MENJADI MUSLIM YANG BERMANFAAT BAGI MANUSIA
“Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit,
di pohon-pohon kayu dan tempat yang dibikin manusia.” Kemudian makanlah
dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu)
yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan.” (Q.S. al-Nahl [16]: 68-69).
Ada dua pertanyaan yang seyogianya mengiringi kepergian-kepergian kita. Pertanyaan pertama untuk mengiringi kepergian kita menuju kematian yang sementara (tidur) dan kematian yang sesungguhnya dengan terlepasnya ruh dari jasad, adalah; kebajikan-kebajikan apa yang sudah kulakukan untuk Tuhanku dan kebajikan-kebajikan apa yang sudah kulakukan untuk manusia? Pertanyaan kedua untuk mengiringi kepergian kita menuju tempat beraktifitas (kasb), adalah; kebajikan apa yang akan kupersembahkan kepada Allah SWT dan kebajikan-kebajikan apa yang akan kuberikan kepada manusia? Dua pertanyaan tersebut akan menjadi suatu hal yang sangat mendasar, karena dengan adanya dua hal tersebut kita dalam setiap hari akan mempunyai motivasi positif dalam hidup; pengabdian kepada Allah SWT dan perbuatan baik bagi manusia.
Selanjutnya, apa yang kita lakukan hendaklah dimulai dengan nama Allah didasari oleh semangat melaksanakan anjuran Alla dan dipersembahkan kepada Allah. Pada dasarnya, kebaikan apapun yang dilakukan karena mengikuti anjuran Allah merupakan wujud kebaikan universal yang bermanfaat kepada diri sendiri dan juga manusia banyak. Kita harus bertanggungjawab kepada diri sendiri dengan memelihara diri dari kebinasaan. Kesehatan dan kelangsungan hidup kita misalnya adalah merupakan amanat yang Allah berikan kepada kita yang harus kita jaga sebaik mungkin serta kita syukuri dengan melakukan hal-hal yang terbaik bagi kebaikan bagi diri sendiri sebagai bentuk tanggungjawab kepada diri sendiri dan Allah. Selain itu kita juga harus menjalankan sebaik mungkin apa yang menjadi tugas kita sebagai bentuk tanggungjawab kita kepada diri sendiri, instansi dan Tuhan. Kita juga mempunyai tanggungjawab bersama (tanggungjawab sosial) dengan melakukan yang terbaik bagi orang lain tanpa mengabaikan urusan pribadi.
Semangat ajaran Islam mengajak kaum Muslim agar menjadi orang yang bermanfaat bagi manusia lainnya, bukan hanya kepada diri sendiri dan bagi umat Muslim saja. Bahkan manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya adalah predikat tertinggi dalam Islam. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Di sini perlu saya ungkapkan kembali bahwa cara beragama umat Muslim jangan hendaknya egois, yaitu beragama yang hanya berdampak baik bagi umat Muslim.
Mengapa? Bukankah Nabi Muhammad di utus untuk menjadi “rahmat” kasih sayang bagi seluruh alam semesta? Konsekuensi logisnya, umat yang mengikutinya pun harus dapat menempatkan dan memposisikan dirinya menjadi rahmat bagi alam semesta yang terdiri dari banyak manusia dengan latar belakang berbeda dan juga kepercayaan yang berbeda. Bukankah Nabi Muhammad menjadi pelindung bagi orang-orang kafir dzimmy? Bukankah beliau juga melakukan pembelaan hak-hak orang Kristen maupun Yahudi yang tidak memerangi kaum Muslim?
Contoh tauladan lain adalah Umar ibn Al-Khatthab sebagai khalifah kedua yang memenangkan orang Yahudi dalam kasus penggusuran tanah miliknya yang direncanakan akan didirikan masjid di atasnya. Dan banyak lagi bukti-bukti kasus masa lalu yang menunjukkan betapa anggunnya Islam. Jadi dalam hal ini orientasi kaum Muslim dalam melakukan segala sesuatunya akan lebih baik dan bijak jika untuk kebaikan bersama. Atau bisa kita istilahkan sebagai “And Muslim for all”, umat Muslim harus bermanfaat kepada semuanya sebagai bentuk tanggungjawabnya menjadi umat “wasathan” dan“khairu ummah ukhrijat linnâs”.
Al-Qur’an mengajarkan umat Muslim untuk menjadi atau berfungsi sebagai lebah yang dapat menghasilkan madu, satu jenis minuman yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hal ini terlukis jelas dalam Q.S. al-Nahl [16]: 68-69 sebagaimana ayat diatas. Terkait dengan ayat tersebut, umat Muslim diharapkan dapat memberikan manfaat dengan kontribusi yang direalisasikan melalui pikiran atau karya nyata lainnya.
Jadi karya maupun hasil dari kreativitas kerja Muslim hendaklah merupakan madu yang menyehatkan dan sangat bermanfaat untuk banyak hal, bukan sampah atau racun yang menyengsarakan apalagi mematikan. Karya dibuat dan diberikan dengan tanggungjawab untuk membuat manusia semakin baik. Kerja harus dilakukan dengan penuh pengabdian bagi Allah dan kemanusiaan serta penuh tanggungjawab kepada Allah dan kemanusiaan. Kalaupun tidak bisa berpikir dan berkarya, cukuplah hanya dengan tidak berbuat sesuatu yang dapat merugikan manusia yang lainnya karena bagi orang tipe ini “diam adalah emas” diam menjadi lebih baik baginya daripada berbuat atau berbicara yang justru hanya berdampak bagi kerugian di pihak lain.
Dalam sejarah, umat Muslim pernah mengukir sejarah yang menunjukkan pengabdiannya kepada Allah dan kemanusiaan melalui banyak lahirnya orang-orang yang dapat membangun dan mengembangkan peradaban umat manusia. Umat Muslim pernah memiliki Al-Khwarizmi yang turut membangun dasar-dasar ilmu matematika dan astronomi; Ibn Sina (Avicenna) yang failasuf namun juga dokter yang sampai saat ini karyanya menjadi referensi wajibdalam bidang kedokteran; Ibn Rusyd (Averroes) yang seorang failasuf dan ahli hukum Islam; dan banyak lagi yang lainnya yang karya-karya mereka itu kemudian ditranslet ke dalam bahasa Inggris yang kemudian terbukti menjadi sumbangan yang demikian besar harganya bagi peradaban Barat.
Hal senada dikemukakan oleh W. Montgomery Watt (1972) dalam The Influence of Islam on Medieval Europ, bahwa bagaimanapun juga Eropa atau Barat pada umumnya berhutang budaya kepada umat Muslim karena mereka mengadopsi banyak pengetahuan dari mereka, dan Barat bisa mengenal Yunani adalah melalui perantaraan sarjana-sarjana Muslim yang menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab yang kemudian ditranslet ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Untuk lebih jelasnya dapat dibaca juga Marshall G. S. Hodgson The Venture of Islam: Conscience and History in World Civilization Book Two: The Classical Civilization of the High Caliphate.
Itu adalah masa lalu yang tidak akan hadir lagi saat ini, tidak perlu disesalkan dan diratapi. Masa lalu akan menjadi sejarah bagi kita. Apa yang terbaik yang dapat kita ambil dan apa kesalahan yang ada akan menjadi pelajaran dan sekaligus peringatan bagi kita. Karena bagi orang Muslim, segala sesuatu akan berdayaguna dan bermanfaat bagi hidupnya. Maka yang perlu dilakukan oleh umat Muslim saat ini adalah dengan jalan mempersiapkan diri dengan membekali ilmu pengetahuan serta upaya yang sistematis untuk menyongsong masa depan bagi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia sesuai dengan bidang yang ditekuninya, sesederhana apa pun bidang itu. Karena kita harus yakin bahwa hal-hal yang kecil dan dianggap sepele itu sebenarnya dapat menolong dan menopang jalannya kehidupan umat manusia. Inilah manfaat yang sesungguhnya, maka kita tidak usah terbuai dengan keputusasaan karena tidak bisa melakukan hal-hal yang besar walaupun sebenarnya kita dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas kita secara pribadi.
Banyak hal besar dimulai dengan yang kecil. Dengan demikian seseorang akan menikmati berbagai pengalaman antara kesengsaraan dan kenikmatan. (Seperti halnya untuk menjadi seorang pemimpin sebaiknya berangkat dari bawah agar tetap dapat menyadari betapa menghargai orang-orang di bawah itu penting, dan bahwa segala bentuk penindasan itu perbuatan yang dikutuk oleh banyak orang). Tentu apa yang sering kita katakan akan kita perlukan di sini bahwa “Sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali.” Namun tentunya kalimat itu tidak menjadi legitimasi untuk mengerjakan dan menjalankan sesuatunya secara asal dan kurang bertanggungjawab. Karena kita yakin bahwa sesuatu yang asal-asalan dan tidak bertanggungjawab tidak akan mendatangkan manfaat apapun melainkan hanya penyesalan dan bentuk kebodohan yang tidak terampuni. Atau kita lebih suka menjadi yang bodoh dan tidak bermanfaat, yang ada ataupun tiadanya kita bernilai sama sebagai tiada?
Wallâhu a’lam bis-shawwâb
Supriyanto Pasir
Ada dua pertanyaan yang seyogianya mengiringi kepergian-kepergian kita. Pertanyaan pertama untuk mengiringi kepergian kita menuju kematian yang sementara (tidur) dan kematian yang sesungguhnya dengan terlepasnya ruh dari jasad, adalah; kebajikan-kebajikan apa yang sudah kulakukan untuk Tuhanku dan kebajikan-kebajikan apa yang sudah kulakukan untuk manusia? Pertanyaan kedua untuk mengiringi kepergian kita menuju tempat beraktifitas (kasb), adalah; kebajikan apa yang akan kupersembahkan kepada Allah SWT dan kebajikan-kebajikan apa yang akan kuberikan kepada manusia? Dua pertanyaan tersebut akan menjadi suatu hal yang sangat mendasar, karena dengan adanya dua hal tersebut kita dalam setiap hari akan mempunyai motivasi positif dalam hidup; pengabdian kepada Allah SWT dan perbuatan baik bagi manusia.
Selanjutnya, apa yang kita lakukan hendaklah dimulai dengan nama Allah didasari oleh semangat melaksanakan anjuran Alla dan dipersembahkan kepada Allah. Pada dasarnya, kebaikan apapun yang dilakukan karena mengikuti anjuran Allah merupakan wujud kebaikan universal yang bermanfaat kepada diri sendiri dan juga manusia banyak. Kita harus bertanggungjawab kepada diri sendiri dengan memelihara diri dari kebinasaan. Kesehatan dan kelangsungan hidup kita misalnya adalah merupakan amanat yang Allah berikan kepada kita yang harus kita jaga sebaik mungkin serta kita syukuri dengan melakukan hal-hal yang terbaik bagi kebaikan bagi diri sendiri sebagai bentuk tanggungjawab kepada diri sendiri dan Allah. Selain itu kita juga harus menjalankan sebaik mungkin apa yang menjadi tugas kita sebagai bentuk tanggungjawab kita kepada diri sendiri, instansi dan Tuhan. Kita juga mempunyai tanggungjawab bersama (tanggungjawab sosial) dengan melakukan yang terbaik bagi orang lain tanpa mengabaikan urusan pribadi.
Semangat ajaran Islam mengajak kaum Muslim agar menjadi orang yang bermanfaat bagi manusia lainnya, bukan hanya kepada diri sendiri dan bagi umat Muslim saja. Bahkan manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya adalah predikat tertinggi dalam Islam. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Di sini perlu saya ungkapkan kembali bahwa cara beragama umat Muslim jangan hendaknya egois, yaitu beragama yang hanya berdampak baik bagi umat Muslim.
Mengapa? Bukankah Nabi Muhammad di utus untuk menjadi “rahmat” kasih sayang bagi seluruh alam semesta? Konsekuensi logisnya, umat yang mengikutinya pun harus dapat menempatkan dan memposisikan dirinya menjadi rahmat bagi alam semesta yang terdiri dari banyak manusia dengan latar belakang berbeda dan juga kepercayaan yang berbeda. Bukankah Nabi Muhammad menjadi pelindung bagi orang-orang kafir dzimmy? Bukankah beliau juga melakukan pembelaan hak-hak orang Kristen maupun Yahudi yang tidak memerangi kaum Muslim?
Contoh tauladan lain adalah Umar ibn Al-Khatthab sebagai khalifah kedua yang memenangkan orang Yahudi dalam kasus penggusuran tanah miliknya yang direncanakan akan didirikan masjid di atasnya. Dan banyak lagi bukti-bukti kasus masa lalu yang menunjukkan betapa anggunnya Islam. Jadi dalam hal ini orientasi kaum Muslim dalam melakukan segala sesuatunya akan lebih baik dan bijak jika untuk kebaikan bersama. Atau bisa kita istilahkan sebagai “And Muslim for all”, umat Muslim harus bermanfaat kepada semuanya sebagai bentuk tanggungjawabnya menjadi umat “wasathan” dan“khairu ummah ukhrijat linnâs”.
Al-Qur’an mengajarkan umat Muslim untuk menjadi atau berfungsi sebagai lebah yang dapat menghasilkan madu, satu jenis minuman yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hal ini terlukis jelas dalam Q.S. al-Nahl [16]: 68-69 sebagaimana ayat diatas. Terkait dengan ayat tersebut, umat Muslim diharapkan dapat memberikan manfaat dengan kontribusi yang direalisasikan melalui pikiran atau karya nyata lainnya.
Jadi karya maupun hasil dari kreativitas kerja Muslim hendaklah merupakan madu yang menyehatkan dan sangat bermanfaat untuk banyak hal, bukan sampah atau racun yang menyengsarakan apalagi mematikan. Karya dibuat dan diberikan dengan tanggungjawab untuk membuat manusia semakin baik. Kerja harus dilakukan dengan penuh pengabdian bagi Allah dan kemanusiaan serta penuh tanggungjawab kepada Allah dan kemanusiaan. Kalaupun tidak bisa berpikir dan berkarya, cukuplah hanya dengan tidak berbuat sesuatu yang dapat merugikan manusia yang lainnya karena bagi orang tipe ini “diam adalah emas” diam menjadi lebih baik baginya daripada berbuat atau berbicara yang justru hanya berdampak bagi kerugian di pihak lain.
Dalam sejarah, umat Muslim pernah mengukir sejarah yang menunjukkan pengabdiannya kepada Allah dan kemanusiaan melalui banyak lahirnya orang-orang yang dapat membangun dan mengembangkan peradaban umat manusia. Umat Muslim pernah memiliki Al-Khwarizmi yang turut membangun dasar-dasar ilmu matematika dan astronomi; Ibn Sina (Avicenna) yang failasuf namun juga dokter yang sampai saat ini karyanya menjadi referensi wajibdalam bidang kedokteran; Ibn Rusyd (Averroes) yang seorang failasuf dan ahli hukum Islam; dan banyak lagi yang lainnya yang karya-karya mereka itu kemudian ditranslet ke dalam bahasa Inggris yang kemudian terbukti menjadi sumbangan yang demikian besar harganya bagi peradaban Barat.
Hal senada dikemukakan oleh W. Montgomery Watt (1972) dalam The Influence of Islam on Medieval Europ, bahwa bagaimanapun juga Eropa atau Barat pada umumnya berhutang budaya kepada umat Muslim karena mereka mengadopsi banyak pengetahuan dari mereka, dan Barat bisa mengenal Yunani adalah melalui perantaraan sarjana-sarjana Muslim yang menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab yang kemudian ditranslet ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Untuk lebih jelasnya dapat dibaca juga Marshall G. S. Hodgson The Venture of Islam: Conscience and History in World Civilization Book Two: The Classical Civilization of the High Caliphate.
Itu adalah masa lalu yang tidak akan hadir lagi saat ini, tidak perlu disesalkan dan diratapi. Masa lalu akan menjadi sejarah bagi kita. Apa yang terbaik yang dapat kita ambil dan apa kesalahan yang ada akan menjadi pelajaran dan sekaligus peringatan bagi kita. Karena bagi orang Muslim, segala sesuatu akan berdayaguna dan bermanfaat bagi hidupnya. Maka yang perlu dilakukan oleh umat Muslim saat ini adalah dengan jalan mempersiapkan diri dengan membekali ilmu pengetahuan serta upaya yang sistematis untuk menyongsong masa depan bagi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia sesuai dengan bidang yang ditekuninya, sesederhana apa pun bidang itu. Karena kita harus yakin bahwa hal-hal yang kecil dan dianggap sepele itu sebenarnya dapat menolong dan menopang jalannya kehidupan umat manusia. Inilah manfaat yang sesungguhnya, maka kita tidak usah terbuai dengan keputusasaan karena tidak bisa melakukan hal-hal yang besar walaupun sebenarnya kita dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas kita secara pribadi.
Banyak hal besar dimulai dengan yang kecil. Dengan demikian seseorang akan menikmati berbagai pengalaman antara kesengsaraan dan kenikmatan. (Seperti halnya untuk menjadi seorang pemimpin sebaiknya berangkat dari bawah agar tetap dapat menyadari betapa menghargai orang-orang di bawah itu penting, dan bahwa segala bentuk penindasan itu perbuatan yang dikutuk oleh banyak orang). Tentu apa yang sering kita katakan akan kita perlukan di sini bahwa “Sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali.” Namun tentunya kalimat itu tidak menjadi legitimasi untuk mengerjakan dan menjalankan sesuatunya secara asal dan kurang bertanggungjawab. Karena kita yakin bahwa sesuatu yang asal-asalan dan tidak bertanggungjawab tidak akan mendatangkan manfaat apapun melainkan hanya penyesalan dan bentuk kebodohan yang tidak terampuni. Atau kita lebih suka menjadi yang bodoh dan tidak bermanfaat, yang ada ataupun tiadanya kita bernilai sama sebagai tiada?
Wallâhu a’lam bis-shawwâb
Supriyanto Pasir
Pengasuh Kajian Tafsir di Masjid Ulil Albab UII
0 komentar:
Posting Komentar