Kamis, 28 Maret 2013

Empat Tingkat Menghadapi Ujian Allah SWT

Saat Ujian Datang Menguji

Segala sesuatu yang menimpa kita sebagai manusia, entah itu berupa kebaikan maupun kejelekan, dan yang lainnya, merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan dan ditetapkan oleh Allah SWT. Sebagaimana telah disebutkan dalam firman-Nya: " Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. al-Hadid: 22).


Takdir ini telah Allah tentukan 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, " Allah telah menulis takdir-takdir seluruh makhluk (pada kitab lauh mahfudz) 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi." (HR. al-Imam Muslim dari sahabat Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash)

Seorang hamba meski memiliki kedudukan yang tinggi, kekuatan yang mumpuni, serta kekuasaan yang luas, tetaplah dikatakan faqir, lemah, dan dalam keadaan amat sangat membutuhkan, tidak mempunyai kemampuan dengan sendirinya untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak segala macam kemudharatan.

Di dalam menghadapi musibah ini, manusia terbagi menjadi empat tingkatan:

Pertama: marah, yaitu ketika menghadapi musibah dia marah baik dengan hatinya seperti benci terhadap Rabbnya dan marah terhadap takdir Allah atasnya, dan kadang-kadang sampai kepada tingkat kekufuran, Allah berfirman, " Dan diantara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Al-Hajj: 11)

Atau dia marah dengan lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan dan kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya seperti menampar pipi, merobek saku baju, menjambak rambut, membenturkan kepala ke tembok dan sejenisnya.

Kedua: sabar, maka orang yang sabar itu akan melihat bahwasanya musibah ini berat baginya dan dia tidak menyukainya, akan tetapi dia membawanya kepada kesabaran, dan tidaklah sama di sisinya antara adanya musibah dengan tidak adanya, bahkan dia tidak menyukai musibah ini akan tetapi keimanannya melindunginya dari marah.

Ketiga: ridha, dan ini lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu dua perkara tadi (ada dan tidak adanya musibah) di sisinya adalah sama ketiba dinisbahkan / disandarkan terhadap qadha dan qadar (taqdir / ketentuan Allah) walaupun bisa jadi dia bersedih karena musibah tersebut. Jika diberi kenikmatan atau ditimpa musibah, maka semuanya menurut dia adalah sama. Bukan karena hatinya mati, bahkan karena sempurnanya ridhanya kepada Rabbnya, dia bergerak sesuai dengan kehendak Rabbnya. Bagi orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak adalah sama, karena dia melihat bahwasanya musibah tersebut adalah ketentuan Rabbnya. Inilah perbedaan antara ridha dan sabar.

Keempat: bersyukur, dan ini adalah derajat yang paling tinggi, yaitu bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpa. Sehingga mereka termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang bersyukur ketika dia melihat bahwa di sana terdapat musibah yang lebih besar darinya, dan bahwasanya musibah-musibah dunia lebih ringan daripada musibah-musibah agama, dan bahwasanya 'adzab dunia lebih ringan daripada 'adzab akhirat, dan bahwasanya musibah ini adalah sebab agar dihapuskannya dosa-dosanya, dan kadang-kadang untuk menambah kebaikannya, maka dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Nabi SAW bersabda, " Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan / kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali Allah akan hapuskan dengan kesalahan-kesalahannya." (HR. Al-Bukhariy No. 5641, 5642 dari Abu Sa'id Al-Khudriy dan Abu Hurairah). Bahkan kadang-kadang akan bertambahlah iman seseorang dengan musibah tersebut. Saat musibah datang menguji, Rasulullah mengajarkan, " Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): 'Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya." (HR. Muslim No. 918). Ummu Salamah berkata: "Tatkala Abu Salamah meninggal, aku mengucapkan istirja' dan mengatakan: 'Ya Allah, berilah saya pahala pada musibah yang menimpa saya dan berilah ganti bagi saya yang lebih baik darinya.' Kemudian aku berpikir kiranya siapa orang yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah? Maka tatkala telah selesai masa 'iddah-ku, Rasulullah SAW (datang) meminta izin untuk masuk (rumahku) dimana waktu itu aku sedang menyamak kulit. Lalu Rasulullah SAW melamarku. Tatkala Nabi SAW sudah selesai dari pembicaraannya, aku berkata: ' Wahai Rasulullah, sebenarnya saya mau dilamar tapi saya seorang wanita yang sangat pencemburu. 

Saya khawatir, Anda akan melihat dari saya sesuatu yang nantinya Allah akan mengazab saya karenanya. Saya juga orang yang sudah berumur dan banyak anak.' Nabi SAW bersabda: ' Adapun apa yang engkau sebutkan tentang sifat cemburu, niscaya Allah akan menghilangkannya. Dan apa yang engkau sebutkan tentang umur maka aku juga sama (sudah berumur). Dan yang engkau sebutkan tentang banyaknya anak, maka anakmu adalah tanggunganku.' Aku berkata: ' Aku menyerahkan diriku kepada Rasulullah.' Lalu beliau menikahiku. Ummu Salamah berkata setelah itu, " Allah telah menggantikan untukku yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah SAW." (HR. Ahmad). Ini merupakan bukti dari firman Allah: " Dan berilah berita gembira bagi orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah: 155).

Disadur dari : Majalah Swara Quran Hal. 9 Edisi No. 4-5 Th.9 Ramdhan - Syawwal / September - Oktober 2009

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution