Saat Aku Menjadi Juri Diantara Dua Agama
Berikut
adalah kisah seorang wanita yang mencoba menjelaskan atau mendiskusikan
tentang agamanya terhadap teman pria yang akan di jadikan suaminya.
Silahkan baca dengan teliti
Insya Allah banyak manfaat yang bisa kita ambil dari kisah berikut.
Setelah diskusi berlangsung beberapa kali, pendeta tersebut minta maaf
karena tidak bisa melanjutkan diskusi lagi karena akan pergi ke luar negeri
selama beberapa waktu. Beliau merekomendasikan dua orang pendeta untuk
menggantikan posisi beliau selama beliau tidak ada. Pendeta pertama adalah
seorang yang dulunya beragama Islam namun keluar (murtad) dari agama Islam dan
menjadi pendeta.
Saat kami mendatangi rumah pendeta ini, dari pembicaraan
dengannya terkesan bahwa beliau menolak dan menghindar dengan alasan yang tidak
jelas. Pendeta kedua adalah seorang doktor teologia ahli perbandingan agama dan
memiliki kedudukan yang cukup tinggi di sebuah universitas. Karena kesibukan
dan kedudukan beliau inilah, kami agak kesulitan menemui beliau. Ketika
akhirnya kami berhasil menemuinya, ternyata beliau keberatan dan tidak bersedia
berdiskusi bersama kami dengan alasan sibuk. Pendeta kedua ini menyarankan agar
kami kembali berdiskusi dengan pendeta X.
Karena proses diskusi ini (yang tadinya aku berharap begitu banyak para
pendeta ini dapat memberi pelajaran pada A) ternyata sedikit terhambat,
akhirnya aku mendatangi pendeta X seorang diri. Aku menceritakan semua hal
berkenaan dengan latar belakang diskusi ini dan aku memohon kepada beliau untuk
membantuku meneruskan proses diskusi dengan A. Sayangnya… ternyata beliau
menolak permintaanku dengan alasan yang tidak jelas bahkan bisa dikatakan
tanpa alasan. Sebagaimana harapan besar lainnya yang jika tertumpu pada
seseorang namun ternyata tidak dipenuhi oleh orang tersebut-, maka kekecewaan
yang besar pun kurasakan waktu itu. Ketika aku pamit pulang, pendeta tersebut
masih sempat berpesan kepadaku,
“Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu menikah dengan dia (A). Kalau
dia tidak mau masuk agama Kristen, pertahankan imanmu (iman Kristen).”
Gundah, bingung, sedih, dan kekecewaan yang menumpuk, semua bergumul
menjadi satu setelah mendapat berbagai penolakan dari pihak-pihak yang aku harapkan
dapat membantuku memberi penjelasan tentang agama Kristen ini kepada A. Bahkan
pihak-pihak ini adalah orang yang kuanggap pakar dan ahli sehingga dapat
membantuku menjawab dan menjelaskan tentang agama Kristen kepada A. Aku pun
merasakan sesuatu yang janggal dari pesan terakhir dari pendeta X. Aku
simpulkan bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki argumen dan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut dan aku merasakan bahwa ada sesuatu yang kurang
dari agama ini (Kristen).
Sejak itulah, aku berusaha melihat dan menilai Islam dan Kristen
sebagai dua agama yang sejajar kedudukannya, dan aku berusaha berada pada
posisi netral seakan-akan sedang menjadi juri untuk keduanya. Berat dan
tertekan. Itu yang aku rasakan ketika harus bergumul dan berusaha keras untuk
melepaskan diri dari doktrin Kristen. Doktrin yang telah aku cintai sejak kecil
dan telah kuikat secara sungguh-sungguh. Namun, dari sinilah aku mulai membuka
diri dengan selain Kristen. Aku baru bisa mulai mempelajari seperti apa Islam
sebenarnya. Kesan pertama yang kudapatkan dalam penilaianku adalah, ‘Apa yang
jelek dari Islam? Kelihatannya ajarannya ok ok saja.’ Sambil melakukan ini, aku
tetap terus membaca Alkitab Kristen.
Suatu ketika, A mengajukan suatu ayat dalam Alkitab yang mengatakan,”Jangan
sampai kita sudah setiap hari menyeru ‘Tuhan-Tuhan,’ tetapi tidak selamat
seperti yang tertulis dalam Injil.”
Kata-kata ini terpatri dalam benakku. Malam harinya, aku mencari ayat
itu dalam Alkitab dan menemukannya, yaitu pada Matius 7:21, yang isinya, “Bukan
setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ akan masuk ke dalam
Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-ku yang di sorga.”
Aku termenung seakan-akan tak percaya yang aku baca. Perlahan-lahan ‘ku
tutup Alkitab yang sedang kubaca tersebut.
Keesokan harinya dan hari-hari sesudahnya terasa seperti hari penuh
perenungan untuk pikiran dan benakku. Walaupun aku (berusaha) beraktifitas
seperti biasa, namun pikiranku tidak tenang memikirkan ayat tersebut. Untuk
meyakinkan diriku, ‘ku baca kembali ayat tersebut berulang-ulang, namun
ternyata aku justru menjadi ketakutan setelah memikirkan makna yang terkandung
di dalamnya. Sepertinya ayat ini sangat berkaitan dengan apa yang telah aku
lakukan selama ini, dan aku takut ternyata aku termasuk yang pada akhirnya
tidak masuk surga. Jangan-jangan apa yang kulakukan selama ini walaupun dengan
kecintaan dan kesungguhan dan penuh perjuangan adalah hal sia-sia.
Sejak itu, aku mulai tertarik dengan Islam dan menjadikannya alternatif
pengganti agamaku. Aku mulai bekerja di luar kota Yogyakarta di sebuah
Puskesmas di Banjarnegara. Sendirian… tanpa sanak saudara ataupun teman dekat
dan sahabat yang dapat kuajak diskusi tentang Islam. Aku belajar tentang Islam
dari pengajian-pengajian masjid di desa yang terdengar dari pengeras suara atau
acara desa dan kecamatan yang biasanya terdapat sentilan tentang ajaran Islam.
Dan tentu saja tak ketinggalan, aku belajar dari diskusi yang sangat sangat
banyak dengan A.
Sampai pada akhirnya, A menawarkanku untuk masuk Islam, dan akupun
menyetujuinya walaupun tidak langsung melaksanakannya. Aku masih terus
berdiskusi, belajar dan berpikir sehingga aku benar-benar merasa yakin dan
mantap untuk memeluk agama Islam. Dan ketika keyakinan ini bertambah kuat, aku
merasa ada kebutuhan mendesak yang harus kulakukan, yaitu aktifitas menyembah
Allah. Rasanya keyakinanku akan sia-sia dan terasa hampa jika tidak ada
aktifitas ibadah yang harus aku lakukan untuk menyembah Allah. Namun, aku sama
sekali belum bisa cara beribadah yang ada pada Islam.
Dengan melihat orang sholat di televisi dan memperhatikan teman sholat,
akhirnya aku berusaha meniru gerakan sholat. Tentu saja segala sesuatunya masih
kacau saat itu. Dengan hanya memakai piyama tidur (tanpa tahu ada aturan harus
menutup seluruh aurat saat shalat) menggelar selimut untuk dijadikan sajadah,
dan berdiri tidak mengetahui harus menghadap kemana, aku sholat. Ya! Aku
sholat! Hanya dengan tiga kalimat yang aku ketahui, bismillahirrahmanirrahim,
allahu akbar, dan alhamdulillah dan dengan gerakan yang tanpa urutan dan
aturan. Rasanya melegakan karena aku melepaskan keinginan untuk menyembah satu
Ilah dan hanya Ilah inilah yang harus aku sembah. Aku lakukan ini berkali-kali
tanpa diketahui oleh siapapun. Aku masih belum mengetahui tentang pembagian
sholat yang lima waktu. Aku masih sendirian saat itu, menjadi kepala Puskesmas,
dan aku pun masih merahasiakan statusku dari siapapun termasuk staf di kantor
bahkan Si A tidak tahu kalau aku melakukan sholat karena aku masih malu, takut
dan masih menutup diri. Sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengajariku.
