Jumat, 13 September 2013

Jilbab Bukan Budaya

Jilbab Dan Budaya

Jilbab adalah istilah untuk pakaian wanita sejenis baju kurung yang menutupi seluruh tubuh terkecuali wajah dan telapak tangan. Jilbab juga disinggung dalah al-Qur'an, yaitu dalam Surat al-Ahzaab ayat 59, artinya : 

Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu dan kepada anak-anak perempuanmu serta kepada isteri-isteri orang-orang mu'min : "hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu".

Termasuk ajaran agama dan etika Islam adalah berpakaian islami. Cara berpakaian seorang wanita terbagi dalam berbagai kondisi, yaitu ketika salat, ketika ihram, dan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika salat seorang wanita harus menutupi seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, demikian juga ketika dalam keadaan Ihram, hanya disini diwajibkan kepadanya untuk tidak menutup muka dan kedua telapak tangannya.


Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di tempat publik, menurut Jumhur (mayoritas) ulama (Hanafi, Maliki dan Syafi'i) wanita wajib menutup seluruh badannya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Pendapat ini dilandaskan kepada al-Qur'an surat an-Nur ayat 31 : "Dan hendaknya mereka (kaum muslimat) menurunkan kerudung mereka hingga menutupi kerah baju mereka ke dadanya". Ayat ini menunjukkan kewajiban menutup kepala, kecuali dalam lingkungan keluarganya sendiri. Ayat ini diperkuat oleh sebuah hadist riwayat Abu Dawud: Nabi berkata kepada Asma (puri Sahabat Abu Bakar) "Hai Asma, kalau wanita telah kedatangan haid (telah masuk masa haid), maka tidaklah layak dirinya untuk dilihat, kecuali ini dan ini", sembari menunjuk muka dan kedua telapak tangan.


Hanya mazhab Hanbaliyah mengatakan bahwa wanita harus menutup seluruh badannya di depan publik.


Jadi berpakaian Islami dalam ajaran agama Islam adalah setingkat lebih khusus dibandingkan dengan hanya sekedar berpakaian dan mempunyai muatan etis agamis tersendiri. Dengan demikian berpakaian islami sesuai aturan al-Qur'an dan hadist lebih merupakan ajaran agama, daripada sekedar bias budaya ataupun iklim. Dalam kata lain, menutup kepala bagi seorang muslimah merupakan ajaran dan etika agama, sedangkan menghindari image negatif di mata publik atau menghindari fitnah dan keinginan tidak baik laki-laki adalah hikmah atau manfaat dari cara berpakaian islami itu sendiri.


Permasalahan agama bisa menjadi rumit dan komplek kalau kita mengkaitkan ajaran agama dengan pengaruh budaya dan iklim, karena pada ujungnya kita akan terseret kepada ketentuan yang serba tidak jelas. Sebuah ilustrasi mungkin di sini bisa dikemukakan: masyarakat suku Asmat di Irian, sesuai budaya mereka, berpakaian etis mungkin hanya cukup menutup bagian minim dari tubuh, baik untuk wanita maupun laki-laki. Begitu juga ukuran yang tidak menyebabkan fitnah dalam budaya mereka juga cukup demikian. Seandainya kita mengkaitkan ajaran agama Islam dengan budaya dan iklim, tentu kita akan bisa berpendapat bahwa untuk muslimah Asmat dalam berpakaian boleh saja seperti itu karena alasan budaya dan iklim. Tentu ini kurang tepat menurut logika keagamaan kita.


Kalau permasalahannya adalah rambut rontok, gatal-gatal, bau badan dll, tentu tidak bisa digunakan sebagai ukuran dalam agama, karena itu semua lebih bersifat personal dan berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Begitu juga masalah rasa kurang praktis dalam berjilbab, itu sangat kondisional. Adapun Iman dan taqwa seseorang, tentu tergantung kepada sejauh mana seseorang menegakkan ajaran agamanya.


Satu hal yang patut kita garis bawahi dalam masalah busana muslimah, khususnya bagi mereka yang hidup di masyarakat yang sekuler adalah membedakan antara esensi ajaran agama dan realitas kehidupan yang kita hadapi. Dalil dan ajaran yang mewajibkan berpakaian sesuai dengan al-Qur'an dan hadist, sudah cukup jelas maksudnya. Itulah ajaran agama kita yang harus kita laksanakan. Dan kita harus tanamkan dalam hati kita bahwa itulah tanggung jawab kita untuk menegakkannya, dimulai dari diri kita. Namun, terkadang kondisi sosial, lingkungan kerja, tuntutan karier, dll yang menyebabkan seorang muslimah tidak atau belum mampu melaksanakan ajaran berbusana muslimah.


Bila seorang muslimah dalam kondisi demikian mampu untuk berbusana muslimah, berjilbab dengan konsisten, tentu ini adalah hal terpuji menurut agama. Akan tetapi bila kondisi-kondisi tadi masih belum atau tidak memungkinkannya untuk segera berbusana muslimah, hendaknya seorang muslimah tetap menanamkan dalam hatinya niat baik bahwa suatu saat ia akan segera berbusana muslimah manakala situasi dan kondisi telah memungkinkannya. Karena itulah sebenarnya ajaran agama kita.


Mudah-mudahan uraian di atas bermanfaat. Wallahu A'lam.


Muhammad Niam

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution