Wanita itu Aurat
Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya (no. 1173) berkata, “Telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Ashim, ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Muwarriq, dari Abul Ahwash, dari
Abdullah ibnu Mas’ud z, dari Nabi n, beliau bersabda:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat, maka bila ia keluar rumah, setan terus
memandanginya (untuk menghias-hiasinya dalam pandangan lelaki sehingga
terjadilah fitnah).” (Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih
At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3109, dan Al-Irwa’ no. 273. Dishahihkan pula
oleh Al-Imam Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i t dalam Ash-Shahihul Musnad,
2/36)
Yang namanya aurat berarti membuat malu bila terlihat orang lain
hingga perlu ditutupi dan dijaga dengan baik. Karena wanita itu aurat,
berarti mengundang malu bila sampai terlihat lelaki yang bukan
mahramnya. (Tuhfatul Ahwadzi, Kitab Ar-Radha’, bab ke-18)
Sehingga tetap tinggal di dalam rumah itu lebih baik bagi si wanita,
lebih menutupi dirinya dan lebih jauh dari fitnah (godaan/gangguan).
Bila ia keluar rumah, setan berambisi untuk menyesatkannya dan
menyesatkan orang-orang dengan sebab dirinya. Tidak ada yang selamat
dari fitnah ini kecuali orang-orang yang dirahmati Allah l. Yang
disyariatkan bagi wanita muslimah yang beriman kepada Allah l dan hari
akhir adalah tinggal di dalam rumahnya tanpa keluar kecuali bila ada
kebutuhan, dengan mengenakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya dan
tidak memakai perhiasan berikut wangi-wangian, dalam rangka mengamalkan
firman Allah l:
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah
bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.”
(Al-Ahzab: 33)
“Apabila kalian meminta sesuatu keperluan kepada mereka maka mintalah
dari balik hijab/ tabir, yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian
dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)
Bila wanita tidak mengamalkan tuntunan syariat yang suci ini, ia akan
jatuh dalam jeratan dan perangkap para lelaki yang fasik dan pendosa.
Terlebih lagi bila keluarnya itu menuju ke pasar, mal, tempat rekreasi,
dan tempat-tempat keramaian yang di situ terjadi ikhtilath (campur baur
lelaki dan wanita). Alangkah banyaknya wanita seperti itu di zaman ini.
Demikian keterangan dari Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah
wAl-Ifta’, fatwa no. 19930, yang ketika itu masih diketuai oleh
Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t.
Banyak orang tidak mengetahui hadits Nabi n di atas. Kalaupun ada
yang mengetahuinya, mereka berusaha menolaknya karena tidak sesuai
dengan hawa nafsu mereka dengan mengatakan haditsnya lemah, tidak
terpakai, merendahkan kaum wanita, tidak sesuai dengan perkembangan
zaman, dan ucapan semisalnya.
Demikianlah. Karena jauhnya zaman ini dengan masa kenabian, ditambah
lagi kebodohan yang tersebar luas di kalangan kaum muslimin dan hawa
nafsu yang mendominasi, banyak ajaran dan aturan agama Islam yang
dianggap aneh, asing, dan tidak lumrah. Termasuk keberadaan wanita
sebagai aurat, sehingga harus ditutupi dari pandangan lelaki ajnabi
(non-mahram), sulit diterima oleh kebanyakan orang bahkan oleh kaum
wanita sendiri. Yang dianggap biasa justru keberadaan wanita yang
berkeliaran di luar rumah, hilir mudik tanpa malu di depan lelaki
ajnabi, tanpa mengenakan busana yang syar’i, malah memamerkan kemolekan
wajahnya dan keindahan anggota tubuhnya, kebagusan dandanannya, serta
semerbak aroma tubuhnya. Wallahul musta’an (Hanya Allah l sajalah tempat
meminta pertolongan).
Ketahuilah, hadits Nabi n di atas telah pasti keshahihannya. Bila
suatu hadits dikatakan shahih dari ucapan Nabi n berarti benar-benar
Nabi n yang mengucapkannya. Beliau berucap tidaklah dari hawa nafsu,
tapi dari wahyu yang beliau terima sebagaimana firman Allah l:
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”
(An-Najm: 3-4)
Al-Hafizh Ibnu Katsir, semoga Allah l merahmati beliau, menerangkan
tafsir ayat di atas, “Maksudnya Nabi n tidaklah mengucapkan satu ucapan/
perkataan karena dorongan hawa nafsu dan karena satu tujuan tertentu.
Beliau hanyalah mengucapkan apa yang diperintahkan kepada beliau untuk
disampaikan kepada manusia secara sempurna, utuh, tanpa ada tambahan dan
pengurangan.” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 7/340)
Sahabat yang mulia, putra dari sahabat yang mulia, Abdullah ibnu ‘Amr
ibnul ‘Ash c memberitakan, “Aku biasa menulis segala sesuatu yang aku
dengar dari Rasulullah n karena aku ingin menghafalnya. Maka orang-orang
Quraisy melarangku dengan mengatakan, ‘Jangan engkau tulis segala
sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah n, karena Rasulullah itu
manusia biasa, bisa berucap dalam keadaan marah maupun senang.’
Aku pun berhenti menulis apa yang kudengar dari beliau, lalu
kuceritakan hal itu kepada beliau. Beliau memberi isyarat dengan jari
beliau ke mulut beliau seraya bersabda:
اكْتُبْ، فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ
“Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang
keluar dari lisan ini kecuali al-haq/ kebenaran.” (HR. Abu Dawud no.
3646, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 1196 dan
Ash-Shahihah no. 1532)
Karena kepastian berita dari Rasulullah n bahwa wanita itu aurat,
maka hendaklah wali para wanita, baik dari kalangan ayah, paman, kakek,
saudara laki-laki ataupun suami, memerhatikan keberadaan wanita mereka
serta memiliki kecemburuan terhadap wanita mereka. Jangan biarkan mereka
(para wanita) keluar rumah tanpa ada kebutuhan, atau keluar rumah tanpa
mengenakan pakaian yang syar’i, yang menutup tubuh mereka sebagai aurat
mereka.
Bagi para wanita sendiri, hendaklah mereka bersegera berpegang dengan
tuntunan Allah l dan Rasul-Nya n karena di dalamnya pasti ada kebaikan
bagi mereka.
Apakah Suara Wanita Aurat?
Terkait dengan keberadaan wanita sebagai aurat, mungkin tersisa
pertanyaan di benak. Bagaimana dengan suara wanita, apakah termasuk
aurat? Lalu bagaimana dengan keberadaan sahabiyah dahulu yang berbicara
dengan Nabi n atau dengan para sahabat? Bagaimana pula keberadaan Ummul
Mukminin Aisyah x atau wanita-wanita selainnya, yang mengajarkan ilmu
dan menyampaikan hadits Rasulullah n kepada para sahabat dan orang-orang
yang datang setelah generasi sahabat? Bukankah ini menunjukkan wanita
boleh berbicara dan memperdengarkan suaranya kepada lelaki ajnabi?
Al-Lajnah Ad-Da’imah dalam fatwa (no. 8567) pernah memberikan jawaban
tentang hal ini. Disebutkan bahwa suara wanita bukanlah aurat, tidak
haram bagi lelaki ajnabi untuk mendengarkannya terkecuali bila suara itu
diucapkan dengan mendayu-dayu, mendesah dan dilembut-lembutkan karena
yang seperti ini haram dilakukan si wanita di hadapan selain suaminya
dan haram bagi lelaki ajnabi mendengarkannya, berdasarkan firman Allah
l:
“Wahai istri-istri nabi, kalian tidak sama dengan wanita-wanita yang lain, jika kalian bertakwa maka janganlah kalian melembutkan suara
dalam berbicara sehingga berkeinginlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Dalam fatwa no. 5167, Al-Lajnah menyatakan wanita merupakan tempat
penunaian syahwat lelaki, maka kaum lelaki memiliki kecondongan kepada
wanita agar tertunai nafsu syahwatnya. Bila si wanita mendayu-dayu dalam
berbicara, tentunya fitnah akan semakin bertambah. Karena itulah Allah l
memerintahkan kepada kaum mukminin, para sahabat Rasulullah n, bila
mereka meminta kebutuhan atau suatu barang kepada wanita yang bukan
mahramnya, hendaknya meminta dari balik hijab. Tidak langsung bertemu
wajah dengan si wanita. Allah l berfirman:
“Apabila kalian meminta sesuatu keperluan kepada mereka maka mintalah
dari balik hijab/tabir, yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian
dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)
Allah l juga melarang para wanita melembutkan suara mereka ketika
berbicara dengan lelaki ajnabi agar jangan sampai lelaki yang punya
penyakit di hatinya berkeinginan jelek terhadap si wanita.
Bila perintah ini dititahkan di zaman Rasul n, dalam keadaan kaum
mukminin kuat imannya dan mulia jiwanya, lalu bagaimana dengan zaman
ini, di mana iman semakin melemah dan sedikit orang yang berpegang
dengan agama? Karenanya, wajib bagimu wahai wanita untuk tidak bercampur
baur dengan lelaki ajnabi dan tidak berbicara dengan mereka kecuali
bila ada kebutuhan yang sifatnya darurat dengan tidak mendayu-dayukan
dan melembutkan suara, berdasarkan dalil ayat yang telah disebutkan.
Dengan penjelasan ini tahulah engkau, wahai wanita, bahwa semata-mata
suara yang tidak disertai dengan kelembutan dalam berbicara bukanlah
aurat, karena dulunya para wanita/sahabiyah berbicara dengan Nabi n dan
bertanya kepada beliau tentang perkara agama mereka. Demikian pula
mereka mengajak bicara para sahabat sehubungan dengan kebutuhan mereka
dan Nabi n tidak mengingkari perbuatan mereka tersebut. (dari kitab
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta’,
17/202-204)
Sehubungan dengan suara wanita ini, sangatlah disayangkan adanya
sebagian orang yang bermudah-mudahan dengan berdalih suara wanita bukan
aurat. Sampai-sampai ada guru lelaki yang mengajarkan Al-Qur’an kepada
para wanita dengan men-tasmi’, yaitu mendengarkan bacaan Al-Qur’an para
wanita yang diajarinya, guna membetulkannya bila ada kesalahan.
Sementara kita semua maklum bagaimana suara wanita yang membaca
Al-Qur’an. Siapa yang bisa menjamin wanita tersebut tidak melagukan
suaranya saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an? Bila kondisinya
seperti ini, bagaimana dengan sang guru, apakah ia bisa menjamin hatinya
akan selamat dari fitnah?
Ada pula guru lelaki yang berani mengajarkan percakapan bahasa Arab
(muhadatsah) kepada para wanita. Sementara, sebagai satu metode
pengajaran muhadatsah, sang guru mengajak bicara satu atau lebih murid
wanitanya untuk bercakap-cakap dalam bahasa Arab. Mungkin sang guru
mengatakan, “Kaifa haluk?”
Muridnya menjawab, “Alhamdulillah ana bi khair, wa anta…?” Dan seterusnya.
Kita bisa membayangkan bagaimana nada suara murid wanita itu dalam percakapan tersebut! Wallahul musta’an.
Contoh di atas kita bawakan tidak lain sebagai nasihat dan peringatan
bagi diri pribadi dan saudara-saudara sekalian, agar kita semua tidak
menggampangkan permasalahan ini. Juga agar kita menjaga diri dari fitnah
dan memerhatikan keselamatan hati-hati kita. Karena, sebagaimana
perkataan hikmah dari ulama kita: Selamatnya hati tak dapat
ditandingi/dibandingkan dengan sesuatu pun.
Semoga Allah l memberi taufik kita kepada apa yang diridhai dan dicintai-Nya. Amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar