MENGAPA ORANG SUSAH MINTA MAAF DAN MEMAAFKAN?
Tulisan ini terinspirasi oleh khotbah yang disampaikan oleh khatib
sholat Jum’at barusan, yang saya kombinasikan dengan berbagai sumber
mengenai ilmu perilaku manusia. Ada dua pertanyaan yang diajukan oleh
khotib mengawali khotbahnya. Pertama, apa yang menyebabkan manusia susah
untuk meminta maaf kepada orang lain? Kedua, apa yang menyebabkan
manusia susah untuk memaafkan orang lain walaupun sudah minta maaf?
Topik ini sangat relevan dengan suasana bulan Ramadhan yang disebut juga
bulan penuh ampunan, dan sangat membumi karena topiknya berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari.
Kelihatannya khatib ini disamping memiliki ilmu agama Islam yang
baik, juga memiliki pemahaman yang baik tentang ilmu sosiologi. Dia
memulai khotbahnya dengan mengatakan bahwa paradigma berpikir manusia
itu macam-macam alias sangat bervariasi, dan tingkah laku manusia itu
sangat ditentukan oleh paradigma yang dia anut. Dalam masyarakat,
seseorang akan berinteraksi dengan orang lain, di mana interaksi itu
bisa jadi dilandasi oleh paradigma berpikir yang berbeda. Pada saat
terjadi ketidaksesuaian paradigma yang tercermin pada ketidaksesuaian
perilaku, maka di sinilah suatu “kesalahan” muncul, akibat perbedaan
tersebut.
Jadi meminta maaf itu adalah suatu inisiatif yang harus dilakukan
jika kita merasa ada sesuatu yang kurang beres terjadi dalam suatu
interaksi, tanpa perlu menganalisis siapa yang salah dan siapa yang
benar. Suatu “kesalahan” itu kadang-kadang bermakna relatif, sehingga
sesuatu yang dianggap salah oleh si A, belum tentu dianggap salah oleh
si B. Dengan demikian, permintaan maaf dalam ajaran Islam juga bermakna
untuk menjaga keharmonisan interaksi sosial, dan tidak perlu menunggu
sampai terjadinya pembuktian kesalahan atau tidak.
Mengapa ada manusia yang susah untuk meminta maaf kepada orang lain?
Ini adalah suatu bentuk jiwa yang arogan, yang penyebabnya mungkin salah
satu dari beberapa hal berikut ini.
Pertama, dia merasa tidak berbuat salah, dan merasa diri selalu
benar. Sehingga dia tidak merasa perlu meminta maaf kepada orang lain,
karena dia tidak merasa berbuat salah, walaupun orang lain sudah
tersinggung dibuatnya. Bahkan, jika ada orang yang mengingatkannya, dia
akan mempertanyakan di mana salah dia, dan akan menyalahkan orang lain
karena cepat tersinggung. Ini adalah bentuk arogansi paradigma.
Kedua, dia merasa gengsi untuk meminta maaf, walaupun dia sadar sudah
berbuat kesalahan terhadap orang lain. Rasa gengsi dia telah menguasai
jiwa atai dirinya, sehingga lebih memilih untuk mengorbankan
keharmonisan sosial yang ada. Kalau perlu dia mencari dalih atau
pembenaran sehingga justru yang salah adalah orang lain. Ini adalah
bentuk arogansi perilaku.
Ketiga, dia sadar sudah berbuat salah, tetapi dia merasa persoalan
selesai begitu saja, tanpa perlu ada suatu ungkapan minta maaf. Orang
seperti ini masih lebih baik, karena dia menyadari ada suatu kesalahan
yang dibuat, tetapi dia membiarkannya berlalu bersama waktu dan dia
mengubah interaksinya dengan orang yang dia sakiti tersebut menjadi
lebih baik, tetapi tetap tidak ada permohonan maaf yang keluar dari
mulutnya. Ini juga suatu bentuk arogansi, yaitu arogansi komunikasi.
Tetapi ada suatu bentuk permintaan maaf yang lain, yaitu permintaan
maaf yang basa-basi, di mana kata-kata permohonan maaf hanya ada di
mulut semata, tetapi tidak dari hati. Menurut sang khatib tadi, ajaran
Islam itu mengharuskan suatu kata maaf berasal dari hati, diungkapkan
oleh perkataan lewat mulut atau tulisan, dan ditindaklanjuti dengan
ganti rugi (jika menyebabkan kerugian) serta perbaikan perilaku. Itulah
permohonan maaf sejati.
Dari sisi sebaliknya, mengapa ada manusia yang enggan memaafkan orang
lain? Walaupun orang itu sudah meminta maaf kepadanya? Ini juga suatu
bentuk arogansi, yang mungkin disebabkan oleh salah satu faktor berikut
ini.
Pertama, adanya kecurigaan kepada pihak yang meminta maaf bahwa
permintaan maafnya tidak sungguh-sungguh. Maka kecurigaan dalam bentuk
prasangka buruk ini telah mengalahkan keikhlasan dan sikap lapang dada
pada dirinya. Ini juga suatu bentuk arogansi, yaitu arogansi prasangka.
Kedua, menuntut sesuatu yang lebih dari permintaan maaf yang
disampaikan, misalnya dalam bentuk ganti-rugi, dan sebagainya. Ini
sebenarnya bisa dibicarakan dengan pihak yang meminta maaf dan jangan
didiamkan. Tentu saja layak jika kita meminta suatu ganti rugi atas
suatu kerugian yang kita alami selama itu masuk akal dan tidak
mengada-ada. Di sisi lain, pihak yang meminta maaf tentu juga perlu
memperhatikan adanya ganti-rugi jika memang ada kerugian yang diderita
orang lain akibat perbuatannya. Tetapi jika tuntutannya sangat tinggi
dan tidak masuk akal, maka ini juga suatu bentuk arogansi.
Ketiga, dan ini mungkin sangat manusiawi, karena penderitaan yang
dialami oleh perilaku orang lain itu sangat menyedihkan dan tidak bisa
diganti dengan materi apapun. Kesedihan yang mendalam ini mungkin
manusiawi sifatnya, tetapi jika orang lain sudah meminta maaf dengan
khusus penuh penyesalan, maka ajaran Islam mewajibkan kita untuk memberi
maaf penuh keikhlasan.
Menarik menyimak khotbah tadi .. semoga menjadi bahan perenungan .. terutama buat diri saya sendiri yang menuliskannya ..
Salam
Riri
Riri
0 komentar:
Posting Komentar