Anak Antara Harapan Dan Ujian
Sebagai insan beriman, selaiknya untuk tiada henti-henti menabur rasa
syukur dalam hidupnya. Syukur, atas beragam nikmat dan karunia yang
telah Allah l limpahkan kepadanya. Betapa banyak curahan nikmat dan
karunia yang direguk, tiadalah diri mampu untuk membilangnya. Ini telah
Allah l tegaskan dalam firman-Nya:
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 18)
Bagi insan beriman yang pandai mensyukuri nikmat, tentulah Allah l
kelak menambah kenikmatan itu. Ini sebagaimana telah Allah l nyatakan:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.”
(Ibrahim: 7)
Juga, bagi insan beriman yang secara cerdas menyikapi kucuran beragam
nikmat Allah l, dirinya kelak memperoleh keberuntungan, kesuksesan, dan
kemenangan.
Firman-Nya:
“Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Al-A’raf: 69)
Satu dari beragam nikmat yang telah Allah l karuniakan kepada hamba-hamba-Nya adalah anak.
Firman-Nya:
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman
kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (An-Nahl: 72)
Firman-Nya:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa
yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang
Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia
kehendaki. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan
(kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa
yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
(Asy-Syura: 49-50)
Demikianlah, Allah l tentukan segala sesuatu atas manusia. Termasuk
dalam pemberian anak. Maka, segala nikmat yang ada pada manusia,
semuanya dari Allah l. Allah l berfirman:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An-Nahl: 53)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t membagi nikmat ke dalam dua bagian.
Pertama, an-ni’mah al-muthlaqah. Yaitu kenikmatan yang bisa
mengantarkan kepada kebahagiaan abadi. Seperti nikmat dalam berislam dan
mengikuti As-Sunnah. Allah l telah memerintahkan untuk memohon meraup
nikmat ini. Memohon agar mendapat hidayah untuk menempuh jalan
orang-orang yang meraih nikmat ini:
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`:
69)
Kedua, an-ni’mah al-muqayyadah. Yaitu kenikmatan yang digambarkan
seperti nikmat memperoleh kesehatan, kekayaan, kekuatan jasad,
kedudukan, banyak anak dan memiliki para istri yang baik, serta
nikmat-nikmat yang sejenis. Kenikmatan semacam ini diberikan kepada
orang yang berbuat kebaikan, juga kepada orang yang berbuat kemaksiatan,
mukmin maupun kafir. Kenikmatan seperti di atas, bila diberikan kepada
orang kafir, merupakan bentuk istidraj (dalam bahasa Jawa: dilulu)
dengan kenikmatan itu, mengarahkan dirinya kepada azab, petaka.
Hakikatnya dia tidak memperoleh nikmat, tapi sesungguhnya dirinya
memperoleh bala (sesuatu yang bisa menyusahkan). Firman-Nya:
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku’.
Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata:
‘Rabbku menghinakanku’.” (Al-Fajr: 15-16) [Ijtima’ Al-Juyusy
Al-Islamiyyah, hal. 33]
Kata Ibnu Katsir t bahwa firman Allah l (dalam ayat di atas) sebagai
bentuk pengingkaran terhadap orang yang berkeyakinan apabila Allah l
meluaskan rizkinya berarti dirinya mendapat kemuliaan. Padahal tidak
demikian. Bahkan hal itu merupakan bentuk bala dan ujian. Sebagaimana
Allah l firmankan:
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan
kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan
kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.”
(Al-Mu`minun: 55-56)
Demikian pula sebaliknya, apabila mengalami bala, ujian dan
kesempitan rizki, dirinya berkeyakinan bahwa Allah l menghinakannya.
Firman Allah l: ŁَŁŲ§َّ (Sekali-kali tidak demikian). Permasalahannya
tidaklah seperti yang dia yakini. Tidak seperti ini dan tidak seperti
yang ini pula. Karena sesungguhnya Allah l memberikan harta kepada siapa
yang Dia suka dan yang tidak Dia suka. Menyempitkan harta kepada yang
Dia suka dan yang tidak Dia suka. Sesungguhnya titik pijak dari itu
semua adalah ketaatan terhadap Allah l dalam (menyikapi) dua keadaan:
apabila dia sebagai orang yang berkecukupan (kaya), hendaknya dia
bersyukur kepada Allah l atas yang demikian ini. Apabila dia fakir,
hendaknya menyikapinya dengan sabar.” (‘Umdatut Tafsir ‘an Al-Hafizh Ibni Katsir, Asy-Syaikh Ahmad Syakir t, 3/683)
Karenanya, seseorang yang telah dikaruniai anak hendaknya menjaga
anak tersebut agar tidak menghadirkan bala dan malapetaka. Kehadirannya
tidak menjadi fitnah (ujian) yang menyeret orangtuanya kepada sesuatu
yang dimurkai Allah l. Untuk itu, Allah l telah mengingatkan bahwa harta
dan anak adalah fitnah (ujian).
“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)
Maksud ayat ini, harta dan anak adalah bala (sesuatu yang bisa
menyusahkan), ujian dan cobaan yang membawamu ke arah perbuatan yang
haram dan menghalangi dari hak Allah l. Maka, janganlah menaati mereka
dalam bermaksiat kepada Allah l. (Fathul Qadir, Muhammad bin Ali bin
Muhammad Asy-Syaukani, 5/317)
Allah l telah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga diri, istri
dan anak-anaknya dari api neraka. Membimbing dan mengarahkan mereka
untuk menetapi apa yang telah disyariatkan Allah l. Ini merupakan bagian
dari kewajiban memberikan pendidikan terhadap anak. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Dari Abdullah bin ‘Umar c, sesungguhnya Rasulullah n bersabda:
ŁُŁُّŁُŁ
ْ Ų±َŲ§Ų¹ٍ ŁَŁ
َŲ³ْŲ¤ُŁŁٌ Ų¹َŁْ Ų±َŲ¹ِŁَّŲŖِŁِ ŁَŲ£َŁ
ِŁŲ±ُ Ų§ŁَّŲ°ِŁ Ų¹َŁَŁ
Ų§ŁŁَّŲ§Ų³ِ Ų±َŲ§Ų¹ٍ ŁَŁُŁَ Ł
َŲ³ْŲ¤ُŁŁٌ Ų¹َŁْŁُŁ
ْ، ŁَŲ§ŁŲ±َّŲ¬ُŁُ Ų±َŲ§Ų¹ٍ Ų¹َŁَŁ Ų£َŁْŁِ
ŲØَŁْŲŖِŁِ ŁَŁُŁَ Ł
َŲ³ْŲ¤ُŁŁٌ Ų¹َŁْŁُŁ
ْ، ŁَŲ§ŁْŁ
َŲ±ْŲ£َŲ©ُ Ų±َŲ§Ų¹ِŁَŲ©ٌ Ų¹َŁَŁ
ŲØَŁْŲŖِ ŲØَŲ¹ْŁِŁَŲ§ ŁَŁَŁَŲÆِŁِ ŁَŁِŁَ Ł
َŲ³ْŲ¤ُŁŁَŲ©ٌ Ų¹َŁْŁُŁ
ْ، ŁَŲ§ŁْŲ¹َŲØْŲÆُ
Ų±َŲ§Ų¹ٍ Ų¹َŁŁَ Ł
َŲ§Łِ Ų³َŁِّŲÆِŁِ ŁَŁُŁَ Ł
َŲ³ْŲ¤ُŁŁٌ Ų¹َŁْŁُ، Ų£َŁَŲ§ ŁَŁُŁُّŁُŁ
ْ
Ų±َŲ§Ų¹ٍ ŁَŁُŁُّŁُŁ
ْ Ł
َŲ³ْŲ¤ُŁŁٌ Ų¹َŁْ Ų±َŲ¹ِŁَّŲŖِŁِ
“Setiap diri kamu adalah pemimpin, maka dia bertanggung jawab
terhadap yang dipimpinnya. Seorang amir (penguasa) yang membawahi
rakyatnya adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab terhadap mereka.
Seorang suami adalah pemimpin atas penghuni rumahnya (keluarga) dan dia
bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang istri adalah pemimpin atas
rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab terhadap
mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta majikannya dan dia
bertanggung jawab terhadapnya. Ingatlah, tiap-tiap kamu adalah pemimpin
dan setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.” (HR.
Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Islam mendorong setiap pemeluknya, dalam hal ini para orangtua, untuk
memenuhi kewajibannya dalam mendidik anak. Islam tak menghendaki
kehidupan generasi ke depan diliputi keterpurukan akidah, melemahnya iman,
dan ketiadaan paham terhadap syariat. Sesungguhnya seorang yang beriman
yang memiliki kekokohan iman tentu lebih baik dan lebih dicintai Allah l
daripada yang lemah. Abu Hurairah z mengungkapkan bahwa Rasulullah n
pernah bersabda:
Ų§ŁْŁ
ُŲ¤ْŁ
ِŁُ Ų§ŁْŁَŁِŁُّ Ų®َŁْŲ±ٌ ŁَŲ£َŲَŲØُّ Ų„ِŁَŁ Ų§ŁŁŁِ Ł
ِŁَ Ų§ŁْŁ
ُŲ¤ْŁ
ِŁِ Ų§ŁŲ¶َّŲ¹ِŁْŁِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664)
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, yang dimaksud
‘mukmin yang kuat’ yakni (kuat) dalam keimanannya. Bukan kuat dari aspek
fisik (tubuh). Karena, kekuatan tubuh seseorang bisa mendukung pada
sesuatu yang berbahaya bila kekuatan itu digunakan untuk maksiat kepada
Allah l. Kekuatan tubuh sendiri, secara zat, tidaklah dikategorikan
sebagai satu hal yang terpuji atau tercela. Bila seseorang
menggunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat di dunia dan akhirat, maka
jadilah kekuatan tubuh itu sebagai suatu yang terpuji. Adapun bila
difungsikan guna membantu dalam kemaksiatan kepada Allah l, maka
kekuatan tubuh itu menjadi satu hal tercela.
Maka, kekuatan yang dimaksud dalam sabda Rasulullah n di muka:
Ų§ŁْŁ
ُŲ¤ْŁ
ِŁُ Ų§ŁْŁَŁِŁُّ bermakna ŁَŁِŁُّ Ų§ŁْŲ„ِŁْŁ
َŲ§Łِ (kuat iman). Sebab
kata Ų§ŁْŁَŁِŁُّ kembali kepada sifat yang mendahuluinya yaitu kata
al-iman. Seperti perkataan Ų§ŁŲ±َّŲ¬ُŁُ Ų§ŁْŁَŁِŁُّ (laki-laki yang kuat),
artinya laki-laki itu perkasa (jantan). Begitu juga dengan kalimat
Ų§ŁْŁ
َŲ¤ْŁ
ِŁُ Ų§ŁْŁَŁِŁُّ yaitu kuat dalam masalah keimanannya.
Sesungguhnya seorang mukmin yang kuat, kokoh, tangguh keimanannya akan
mengarahkannya untuk menegakkan kewajiban yang telah Allah l embankan
pada dirinya. Pun dirinya akan menambah dengan amalan-amalan nawafil
(sunnah), dengan kehendak Allah l tentunya. Sedangkan bila diliputi
dengan lemah iman, kelemahan imannya tak akan menghasung dirinya untuk
mengerjakan hal-hal yang wajib serta meninggalkan perkara-perkara yang
diharamkan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/318)
Tak bisa diabaikan peran strategis orangtua dalam mencelup sosok anak
menjadi insan beriman. Memiliki fitrah bertauhid yang tetap terjaga.
Tidak terjerembab, jatuh dalam beragam penyimpangan. Sebagaimana
dimaklumi, anak yang lahir ke alam fana ini telah memiliki fitrah
mentauhidkan Allah l. Dia diciptakan dalam keadaan di atas tauhid. Allah l berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)
“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul
(Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)’.”
(Al-A’raf: 172)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengungkapkan bahwa
penetapan tentang rububiyah Allah l dan mengarahkan anak kepadanya
merupakan perkara yang bersifat fitrah. Adapun kesyirikan merupakan
sesuatu yang baru (ada setelah anak berinteraksi dengan lingkungan atau
terpengaruh pendidikan, pen.). Sungguh Nabi n telah bersabda:
ŁُŁُّ Ł
َŁْŁُŁŲÆٍ ŁُŁْŁَŲÆُ Ų¹َŁَŁ Ų§ŁْŁِŲ·ْŲ±َŲ©ِ ŁَŲ£َŲØَŁَŲ§Łُ ŁُŁَŁِّŲÆَŲ§ŁِŁِ Ų£َŁْ ŁُŁَŲµِّŲ±َŲ§ŁِŁِ Ų£َŁْ ŁُŁ
َŲ¬ِّŲ³َŲ§ŁِŁِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan di atas fitrah. Maka, kedua
orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani
atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1384, dan Muslim no. 2658, dari hadits
Abu Hurairah z)
Lebih lanjut, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah menyatakan
bahwa lantaran pendidikan yang menyimpang dan lingkungan yang
menyeleweng, terjadilah perubahan arah (dalam penetapan tauhid) pada
diri anak. Dari sanalah anak melakukan bentuk taklid (melakukan proses
imitasi/ meniru) pada orangtua mereka dalam kesesatan dan penyelewengan.
(‘Aqidatu At-Tauhid, hal. 28)
Faktor bi`ah (lingkungan, termasuk di antaranya lingkungan keluarga)
memiliki pengaruh yang besar terhadap tumbuh kembang anak. Keluarga yang
harmonis, sehat dan senantiasa mendapat siraman nilai-nilai syariat,
akan memberi pengaruh positif yang luar biasa terhadap pendidikan anak.
Sebaliknya, keluarga yang buruk umumnya memberi pengaruh yang buruk pula
pada pendidikan anak. Maka, peran orang tua memberikan kontribusi yang
besar bagi pendidikan anak. Sebab, bila sebuah keluarga baik, maka
kebaikan itu akan memberi pengaruh kepada anak. Biidznillah, dengan izin
Allah l.
Karenanya, keshalihan dan amal shalih orangtua sangat besar
pengaruhnya dalam membentuk sosok kepribadian anak yang shalih.
Sebaliknya, kehampaan dari amal shalih dan perilaku buruk dari orangtua
justru bisa menghancurkan pendidikan anak. Bahkan tak hanya itu. Keadaan
orangtua yang semacam ini bisa mendatangkan murka Allah l. Menjauhkan
berkah dari-Nya. Memupus sakinah (ketenangan) di dalam rumah. Maka,
sikap shalih dan giat beramal shalih dari orangtua merupakan suluh yang
memercikkan seberkas cahaya bagi pendidikan anak. Betapa tidak. Bukankah
orangtua yang senantiasa membaca Al-Qur`an, membaca surat Al-Baqarah,
al-mu’awwidzat dan lainnya, bisa mendatangkan sakinah, rahmah dan
menjadikan para setan lari?
Dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
ŁَŁ
َŲ§ Ų§Ų¬ْŲŖَŁ
َŲ¹َ ŁَŁْŁ
ٌ ŁِŁ ŲØَŁْŲŖٍ Ł
ِŁْ ŲØُŁُŁŲŖِ Ų§ŁŁŁِ ŁَŲŖْŁُŁŁَ
ŁِŲŖَŲ§ŲØَ Ų§ŁŁŁِ ŁَŁَŲŖَŲÆَŲ§Ų±َŲ³ُŁŁَŁُ ŲØَŁْŁَŁُŁ
ْ Ų„ِŁŲ§َّ ŁَŲ²َŁَŲŖْ Ų¹َŁَŁْŁِŁ
ُ
Ų§ŁŲ³َّŁِŁْŁَŲ©ُ ŁَŲŗَŲ“ِŁَŲŖْŁُŁ
ُ Ų§ŁŲ±َّŲْŁ
َŲ©ُ ŁَŲَŁَŲŖْŁُŁ
ُ Ų§ŁْŁ
َŁَŲ§Ų¦ِŁَŲ©ُ
ŁَŲ°َŁَŲ±َŁُŁ
ُ Ų§ŁŁŁُ ŁِŁْŁ
َŁْ Ų¹ِŁْŲÆَŁُ
“Dan tidaklah berkumpul satu kaum di salah satu dari rumah-rumah
Allah, mereka membaca Kitabullah (Al-Qur`an) dan mempelajarinya di
antara mereka, kecuali akan turun atas mereka sakinah, tercurah atas
mereka rahmah, para malaikat pun mengelilingi mereka dan Allah
menyebut-nyebut mereka pada siapa yang di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no.
2699)
Juga berdasar hadits dari Abu Hurairah z, sesungguhnya Rasulullah n bersabda:
ŁŲ§َ ŲŖَŲ¬ْŲ¹َŁُŁŲ§ ŲØُŁُŁŲŖَŁُŁ
ْ Ł
َŁَŲ§ŲØِŲ±َ، Ų„ِŁَّ Ų§ŁŲ“َّŁْŲ·َŲ§Łَ ŁَŁْŁِŲ±ُ Ł
ِŁَ Ų§ŁْŲØَŁْŲŖِ Ų§ŁَّŲ°ِŁ ŲŖُŁْŲ±َŲ£ُ ŁِŁْŁِ Ų³ُŁŲ±َŲ©ُ Ų§ŁْŲØَŁَŲ±َŲ©ِ
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan.
Sesungguhnya setan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat
Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780)
Sungguh, tiada mampu terperikan bila Al-Qur`an ditinggalkan. Orangtua
pun lalai dari zikir (mengingat) Allah l. Rumah dipenuhi dengan suara
hiruk pikuk tetabuhan musik, dendang nasyid nan memabukkan jiwa, dan
tembang lagu yang membangkitkan syahwat. Apatah lagi yang bisa
diharapkan dari rumah yang sarat racun yang mematikan qalbu. Dahsyat!
Ini merupakan upaya sistematis dari kalangan setan untuk memalingkan
anak sehingga ternodai fitrahnya. Allah l berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya
mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang
mereka ada-adakan.” (Al-An’am: 112)
Maka, tatkala rumah hampa dari zikir, di situlah setan bercokol.
Setan mengembuskan pertikaian, permusuhan, dendam kesumat,
ketidakharmonisan, kegalauan, dan sekian banyak keburukan lainnya. Tak
ada berkah dan sakinah. Bagaimanakah anak akan bisa tumbuh manis dalam
suasana rumah seperti ini? Nas`alullah al-’afiyah.
Sekali lagi, keshalihan dan amal shalih orangtua sangat memberi
pengaruh bagi anak. Telisiklah, bagaimana kisah Musa dan Khidhir e kala
tiba di tengah penduduk suatu negeri. Mereka minta dijamu kepada
penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tak mau menjamu
keduanya. Lantas, keduanya mendapati dinding rumah yang nyaris roboh,
maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa pun berkata kepada Khidhir:
“Musa berkata: ‘Kalau engkau mau, niscaya engkau mengambil upah untuk itu’.” (Al-Kahfi: 77)
Perihal peristiwa ini, Khidhir pun memberitahu kepada Musa:
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua,
sedangkan ayah keduanya adalah seorang yang shalih. Maka Rabbmu
menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi:
82)
Menurut Ibnu Katsir t, bunyi ayat:
“Ayah keduanya adalah seorang shalih.”
merupakan dalil bahwa seorang yang shalih akan dijaga
keturunan-keturunannya, termasuk keberkahan ibadahnya bagi anak-anaknya
di dunia dan akhirat dengan syafaatnya kepada mereka. (Tafsir
Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/121)
Hal yang sama diungkapkan pula oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di t, bahwa sungguh (bagi) hamba yang shalih, Allah l akan
menjaganya dan menjaga anak-anaknya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 521)
Ini merupakan berkah dari keshalihan orangtua, hingga Allah l memelihara dan merahmati anak-anaknya.
“Maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi:
82)
Sebagai orangtua atau pendidik dituntut untuk senantiasa mengarahkan
dan membimbing anak. Segenap upaya dikerahkan agar memperoleh hasil
pendidikan yang optimal. Tak semata kemampuan intelektual yang ingin
dicapai, seperti banyaknya menyerap hafalan, ilmu dan lain-lain. Namun,
ingin dicapai pula pembentukan kepribadian yang tersinari nilai-nilai
akhlak Islami, akidah yang murni dan ibadah yang baik. Keadaan semacam
ini adalah sesuatu yang idealis dan menjadi harapan semua pihak. Tapi
pada kenyataannya, sebagai orangtua atau pendidik dihadapkan pada satu
kasus yang di luar keinginan dan harapannya. Anak yang dicitakan mampu
menyerap dan mengamalkan nilai-nilai Islam ternyata memendam sejumput
masalah. Perilakunya senantiasa mengundang masalah. Ada saja ulahnya
yang tiada terpuji.
Bagi orangtua atau pendidik, selain harus tetap berupaya membimbing,
mengarahkan dengan berbagai nasihat, juga tidak lupa untuk selalu
memanjatkan doa kepada Allah l. Sebagai orangtua atau pendidik harus
meyakini sepenuhnya bahwa yang memberi hidayah adalah Allah l. Allah l
berfirman:
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang
mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah
orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 178)
“Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: Hadits dari Sa’id bin Al-Musayyab, dari ayahnya, yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, mengungkapkan betapa Rasulullah n tak memiliki daya
untuk memberikan hidayah taufiq kepada paman beliau, Abu Thalib.
Sehingga pamannya mati dalam kekafiran. Maka turunlah ayat:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Kisah ini bisa dilihat dalam Shahih Al-Bukhari, hadits no. 4772.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah memerinci masalah
hidayah menjadi dua macam. Pertama, al-huda (petunjuk) dengan makna
ad-dalalah (tuntunan) dan al-bayan (penjelasan). Allah l berfirman:
“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi
mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) dari petunjuk itu.”
(Fushshilat: 17)
Kedua, al-huda (petunjuk) dengan makna at-taufiq dan al-ilham.
Inilah yang tidak ada pada diri Rasulullah n, dan tidak ada kekuasaan
pada beliau n (untuk memberi hidayah) kecuali (hidayah ini dari) Allah
l. Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash: 56) [Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah,
hal. 8-9)
Dengan memahami dan meyakini masalah hidayah ini, setidaknya bisa
melecut diri untuk senantiasa bersabar dalam menunaikan kewajiban
mendidik anak. Allah l berfirman:
“Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)
Pendidik (orangtua) harus tetap gigih mengarahkan, membimbing,
menuntun dan memberi keteladanan pada anak. Mudah-mudahan dengan segenap
upaya ini Allah l memberi hidayah dan taufiknya kepada anak. Semoga.
Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar