirat sekalipun sesaat… Siapa
pula yg tahan dg azab neraka, wahai Bunda… maafkan aku anakmu, wahai
ibu!!
Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan
kepada Allah ta’ala, bahwa engkau belum mau mengangkatnya ke langit…
bahwa engkau belum mau berdoa kepada Alloh akan kedurhakaanku… Maka,
ampun, wahai Ibu!!
Kalaulah itu yang terjadi… dan do’a itu
tersampaikan ke langit! Salah pula ucapan lisanmu!! Apalah jadinya
nanti diriku… Apalah jadinya nanti diriku… Tentu aku akan menjadi
tunggul yang tumbang disambar petir… apalah gunanya kemegahan, sekiranya
engkau do’akan atasku kebinasaan, tentu aku akan menjadi pohon yang tidak
berakar ke bumi dan dahannya tidak bisa sampai ke langit, di tengahnya
dimakan kumbang pula…
Kalaulah do’amu terucap atasku,
wahai bunda… maka, tidak ada lagi gunanya hidup… tidak ada lagi gunanya
kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan…
Ibu
dalam sepanjang sejarah anak manusia yang kubaca, tidak ada yang bahagia
setelah kena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat
bayangkan bagaimana nasibnya di akherat, tentu ia lebih sengsara…
Ibu…
Setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan, kealfaan dan kelalaianku.
Ibu…
Suratmu akan kujadikan “jimat” dalam hidupku… setiap kali aku lalai
dalam berkhidmat kepadamu akan aku baca ulang kembali… tiap kali aku
lengah darimu akan kutalqinkan diriku dengannya… Akan kusimpan dalam
lubuk hatiku, sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku… Akan aku
sampaikan kepada anak keturunanku, bahwa ayah mereka dahulu pernah lalai
di dalam berbakti, lalu ia sadar dan kembali kepada kebenaran… ayah
mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yg
seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.
Bunda…
Tua… engkau berbicara tentang tua, wahai bunda…?! siapa yang tidak mengalami ketuaan, wahai ibu!!
Burung
elang yang terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat yang
tinggi… suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar, dan diperebutkan
oleh burung-burung kecil.
Singa, si raja hutan yang selalu
memangsa, jika telah tiba tua, dia akan dikejar-kejar oleh anjing
kecil tanpa ada perlawanan… Tidak ada kekuasaan yang kekal, tidak ada
kekayaan yang abadi, yang tersisa hanya amal baik atau amal buruk yang akan
dipertanggungjawabkan.
Ibu…
Do’akan anakmu
ini, agar menjadi anak yang berbakti kepadamu, di masa banyak anak yang
durhaka kepada orang tuanya… Angkatlah ke langit munajatmu untukku,
agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akherat.
Ibu…
sesampainya
suratku ini, insya Allah tidak akan ada lagi air mata yang jatuh karena
ulah anakmu… setelah ini tidak ada lagi kejauhan antaraku denganmu…
bahagiamu adalah bahagiaku… kesedihanmu adalah kesedihanku… senyumanmu adalah senyumanku… tangismu adalah tangisku…
Aku
berjanji, untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya, dan aku
berharap agar aku dapat membahagiakanmu selagi mataku masih bisa
berkedip… maka bahagiakanlah dirimu… buanglah segala kesedihan, cobalah
tersenyum… Ini kami… aku, istri, dan anak-anak sedang bersiap-siap
untuk bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu.
Aku terima suratmu yang engkau tulis dengan tetesan air mata dan duka… aku
telah membaca semuanya… tidak ada satu huruf pun yang aku sisakan.
Salam hangat dari anakmu yg durhaka…
0 komentar:
Posting Komentar