Nasihat Bagi Jamaah Haji:
Sebelas Alasan Untuk Tidak Umrah Berulang Kali
Saat Berada Di Mekkah
Ada satu fenomena yang umum disaksikan pada kalangan
jamaah haji Indonesia dan juga negara lainnya. Saat berada di kota suci
Mekkah, banyak yang berbondong-bondong menuju tanah yang halal (di luar
tanah haram), seperti Masjid ‘Aisyah di Tan’im atau Ji’ranah. Tujuannya
untuk melaksanakan umrah lagi. Umrah yang mereka kerjakan bisa lebih
dari sekali dalam satu hari. Dalih mereka, mumpung sedang berada di
Mekkah, sepantasnya memperbanyak ibadah umrah, yang belum tentu bisa
dikerjakan lagi sesudah sampai di tanah air. Atau dengan kata lain,
untuk memperbanyak pahala.
Saking berlebihannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullâh
dengan penuh keheranan pernah menyaksikan seorang laki-laki yang sedang
mengerjakan sa’i dengan rambut tersisa separo saja (sisi yang lain
gundul). Syaikh ‘Utsaimin pun bertanya kepadanya, dan laki-laki tersebut
menjawab : “Bagian yang tak berambut ini telah dipotong untuk umrah
kemarin. Sedangkan rambut yang tersisa untuk umrah hari ini”. [1]
SELAIN IKHLAS, IBADAH MEMBUTUHKAN MUTABA’AH
Suatu ibadah agar diterima oleh Allâh, harus
terpenuhi oleh dua syarat. Yaitu ikhlas dan juga harus dibarengi dengan
mutaba’ah. Sehingga tidak cukup hanya mengandalkan ikhlas semata, tetapi
juga harus mengikuti petunjuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Di samping itu, juga dengan mengetahui praktek dan pemahaman generasi
Salaf dalam menjalakan ibadah haji yang pernah dikerjakan oleh
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sebab, generasi Salaf merupakan
generasi terbaik, yang paling semangat dalam meraih kebaikan.
Umrah termasuk dalam kategori ini. Sebagai ibadah
yang disyariatkan, maka harus bersesuaian dengan rambu-rambu syari’at
dan nash-nashnya, petunjuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para
sahabat, serta para pengikut mereka yang ihsan sampai hari Kiamat. Dan
ittiba’ ini merupakan salah satu tonggak diterimanya amalan di sisi
Allâh Ta'ala.
Sebagai ibadah yang sudah jelas tuntunannya,
pelaksanan umrah tidak lagi memerlukan ijtihad padanya. Tidak boleh
mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala melalui ibadah umrah dengan
ketentuan yang tidak pernah digariskan. Kalau tidak mengikuti petunjuk
syariat, berarti ibadah yang dilakukan menunjukkan sikap i’tida‘
(melampaui batas) terhadap hak Allâh Ta'ala, dalam aspek penetapan hukum
syariat, serta merupakan penentangan terhadap ketentuan Allâh Ta'ala
dalam hukum-Nya.
Allâh Ta'ala berfirman (yang artinya) :
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allâh) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih." (QS asy Syura /42: 21)[2]
JUMLAH UMRAH RASÛLULLÂH SHALLALLÂHU 'ALAIHI WASALLAM
Sepanjang hidupnya, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melakukan umrah sebanyak 4 kali.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata :
“Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengerjakan umrah sebanyak empat kali.
(Yaitu) umrah Hudaibiyah, umrah Qadha`, umrah ketiga dari Ji’ranah,
dan keempat (umrah) yang bersamaan dengan pelaksanaan haji beliau”. [3]
“Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengerjakan umrah sebanyak empat kali.
(Yaitu) umrah Hudaibiyah, umrah Qadha`, umrah ketiga dari Ji’ranah,
dan keempat (umrah) yang bersamaan dengan pelaksanaan haji beliau”. [3]
Menurut Ibnul Qayyim, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat.[4] Setiap umrah tersebut, beliau kerjakan dalam sebuah perjalanan tersendiri. Tiga umrah secara tersendiri, tanpa disertai haji. Dan sekali bersamaan dengan haji.
Pertama, umrah Hudhaibiyah tahun 6 H. Beliau dan para
sahabat yang berbaiat di bawah syajarah (pohon), mengambil miqat dari
Dzul Hulaifah Madinah. Pada perjalanan umrah ini, kaum Musyrikin
menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Mekkah. Akhirnya,
terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Salah satu pointnya, kaum Muslimin
harus kembali ke Madinah, tanpa bisa melaksanakan umrah yang sudah
direncanakan. Kemudian, kaum Muslimin mengerjakan umrah lagi pada tahun
berikutnya. Dikenal dengan umrah Qadhiyyah atau Qadha‘[5] pada tahun 7
H. Selama tiga hari beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berada
di Mekkah. Dan ketiga, umrah Ji’ranah pada tahun 8 H. Yang terakhir,
saat beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengerjakan haji Wada’. Semua
umrah yang beliau kerjakan terjadi pada bulan Dzul Qa‘dah.[6]
SEBELAS ALASAN UNTUK TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI
Para ulama memandang, melakukan umrah berulang kali
sebagai perbuatan yang makruh. Masalah ini telah dijelaskan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh dalam Fatawanya. Pendapat beliau tersebut dikutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullâh dalam Syarhul Mumti’.[7]
Berikut ini beberapa aspek yang menjelaskan bahwa
umrah berulang-ulang seperti yang dikerjakan oleh sebagian jamaah haji
–sebagaimana fenomena di atas– tidak disyariatkan.
Pertama. Pelaksanaan empat umrah
yang dikerjakan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, masing-masing
dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan
untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji
sekarang ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullâh
menyimpulkan, setiap umrah mempunyai safar tersendiri. Artinya, satu
perjalanan hanya untuk satu umrah saja.[8] Sedangkan perjalanan menuju
Tan’im belum bisa dianggap safar. Sebab masih berada dalam lingkup kota
Mekkah.
Kedua. Tidak ada riwayat yang
menerangkan salah seorang dari para sahabat yang menyertai Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam haji Wada’ yang beranjak keluar
menuju tanah yang halal untuk tujuan umrah, baik sebelum atau setelah
pelaksanaan haji. Mereka juga tidak pergi ke Tan’im, Hudhaibiyah atau
Ji’ranah untuk tujuan umrah. Begitu pula, orang-orang yang tinggal di Mekkah,
tidak ada yang keluar menuju tanah halal untuk tujuan umrah. Ini sebuah
perkara yang disepakati dan dimaklumi oleh semua ulama yang mengerti
sunnah dan syariat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.[9]
Ketiga. Umrah beliau Shallallâhu
'Alaihi Wasallam yang dimulai dari Ji’ranah tidak bisa dijadikan dalil
untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya beliau
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memasuki kota Mekkah untuk menaklukannya
dalam keadaan halal (bukan muhrim) pada tahun 8 H. Selama tujuhbelas
hari beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berada di sana. Kemudian sampai kepada beliau berita, kalau suku
Hawazin bermaksud memerangi beliau. Akhirnya beliau mendatangi dan
memerangi mereka. Ghanimah dibagi di daerah Ji’ranah. Setelah itu,
beliau ingin mengerjakan umrah dari Ji’ranah. Dalam hal ini beliau tidak keluar dari Mekkah ke
Ji’ranah secara khusus. Namun, ada perkara lain yang membuat beliau
keluar dari Mekkah. Jadi, semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.[10]
Keempat. Nabi Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam, juga para sahabat -kecuali ‘Aisyah- tidak pernah mengerjakan
satu umrah pun dari Mekkah, meski setelah Mekkah ditaklukkan. Begitu
pula, tidak ada seorang pun yang keluar dari tanah Haram menuju tanah
yang halal untuk mengerjakan umrah dari sana sebelum Mekkah ditaklukkan
dan menjadi Darul Islam. Padahal thawaf di Ka’bah sudah masyru’ (disyariatkan) sejak Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam diutus, dan bahkan sejak Nabi Ibrahim 'alaihissalam.
Mereka mengerjakan thawaf tanpa umrah terlebih dahulu. Hal ini
mengantarkan kepada sebuah ketetapan yang pasti, bahwa perkara yang
disyariatkan bagi penduduk Mekkah (orang yang berada di Mekkah) adalah
thawaf. Itulah yang lebih utama bagi mereka dari pada keluar dari tanah
Haram untuk mengerjakan umrah. Tidak mungkin Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat lebih mengutamakan amalan mafdhul (yang nilainya kurang) dibandingkan amalan yang lebih afdhal
(nilainya lebih utama) dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak
pernah memerintahkan umat Islam untuk melakukan umrah berulang-ulang
saat berada di Mekkah.[11]
Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, ”Tidak ada umrah yang beliau lakukan dengan cara
keluar dari Mekkah sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang
ini. Seluruh umrah beliau, dilangsungkan dari luar kota Mekkah menuju
Mekkah (tidak keluar dahulu baru masuk kota Mekkah). Nabi pernah tinggal
di Mekkah selama 13 tahun. Namun tidak ada riwayat yang menjelaskan
beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam keluar kota Mekkah untuk mengerjakan
umrah. Jadi umrah yang beliau kerjakan dan yang disyariatkan adalah,
umrah orang yang memasuki kota Mekkah (berasal dari luar Mekkah), bukan
umrah orang yang berada di dalamnya (Mekkah), dengan menuju daerah yang
halal (di luar batas tanah haram) untuk mengerjakan umrah dari sana.
Tidak ada yang melakukannya di masa beliau, kecuali ‘Aisyah semata…"[12]
Kelima. Tentang umrah yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallâhu'anha pada haji Wada’ bukanlah berdasarkan perintah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Beliau mengizinkannya setelah ‘Aisyah memohon dengan sangat.[13] Kisahnya, pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Aisyah radhiyallâhu'anha mendapatkan haidh. Karena ‘Aisyah radhiyallâhu'anha
menyangka, bahwa umrah yang ia lakukan bersamaan dengan haji (haji
qiran) batal, ia menangis. Kemudian untuk menenangkannya, maka
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengijinkan ‘Aisyah radhiyallâhu'anha melakukan umrah lagi dan memerintahkan saudara ‘Aisyah yang bernama ‘Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar ‘Aisyah radhiyallâhu'anha ke daerah Tan’im, agar ia memulai ihram untuk umrah di sana. Umrah yang dilakukan ‘Aisyah radhiyallâhu'anhaini
sebagai pengkhususan baginya. Sebab, belum didapati satu pun dalil dari
seorang sahabat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia
pernah melakukan umrah usai melaksanakan ibadah haji, dengan memulai
ihram dari kawasan Tan’im, sebagaiamana yang telah dilakukan ‘Aisyah radhiyallâhu'anha. Andaikata para sahabat mengetahui perbuatan ‘Aisyah radhiyallâhu'anha
tersebut disyariatkan juga buat mereka pasca menunaikan ibadah haji,
niscaya banyak riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu. Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan, (Umrah ‘Aisyah radhiyallâhu'anha)
dijadikan dasar tentang umrah dari Mekkah. Dan tidak ada dalil bagi
orang yang menilainya (umrah berulang-ulang) masyru’ (disyari'atkan)
selain riwayat tersebut. Sesungguhnya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan sahabat yang bersama beliau dalam haji (Wada’) tidak ada yang keluar dari Mekkah, kecuali ‘Aisyah radhiyallâhu'anha
saja. Kemudian orang-orang yang mendukung umrah dari Mekkah, menjadikan
riwayat tersebut sebagai dasar pendapat mereka. Tetapi, kandungan
riwayat tersebut tidak ada yang menunjukkan dukungan terhadap pendapat
mereka.[14] Imam asy-Syaukani rahimahullâh berkata, ”Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah
berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah halal, kemudian
masuk Mekkah lagi dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dilakukan
kebanyakan orang sekarang. Dan tidak ada riwayat, yang menerangkan
sahabat Nabi melakukan yang demikian itu”.[15]
Keenam. Kaum Muslimin bersilang
pendapat tentang hukum umrah, apakah wajib ataukah tidak. Para ulama
yang memandang umrah itu wajib seperti layaknya haji, mereka tidak
mewajibkannya atas penduduk Mekkah. Imam Ahmad rahimahullâh pernah menukil perkataan Ibnu ‘Abbas: “Wahai penduduk Mekkah, tidak ada kewajiban umrah atas kalian. Umrah kalian adalah thawaf di Ka’bah”. ‘Atha bin Abi Rabah rahimahullâh[16] –ulama yang paling menguasai manasik haji dan panutan penduduk Mekkah berkata : “Tidak ada manusia ciptaan Allâh kecuali wajib atas
dirinya haji dan umrah. Dua kewajiban yang harus dilaksanakan bagi orang
yang mampu, kecuali penghuni Mekkah. Mereka wajib mengerjakan haji,
tetapi tidak wajib umrah, karena mereka sudah mengerjakan thawaf. Dan
itu sudah mencukupi”. Thawus rahimahullâh[17] berkata: “Tidak ada kewajiban umrah bagi orang yang berada di Mekkah”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah) Berdasarkan beberapa keterangan para ulama Salaf
tersebut, menunjukkan bahwa bagi penduduk Mekkah, mereka tidak menilai
sunnah, apalagi sampai mewajibkannya. Seandainya wajib, maka sudah pasti
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkannya atas diri mereka dan
mereka akan mematuhinya. Tetapi, tidak ada riwayat yang menjelaskan
tentang orang yang berumrah dari Mekkah di masa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masih hidup, kecuali ‘Aisyah radhiyallâhu'anha saja (Kisah ini sudah dijelaskan di atas). Karenanya, para ulama hadits, bila ingin menulis tentang umrah dari Mekkah, mereka hanya menyinggung tentang kejadian ‘Aisyah radhiyallâhu'anha saja. Tidak ada yang lain. Seandainya ada, pasti sudah sampai kepada kita.[18]
Ketujuh. Intisari umrah adalah
thawaf. Adapun sa’i antara Shafa dan Marwah bersifat menyertai saja.
Bukti yang menunjukkannya sebagai penyerta adalah, sa’i tidak dikerjakan
kecuali setelah thawaf. Dan ibadah thawaf ini bisa dikerjakan oleh
penduduk Mekkah, tanpa harus keluar dari batas tanah suci Mekkah
terlebih dahulu. Barangsiapa yang sudah mampu mengerjakan perkara yang
inti, ia tidak diperintahkan untuk menempuh wasilah (perantara yang
mengantarkan kepada tujuan).[19]
Kedelapan. Berkeliling di Ka’bah
adalah ibadah yang dituntut. Adapun menempuh perjalanan menuju tempat
halal untuk berniat umrah dari sana merupakan sarana menjalankan ibadah
yang diminta. Orang yang menyibukkan diri dengan sarana (menuju tempat
yang halal untuk berumrah dari sana) sehingga meninggalkan tujuan inti
(thawaf), orang ini telah salah jalan, tidak paham tentang agama. Lebih
buruk dari orang yang berdiam di dekat masjid pada hari Jum’at, sehingga
memungkinkannya bersegera menuju masjid untuk shalat, tetapi ia justru
menuju tempat yang jauh untuk mengawali perjalanan menuju masjid itu.
Akibatnya, ia meninggalkan perkara yang menjadi tuntutan, yaitu shalat
di dalam masjid tersebut.
Kesembilan. Mereka mengetahui dengan
yakin, bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada
sa’i. Maka daripada mereka menyibukkan diri dengan pergi keluar ke
daerah Tan’im dan sibuk dengan amalan-amalan umrah yang baru sebagai
tambahan bagi umrah sebelumnya, lebih baik mereka melakukan thawaf di
sekeliling Ka’bah. Dan sudah dimaklumi, bahwa waktu yang tersita untuk
pergi ke Tan’im karena ingin memulai ihram untuk umrah yang baru, dapat
dimanfaatkan untuk mengerjakan thawaf ratusan kali keliling Ka’bah.
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh menilainya
sebagai bid’ah, (sebuah perkara yang) belum pernah dikerjakan oleh
generasi Salaf, tidak diperintahkan oleh al-Kitab dan as Sunnah. Juga
tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan status sunnahnya. Apabila
demikian adanya, berarti termasuk bid’ah yang dibenci berdasarkan
kesepakatan para ulama.[20] Oleh karenanya, para generasi Salaf dan para imam melarangnya. Sa’id bin Manshur rahimahullâh meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Thawus rahimahullâh, salah seorang murid Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu'anhu mengatakan :
“Aku tidak tahu, orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im, apakah mereka diberi pahala atau justru disiksa”. Ada yang bertanya : “Mengapa mereka disiksa?” Beliau
menjawab : “Karena meninggalkan thawaf di Ka’bah. Untuk keluar menempuh
jarak empat mil dan pulang (pun demikian). Sampai ia pulang dari
menempuh jarak empat mil tersebut, ia bisa berkeliling Ka’bah sebanyak
dua ratus kali. Setiap kali ia berthawaf di Ka’bah, itulah yang utama
daripada menempuh perjalanan tanpa tujuan apapun”.[21] ‘Atha` pernah berkata : “Thawaf di Ka’bah lebih aku sukai daripada keluar (dari Mekkah) untuk umrah”.[22]
Kesepuluh. Setelah memaparkan
kejadian orang yang berumrah berulang-ulang, misalnya melakukannya dua
kali dalam sehari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh semakin memantapkan pendapatnya, bahwa umrah yang demikian tersebut makruh, berdasarkan kesepakatan para imam. Selanjutnya beliau menambahkan, meskipun ada sejumlah
ulama dari kalangan Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah yang menilai umrah
berulang kali sebagai amalan yang sunnah, namun pada dasarnya mereka
tidak mempunyai hujjah khusus, kecuali hanya qiyas umum. Yakni, untuk
memperbanyak ibadah atau berpegangan dengan dalil-dalil yang umum. [23]
Di antara dalil yang umum, hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
Antara umrah menuju umrah berikutnya menjadi penghapus (dosa) di antara keduanya.[24]
Tentang hadits ini, Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullâh mendudukkan bahwa hadits ini, mutlak harus dikaitkan dengan apa yang diperbuat oleh generasi Salaf ridhwanullah ‘alaihim.[25]
Penjelasannya sudah disampaikan pada point-point
sebelumnya. Ringkasnya, tidak ada contoh dari kalangan generasi Salaf
dalam melaksanakan umrah yang berulang-ulang.
Kesebelas. Pada penaklukan kota Mekkah, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
berada di Mekkah selama sembilan belas hari. Tetapi, tidak ada riwayat
bahwa beliau keluar ke daerah halal untuk melangsungkan umrah dari sana.
Apakah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu bahwa itu masyru’ (disyariatkan)? Tentu saja tidak mungkin![26]
LEBIH BAIK MEMPERBANYAK THAWAF
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas
bahwa thawaf lebih utama. Adapun berumrah dari Mekkah dan meninggalkan
thawaf tidak mustahab. Ibadah yang disunnahkan adalah thawaf, bukan umrah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh menambahkan : “Thawaf mengelilingi Ka’bah lebih utama daripada
umrah bagi orang yang berada di Mekkah, merupakan perkara yang tidak
diragukan lagi oleh orang-orang yang memahami Sunnah Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Sunnah Khalifah pengganti beliau dan
para sahabat, serta generasi Salaf dan tokoh-tokohnya”.
Alasannya, kata beliau rahimahullâh, karena thawaf di Baitullah merupakan ibadah dan qurbah (cara untuk mendekatkan diri kepada Allâh) yang paling afdhal yang telah Allâh tetapkan di dalam Kitab-Nya, berdasarkan keterangan Nabi-Nya.
Thawaf termasuk ibadah paling utama bagi penduduk
Mekkah. Maksudnya, yaitu orang-orang yang berada di Mekkah, baik
penduduk asli maupun pendatang. Thawaf juga termasuk ibadah istimewa
yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di kota lainnya.
Orang-orang yang berada di Mekkah sejak masa Rasûlullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam dan masa para khulafa senantiasa menjalankan thawaf
setiap saat. Dan lagi, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
memerintahkan kepada pihak yang bertanggung jawab atas Baitullah, agar
tidak menghalangi siapapun yang ingin mengerjakan thawaf pada setiap
waktu.
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Wahai Bani Abdi Manaf,
janganlah kalian menghalangi seorang pun untuk melakukan thawaf di Ka’bah
dan mengerjakan shalat pada saat kapan pun, baik malam maupun siang. [27]
janganlah kalian menghalangi seorang pun untuk melakukan thawaf di Ka’bah
dan mengerjakan shalat pada saat kapan pun, baik malam maupun siang. [27]
Allâh Ta'ala memerintahkan Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan Nabi Ismail 'alaihissalam dengan berfirman :
Dan bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud. (QS al Baqarah/2:125)
Dalam ayat yang lain:
Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orangorang yang ruku’ dan sujud. (QS al Hajj/22:26)
Pada dua ayat di atas, Allâh Ta'ala menyebutkan tiga
ibadah di Baitullah, yaitu : thawaf, i’tikaf dan ruku’ bersama sujud,
dengan mengedepankan yang paling istimewa terlebih dahulu, yaitu thawaf.
Karena sesungguhnya, thawaf tidak disyariatkan kecuali di Baitil ‘Atiq
(rumah tua, Ka’bah) berdasarkan kesepakatan para ulama. Begitu juga para
ulama bersepakat, thawaf tidak boleh dilakukan di tempat selain Ka’bah.
Adapun i’tikaf, bisa dilaksanakan di masjid-masjid lain. Begitu pula
ruku’ dan sujud, dapat dikerjakan di mana saja.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallambersabda:
Dijadikan tanah sebagai masjid dan tempat penyuci bagi diriku. (HR. al Bukhari-Muslim)
Maksudnya, Allâh Ta'ala mengutamakan perkara yang
paling khusus dengan tempat tersebut. Sehingga mendahulukan penyebutan
thawaf. Karena ibadah thawaf hanya berlaku khusus di Masjidil Haram.
Baru kemudian disebutkan i’tikaf. Sebab bisa dikerjakan di Masjidil
Haram dan masjid-masjid lainnya yang dipakai kaum Muslimin untuk
mengerjakan shalat lima waktu.
Selanjutnya, disebutkan ibadah shalat yang tempat
pelaksanaannya lebih umum. Selain itu, thawaf merupakan rangkaian
manasik yang lebih sering terulang. Disyariatkan thawaf Qudum bagi orang
yang baru sampai di kota Mekkah. Dan disyariatkan thawaf Wada’ bagi
orang yang akan meninggalkan kota Mekkah usai pelaksanaan manasik haji.
Disamping keberadaan thawaf ifadhah yang menjadi salah satu rukun
haji.[28] Secara khusus, tentang keutamaan thawaf di Baitullah, Nabi
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
Barangsiapa mengelilingi rumah ini (Ka’bah) tujuh kali, seperti membebaskan satu budak belian.[29]
Kesimpulannya, memperbanyak thawaf merupakan ibadah
sunnah, lagi diperintahkan. Terutama bagi orang yang datang ke Mekkah.
Jumhur ulama berpendapat, thawaf di Ka’bah lebih utama dibandingkan
shalat di Masjidil Haram, meskipun shalat di sana sangat besar
keutamaannya.[30]
Pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan
melakukan umrah berulangkali saat berada di Mekah, inilah yang
ditunjukkan oleh Sunnah Nabawiyah yang bersifat ‘amaliyah, dan didukung
oleh fi’il (perbuatan) para sahabat radhiyallâhu'anhum. Dan
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah memerintahkan kita agar
mengikuti Sunnah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan sunnah para
khalifahnya sepeninggal beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Yaitu dalam sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
"Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan
sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing
sepeninggalku. Hendaklah kalian menggigitnya dengan gigi gerahammu."
(Sunan Abu Dawud, II/398, no. 4607; Ibnu Majah, I/16, no. 42 dan 43; Tirmidzi, V/43, no. 2673; Ahmad, IV/26.)’. 31
(Sunan Abu Dawud, II/398, no. 4607; Ibnu Majah, I/16, no. 42 dan 43; Tirmidzi, V/43, no. 2673; Ahmad, IV/26.)’. 31
Oleh karena itu, ketika berada di Mekkah sebelum atau
sesudah pelaksanaan haji, yang paling baik bagi kita ialah memperbanyak
thawaf, daripada melakukan perbuatan yang tidak ada contohnya.
Wallâhu a’lam bish-shawab.
Maraji :
-
Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Dr Abdul ‘Azhim Badawi Dar Ibni Rajab, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
-
Fatawa li Ahlil Haram, susunan Dakhil bin Bukhait al Mutharrifi.
-
Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Muassasah A-sam, Cet. I, Th. 1416 H – 1996 M.
-
Majmu al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Cet. I, Th. 1423 H. Tanpa penerbit.
-
Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qayyim. Tahqiq Syu’aib al Arnauth dan ‘Abdul Qadir al Arnauth, Muassasah ar Risalah, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
-
Shahih Sunan an Nasaa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif, Cet. I, Th. 1419H –1998M.
-
Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif Cet. I, Th. 1419H – 1998M.
-
Shahih Sunan Ibni Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif, Cet. I, Th. 1419H – 1998M.
0 komentar:
Posting Komentar