Sampailah waktunya…
Aku dan A memberanikan diri datang kepada orangtuaku. Di situ, A
mengutarakan keinginanku untuk memeluk agama Islam kepada orangtuaku. Dapat
dibayangkan apa yang terjadi. Kekagetan luar biasa, marah, tidak percaya
mengelegak keluar. Orangtua memintaku mengutarakan sendiri hal tersebut, dan
aku pun mengatakan hal yang sama, “Aku ingin masuk Islam.” Mereka tetap tidak percaya
dan memintaku memikirkannya kembali. Aku kembali ke Banjarnegara dan A juga
kembali ke Jakarta tempat ia bekerja.
Beberapa waktu kemudian, Bapak, Ibu dan adikku menemuiku di
Banjarnegara. Menanyakan kembali keputusan akhirku. Saat itu, aku meminta A
menemaniku, karena aku dalam kondisi sangat takut dan kalut. Jawabanku pun
tetap sama, “Aku ingin masuk Islam.”
Betapa orangtuaku marah mendengarnya. Sebuah kemarahan yang aku belum
pernah menyaksikan sebelumnya. Ibu berkata, “APA KAMU SANGGUP MENGHIANATI
YESUS!!! TEGANYA ENGKAU DENGAN YESUS!!!”
Rasanya hatiku teriris mendengar teriakan marah dan kekecewaan yang
luar biasa dari kedua orangtuaku tersebut. Aku pun memahami jika akan seperti
ini, karena seluruh keluarga besar beragama Kristen dan hampir seluruhnya
adalah aktivis-aktivis gereja, sering berkhotbah di gereja. Tidak ada satupun
yang beragama lain. Dan… aku yang diperkirakan juga akan mengabdi dengan
sesungguhnya pada agama Kristen ternyata menjadi orang pertama yang masuk ke
agama Islam. Tentu ini hal yang sangat berat terutama untuk kedua orangtuaku.
Anggapan-anggapan negatif baik dari pihak keluarga, jemaat gereja, keluarga
besar lainnya tentu akan datang bertubi-tubi menekan mereka. Dengan keputusanku
yang tidak berubah ini, akhirnya hubunganku dengan keluarga menjadi agak
renggang.
Derai air mata sejak itu masih terus mengalir. Aku sempat ragu ketika
mengingat perkataan ibuku,
“Sanggupkah engkau mengkhianati Yesus.”
“Tegakah pada Tuhan Yesus.”
Pikiranku terus berkecamuk, ‘Benarkah itu? Benarkah aku harus menyembah
Yesus? Benarkah jika aku memeluk Islam, Yesus akan marah?’ Berkutat pada
kebimbangan antara perkataan orangtuaku dan apa yang telah kupelajari dalam
Islam. Dalam puncak kebingunganku, aku bermimpi…
Aku hendak pergi tidur. Tiba-tiba… terdengar ketukan dari jendela kayu
yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Kubuka jendela tersebut dan aku kaget
karena ternyata di depanku ada sesosok Yesus (wajahnya memang tidak jelas,
namun berjubah dan dalam mimpi itu aku dipahamkan bahwa itu adalah Yesus).
Sosok itu tidak berbicara apa-apa namun tampak seperti tersenyum, tidak marah
dan mengulurkan tangannya (seperti) hendak menyalamiku. Sosok tersebut tidak
berbicara namun aku dipahamkan bahwa maksud beliau adalah mengucapkan selamat
kepadaku. Setelah itu sosok tersebut berlalu.
Aku pun terbangun dalam keadaan bingung dan takut. ‘Apa maksud mimpi
ini?’ pikirku. Apakah ini suatu tanda bahwa pilihanku benar.
Waktupun berlalu dan aku semakin mengokohkan keputusanku untuk memeluk
agama Islam. A yang hampir selalu hadir dalam perjalananku menggapai hidayah
Islam ini akhirnya melamarku. Alhamdulillah…akhirnya orangtuaku pun mengizinkan
kami menikah. Hubungan kami dengan keluargaku sudah baik kembali sampai saat
ini. Kami menikah dengan wali dari KUA. Rasa haru dan bahagia menyelimutiku
saat itu. Setelah menikah, aku langsung minta dibelikan mukena dan minta
diajarkan shalat. Dan A terus mendampingiku dan mengajarkanku shalat lima
waktu. Sampai aku telah dapat melakukan shalat sendiri, A baru bisa menjalankan
kewajibannya untuk shalat di masjid.
Perjalananku dalam memahami Islam tentu saja tidak berhenti sampai di
situ. Setelah lima tahun sejak aku masuk ke dalam agama Islam, aku melanjutkan
studi S2 di FK UGM, jurusan Ilmu Kedokteran Dasar dan Biomedis (minat Histologi
dan Biologi Sel) dan aku seperti tersentak untuk kedua kalinya. Aku baru
menyadari dan memahami betapa Allah mengatur segala sistem dalam tubuh kita
dengan begitu rapi, canggih, teratur, beralasan dan sempurna sampai ke tahap
molekuler, tanpa kita sadari. Aku banyak termenung saat menyadari hal itu,
namun juga menjadikanku banyak bertanya kepada dosen pakar saat itu.
Subhanallah, Dia-lah pencipta, pengatur, pemelihara yang sedemikian rupa
rumitnya. Dan tidak mungkin semua itu berjalan, berproses dan bermekanisme
dengan sendirinya. Mulai saat itulah aku lebih terpacu lagi untuk belajar
dengan membaca dan memahami Al-Qur’an.
Dan proses belajar itu terus berlangsung sampai sekarang. Dahulu aku
telah mengetahui bahwa Allah-lah, Ilah yang disembah dalam agama Islam. Namun,
perlu waktu bertahun-tahun untuk aku memahami bahwa hanya Allah-lah Ilah yang
BERHAK untuk disembah. Dan pemahaman ini ternyata suatu perkembangan, semakin
kita belajar mengenal Rabb kita, insya Allah semakin bertambahlah pemahaman dan
ketauhidan kita, dan akan semakin sadar bahwa masih banyak sekali hal yang
tidak kita ketahui. Dari proses pembelajaran inilah aku semakin memahami
siapakah Allah yang selama ini aku sembah, mengapa hanya Allah yang harus aku
sembah. Kini aku sedikit lebih paham (karena masih banyak hal yang belum aku
pahami), tentang kekuatan rububiyah Allah (sebagai pencipta, yang berkuasa)
yang melazimkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan mengapa aku tidak
boleh mempersekutukan-Nya karena jika aku melakukan kesyirikan maka ia akan
menjadi dosa yang tak terampuni (jika tidak bertaubat).
Saudariku… agama Islam terlalu tinggi, canggih dan terlalu sempurna,
dengan konsepnya yang sangat jelas, sehingga agama-agama lain menjadi sangat
lemah untuk menjadi pembandingnya, termasuk agama Kristen yang aku anut dahulu.
by. artikelmotivasi-islami
by. artikelmotivasi-islami
**
Ket :
''Aku'' -dalam cerita diatas adalah Wanita(Nara sumber).
''A'' -dalam cerita diatas
adalah Pria Muslim.
''X'' -dalam cerita diatas
adalah nama pendeta yang di inisialkan.
0 komentar:
Posting Komentar