Saat Ujian Datang Menguji
Segala sesuatu yang menimpa kita sebagai manusia, entah itu berupa
kebaikan maupun kejelekan, dan yang lainnya, merupakan sesuatu yang
telah ditakdirkan dan ditetapkan oleh Allah SWT. Sebagaimana telah
disebutkan dalam firman-Nya: " Tiada suatu bencanapun yang menimpa
di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. al-Hadid: 22).
Takdir ini telah Allah tentukan 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, " Allah telah menulis takdir-takdir seluruh makhluk (pada kitab lauh mahfudz) 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi." (HR. al-Imam Muslim dari sahabat Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash)
Seorang hamba meski memiliki kedudukan yang tinggi, kekuatan yang
mumpuni, serta kekuasaan yang luas, tetaplah dikatakan faqir, lemah, dan
dalam keadaan amat sangat membutuhkan, tidak mempunyai kemampuan dengan
sendirinya untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak segala macam
kemudharatan.
Di dalam menghadapi musibah ini, manusia terbagi menjadi empat tingkatan:
Pertama: marah, yaitu ketika menghadapi
musibah dia marah baik dengan hatinya seperti benci terhadap Rabbnya dan
marah terhadap takdir Allah atasnya, dan kadang-kadang sampai kepada
tingkat kekufuran, Allah berfirman, " Dan diantara manusia ada orang
yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi; maka jika ia
memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa
oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan
di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Al-Hajj: 11)
Atau dia marah dengan lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan dan
kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya
seperti menampar pipi, merobek saku baju, menjambak rambut, membenturkan
kepala ke tembok dan sejenisnya.
Kedua: sabar, maka orang yang sabar itu akan
melihat bahwasanya musibah ini berat baginya dan dia tidak menyukainya,
akan tetapi dia membawanya kepada kesabaran, dan tidaklah sama di
sisinya antara adanya musibah dengan tidak adanya, bahkan dia tidak
menyukai musibah ini akan tetapi keimanannya melindunginya dari marah.
Ketiga: ridha, dan ini lebih tinggi dari
sebelumnya, yaitu dua perkara tadi (ada dan tidak adanya musibah) di
sisinya adalah sama ketiba dinisbahkan / disandarkan terhadap qadha dan
qadar (taqdir / ketentuan Allah) walaupun bisa jadi dia bersedih karena
musibah tersebut. Jika diberi kenikmatan atau ditimpa musibah, maka
semuanya menurut dia adalah sama. Bukan karena hatinya mati, bahkan
karena sempurnanya ridhanya kepada Rabbnya, dia bergerak sesuai dengan
kehendak Rabbnya. Bagi orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak
adalah sama, karena dia melihat bahwasanya musibah tersebut adalah
ketentuan Rabbnya. Inilah perbedaan antara ridha dan sabar.
Keempat: bersyukur, dan ini adalah derajat
yang paling tinggi, yaitu bersyukur kepada Allah atas musibah yang
menimpa. Sehingga mereka termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang
bersyukur ketika dia melihat bahwa di sana terdapat musibah yang lebih
besar darinya, dan bahwasanya musibah-musibah dunia lebih ringan
daripada musibah-musibah agama, dan bahwasanya 'adzab dunia lebih ringan
daripada 'adzab akhirat, dan bahwasanya musibah ini adalah sebab agar
dihapuskannya dosa-dosanya, dan kadang-kadang untuk menambah
kebaikannya, maka dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Nabi
SAW bersabda, " Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan /
kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana sampai pun
duri yang menusuknya kecuali Allah akan hapuskan dengan
kesalahan-kesalahannya." (HR. Al-Bukhariy No. 5641, 5642 dari Abu Sa'id Al-Khudriy dan Abu Hurairah). Bahkan kadang-kadang akan bertambahlah iman seseorang dengan musibah
tersebut. Saat musibah datang menguji, Rasulullah mengajarkan, " Tiada
seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang
diperintahkan Allah (yaitu): 'Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, wahai
Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah
ganti bagiku yang lebih baik darinya; kecuali Allah memberikan kepadanya
yang lebih baik darinya." (HR. Muslim No. 918). Ummu Salamah berkata: "Tatkala Abu Salamah meninggal, aku mengucapkan
istirja' dan mengatakan: 'Ya Allah, berilah saya pahala pada musibah
yang menimpa saya dan berilah ganti bagi saya yang lebih baik darinya.'
Kemudian aku berpikir kiranya siapa orang yang lebih baik bagiku
daripada Abu Salamah? Maka tatkala telah selesai masa 'iddah-ku,
Rasulullah SAW (datang) meminta izin untuk masuk (rumahku) dimana waktu
itu aku sedang menyamak kulit. Lalu Rasulullah SAW melamarku. Tatkala
Nabi SAW sudah selesai dari pembicaraannya, aku berkata: ' Wahai
Rasulullah, sebenarnya saya mau dilamar tapi saya seorang wanita yang
sangat pencemburu.
Saya khawatir, Anda akan melihat dari saya sesuatu
yang nantinya Allah akan mengazab saya karenanya. Saya juga orang yang
sudah berumur dan banyak anak.' Nabi SAW bersabda: ' Adapun apa yang
engkau sebutkan tentang sifat cemburu, niscaya Allah akan
menghilangkannya. Dan apa yang engkau sebutkan tentang umur maka aku
juga sama (sudah berumur). Dan yang engkau sebutkan tentang banyaknya
anak, maka anakmu adalah tanggunganku.' Aku berkata: ' Aku menyerahkan
diriku kepada Rasulullah.' Lalu beliau menikahiku. Ummu Salamah berkata
setelah itu, " Allah telah menggantikan untukku yang lebih baik dari Abu
Salamah, yaitu Rasulullah SAW." (HR. Ahmad). Ini merupakan bukti dari firman Allah: " Dan berilah berita gembira bagi orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah: 155).
Disadur dari : Majalah Swara Quran Hal. 9 Edisi No. 4-5 Th.9 Ramdhan - Syawwal / September - Oktober 2009
0 komentar:
Posting Komentar