Melatih Diri Agar Senantiasa Berprasangka Baik
Belum lama ini, aku mendengar berita miring tentang sikap
tidak amanah seorang ikhwan. Atas berita itu, aku merasa kecewa kepada
ikhwan tersebut. Aku menjadi tidak respek padanya. Aku terus ‘ngedumel’
dalam hati. Kok bisa ya, padahal jenggotnya panjang, istrinyapun
memakai jilbab lebar. Aku terus berpikir, penampilan dan cara
berpakaiannya menunjukkan sang ikhwan paham agama. Kok sampai?…
Cukup lama aku tenggelam dalam pikiran buruk tentang ikhwan itu.
Hingga akhirnya, Allah mempertemukan kami dan kami terlibat perbincangan
cukup lama. (Tentu saja ikhwan tersebut didampingi istrinya). Dari
perbincangan itu, rasa respekku yang memudar akibat berita miring itu,
perlahan-lahan tumbuh lagi. Dan tak henti-hentinya aku beristighfar di
dalam hati di sela-sela perbincangan kami.
Akupun bersyukur kepada Allah. Dengan skenarioNya, Allah melindungiku
dari prasangka buruk yang berkelanjutan terhadap saudara seiman. Dan
atas kehendakNya, Allah bersihkan ikhwan tersebut dari segala
dugaan-dugaan yang tidak benar melalui ‘perbincangan’ kami. Karena dari
perbincangan itulah, aku jadi lebih paham tentang dirinya, bahwa
sesungguhnya orang-orang salah sangka terhadap ikhwan ini.
***
Aku memiliki tetangga yang sudah bertetangga denganku lebih dari satu
tahun-tetangga tesebut baru pindah ke komplek tempat kami tinggal.
Jarak rumah kami sungguh dekat. Tapi aku belum pernah bertemu dengan
penghuni rumah tersebut, apalagi ‘ngobrol’. Dan setiap aku lewat di
depan rumahnya, kulihat pintu gerbangnya selalu di gembok. Kadang aku
lihat mobilnya wara-wiri di depan rumah, dan kami hanya saling
berlambaian tangan, dan itulah ‘komunikasi’-ku dengan tetanggaku itu.
Terbersit dalam hati, kok begitu ya caranya bertetanggga. Sepertinya
nggak mau ‘kenal’ orang. Nggak pernah ‘nenangga’, rumah juga tertutup
rapat terus.
Seminggu yang lalu, tetanggaku ini menghubungiku, ia minta tolong
agar dicarikan tenaga pembantu plus guru ngaji di rumahnya. Karena
urusan tersebut, aku jadi berkesempatan berkunjung ke rumahnya. Dan dari
kunjungan itulah, aku jadi lebih paham, mengapa ia tidak pernah
‘nenangga’, mengapa pintu rumah tertutup rapat dan pintu gerbang
senantiasa digembok. Ternyata, si ibu ini memiliki 4 anak. 1 sudah
belasan tahun dan 3 orang masih balita. Dan anak kedua yang berumur 5
tahun, berkebutuhan khusus. Masya Allah, pantas saja, ia tidak bisa
bebas keluar rumah, pantas saja, rumah harus terus tertutup rapat
(anaknya yang berkebutuhan khusus, tidak bisa melihat rumah terbuka).
Alhamdulillah…aku bersyukur, sekali lagi, Allah melindungiku
dari prasangka buruk yang berkelanjutan. DiciptakanNya scenario, yang
membuat aku dapat silahturrahim ke tetanggaku tersebut sehingga aku
mendapat jawaban atas prasangka-prasangka burukku.
***
Dua pengalaman berharga yang membuat aku tersadar diri. Kita memang
benar-benar tidak boleh berprasangka buruk. Jikapun kita menyaksikan
sikap atau sifat seseorang “yang tidak mengenakkan”, kita tetap harus
berpikir positif. Menyikapinya dengan cara pandang yang positif.
Berusaha melihat, mungkin ada alasan yang dapat diterima, mengapa si A
bersikap begini atau begitu.
Sebagai contoh, ada seorang ummahat yang kemudian diberi label “keras
dan mau menang sendiri”. Pada mulanya aku sendiri agak tidak nyaman
dengan sikapnya. Berangkat dari kesadaran tidak ingin berpikir buruk
tentang orang lain, aku sedikit-sedikit mencari tahu tentang dirinya,
berusaha lebih dekat dengannya. Walhasil, terjawablah teka-teki, kenapa
sang ummahat yang terlihat paham agama, lulusan pesantren, tetapi “keras
dan mau menang sendiri”. Ternyata, Ummahat ini berasal dari sebrang.
Orangtuanya hingga kini masih hidup dan bukan penganut agama islam.
Kemudian ia tinggalkan keluarganya demi memeluk islam. Sebagaimana
diketahui, orang sebrang memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dan
erat. Bukan perkara mudah “pergi” meninggalkan orangtua dan kemudian
berpindah agama. Justru dengan sikap keras dan mau menang sendirinya
itulah yang membuat sang ummahat “kuat” meninggalkan orangtua dan agama
nenek moyangnya demi Islam. Artinya, secara pribadi memang ia typical
orang yang “keras”. Jika dilihat dari latar belakangnya, justru sifat
“keras” itu yang menjadi kelebihannya.
Pada umumnya kita semua tahu bahwa berprasangka buruk itu dilarang.
Tetapi, dalam keseharian kita, betapa sulit menghindar dari perilaku
ini. Prasangka artinya membuat ‘keputusan’ sebelum mengetahui fakta yang
relevan mengenai objek tersebut. Padahal Allah berfirman,
”Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka! Karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat [49] : 12)
Dan Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”
Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka
itu adalah perkataan yang paling bohong.” (HR. Muttafaq’alaih)
Mustinya peringatan Allah tentang dosanya berprasangka buruk cukup
membuat kita berhenti dari perbuatan tersebut. Berprasangka buruk,
berkaitan erat dengan pola pikir negatif. Ketika menyikapi sebuah
masalah atau kejadian, mindset kita tertuju kepada hal-hal yang buruk.
Jadi hasilnya adalah prasangka-prasangka buruk yang berkembang. Dan ini
harus dibenahi.
Saya menulis artikel inipun dengan niat, semoga tulisan ini menjadi
tausiah pribadi.
Semoga tulisan ini menjadi pengingat bagi saya ketika,
prasangka-prasangka buruk memenuhi hati dan pikiran. (http://www.eramuslim.com)
Wallahu’alam.
Ummuali.wordpress.com
Ummuali.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar