Jumat, 13 September 2013

Apa Sulitnya Sih Minta Maaf Dan Memaafkan


MENGAPA ORANG SUSAH MINTA MAAF DAN MEMAAFKAN?

Tulisan ini terinspirasi oleh khotbah yang disampaikan oleh khatib sholat Jum’at barusan, yang saya kombinasikan dengan berbagai sumber mengenai ilmu perilaku manusia. Ada dua pertanyaan yang diajukan oleh khotib mengawali khotbahnya. Pertama, apa yang menyebabkan manusia susah untuk meminta maaf kepada orang lain? Kedua, apa yang menyebabkan manusia susah untuk memaafkan orang lain walaupun sudah minta maaf? Topik ini sangat relevan dengan suasana bulan Ramadhan yang disebut juga bulan penuh ampunan, dan sangat membumi karena topiknya berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. 

Kelihatannya khatib ini disamping memiliki ilmu agama Islam yang baik, juga memiliki pemahaman yang baik tentang ilmu sosiologi. Dia memulai khotbahnya dengan mengatakan bahwa paradigma berpikir manusia itu macam-macam alias sangat bervariasi, dan tingkah laku manusia itu sangat ditentukan oleh paradigma yang dia anut. Dalam masyarakat, seseorang akan berinteraksi dengan orang lain, di mana interaksi itu bisa jadi dilandasi oleh paradigma berpikir yang berbeda. Pada saat terjadi ketidaksesuaian paradigma yang tercermin pada ketidaksesuaian perilaku, maka di sinilah suatu “kesalahan” muncul, akibat perbedaan tersebut.

Jadi meminta maaf itu adalah suatu inisiatif yang harus dilakukan jika kita merasa ada sesuatu yang kurang beres terjadi dalam suatu interaksi, tanpa perlu menganalisis siapa yang salah dan siapa yang benar. Suatu “kesalahan” itu kadang-kadang bermakna relatif, sehingga sesuatu yang dianggap salah oleh si A, belum tentu dianggap salah oleh si B. Dengan demikian, permintaan maaf dalam ajaran Islam juga bermakna untuk menjaga keharmonisan interaksi sosial, dan tidak perlu menunggu sampai terjadinya pembuktian kesalahan atau tidak.

Mengapa ada manusia yang susah untuk meminta maaf kepada orang lain? Ini adalah suatu bentuk jiwa yang arogan, yang penyebabnya mungkin salah satu dari beberapa hal berikut ini.

Pertama, dia merasa tidak berbuat salah, dan merasa diri selalu benar. Sehingga dia tidak merasa perlu meminta maaf kepada orang lain, karena dia tidak merasa berbuat salah, walaupun orang lain sudah tersinggung dibuatnya. Bahkan, jika ada orang yang mengingatkannya, dia akan mempertanyakan di mana salah dia, dan akan menyalahkan orang lain karena cepat tersinggung. Ini adalah bentuk arogansi paradigma.

Kedua, dia merasa gengsi untuk meminta maaf, walaupun dia sadar sudah berbuat kesalahan terhadap orang lain. Rasa gengsi dia telah menguasai jiwa atai dirinya, sehingga lebih memilih untuk mengorbankan keharmonisan sosial yang ada. Kalau perlu dia mencari dalih atau pembenaran sehingga justru yang salah adalah orang lain. Ini adalah bentuk arogansi perilaku.

Ketiga, dia sadar sudah berbuat salah, tetapi dia merasa persoalan selesai begitu saja, tanpa perlu ada suatu ungkapan minta maaf. Orang seperti ini masih lebih baik, karena dia menyadari ada suatu kesalahan yang dibuat, tetapi dia membiarkannya berlalu bersama waktu dan dia mengubah interaksinya dengan orang yang dia sakiti tersebut menjadi lebih baik, tetapi tetap tidak ada permohonan maaf yang keluar dari mulutnya. Ini juga suatu bentuk arogansi, yaitu arogansi komunikasi.

Tetapi ada suatu bentuk permintaan maaf yang lain, yaitu permintaan maaf yang basa-basi, di mana kata-kata permohonan maaf hanya ada di mulut semata, tetapi tidak dari hati. Menurut sang khatib tadi, ajaran Islam itu mengharuskan suatu kata maaf berasal dari hati, diungkapkan oleh perkataan lewat mulut atau tulisan, dan ditindaklanjuti dengan ganti rugi (jika menyebabkan kerugian) serta perbaikan perilaku. Itulah permohonan maaf sejati.

Dari sisi sebaliknya, mengapa ada manusia yang enggan memaafkan orang lain? Walaupun orang itu sudah meminta maaf kepadanya? Ini juga suatu bentuk arogansi, yang mungkin disebabkan oleh salah satu faktor berikut ini.

Pertama, adanya kecurigaan kepada pihak yang meminta maaf bahwa permintaan maafnya tidak sungguh-sungguh. Maka kecurigaan dalam bentuk prasangka buruk ini telah mengalahkan keikhlasan dan sikap lapang dada pada dirinya. Ini juga suatu bentuk arogansi, yaitu arogansi prasangka.

Kedua, menuntut sesuatu yang lebih dari permintaan maaf yang disampaikan, misalnya dalam bentuk ganti-rugi, dan sebagainya. Ini sebenarnya bisa dibicarakan dengan pihak yang meminta maaf dan jangan didiamkan. Tentu saja layak jika kita meminta suatu ganti rugi atas suatu kerugian yang kita alami selama itu masuk akal dan tidak mengada-ada. Di sisi lain, pihak yang meminta maaf tentu juga perlu memperhatikan adanya ganti-rugi jika memang ada kerugian yang diderita orang lain akibat perbuatannya. Tetapi jika tuntutannya sangat tinggi dan tidak masuk akal, maka ini juga suatu bentuk arogansi.

Ketiga, dan ini mungkin sangat manusiawi, karena penderitaan yang dialami oleh perilaku orang lain itu sangat menyedihkan dan tidak bisa diganti dengan materi apapun. Kesedihan yang mendalam ini mungkin manusiawi sifatnya, tetapi jika orang lain sudah meminta maaf dengan khusus penuh penyesalan, maka ajaran Islam mewajibkan kita untuk memberi maaf penuh keikhlasan. 

Menarik menyimak khotbah tadi .. semoga menjadi bahan perenungan .. terutama buat diri saya sendiri yang menuliskannya ..

Salam
Riri




0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution