Berapa Lama Seorang Musafir Dapat Mengqashar Sholatnya?
Di antara permasalahan yang terjadi ketika seseorang melakukan perjalanan jauh adalah mengenai penentuan berapa lama dia boleh menjamak dan mengqashar shalat fardhunya. Apakah hanya sebatas empat hari, lima belas hari, sembilan belas hari, dua puluh hari atau bagaimana?
Di dalam kumpulan fatwa yang dikeluarkan oleh Markazul Fatwa yang berada dibawah pengawasan Doktor Abdullah Al Faqih disebutkan bahwa masalah penentuan batasan waktu yang diperbolehkan bagi musafir untuk mengqashar shalatnya adalah masalah yang tidak ada padanya dalil yang menghukumi secara jelas batasannya. Oleh karena itu, para ulama berselisih dalam masalah ini ke dalam banyak pendapat. Di antara permasalahan yang terjadi ketika seseorang melakukan perjalanan jauh adalah mengenai penentuan berapa lama dia boleh menjamak dan mengqashar shalat fardhunya. Apakah hanya sebatas empat hari, lima belas hari, sembilan belas hari, dua puluh hari atau bagaimana?
Di antaranya:
a. Mazhab Hanbali berpendapat jika seorang musafir berniat untuk menetap di suatu daerah lebih dari empat hari, maka berarti dia harus menyempurnakan shalatnya.
b. Adapun Imam Malik dan Asy Syafi’i berpendapat bahwa jika musafir berniat untuk menetap selama empat hari, maka wajib bagi dia untuk menyempurnakan shalatnya.
c. Sedangkan mazhab Hanafi mengatakan jika seorang musafir itu berniat untuk menetap di suatu daerah lebih dari lima belas hari, maka dia harus menyempurnakan shalatnya.
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu dalam masalah ini. Selama si musafir tidak meniatkan untuk bertempat tinggal di suatu daerah ataupun tidak berniat untuk melakukan iqamah muthlaqah (menetap secara mutlak tanpa dikaitkan dengan waktu atau kegiatan tertentu) maka dia tetap berada di dalam hukum safar, baik dia berencana untuk berada di sana kurang dari empat hari atau lebih. Adapun jika dia meniatkan salah satu dari dua hal di atas maka tidak boleh bagi dia untuk meringkas shalatnya.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini. Alasannya adalah karena keumuman dalil yang memperbolehkan musafir untuk mengqashar shalat dan tidak ada batasan waktu tertentu padanya.
a. Mazhab Hanbali berpendapat jika seorang musafir berniat untuk menetap di suatu daerah lebih dari empat hari, maka berarti dia harus menyempurnakan shalatnya.
b. Adapun Imam Malik dan Asy Syafi’i berpendapat bahwa jika musafir berniat untuk menetap selama empat hari, maka wajib bagi dia untuk menyempurnakan shalatnya.
c. Sedangkan mazhab Hanafi mengatakan jika seorang musafir itu berniat untuk menetap di suatu daerah lebih dari lima belas hari, maka dia harus menyempurnakan shalatnya.
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu dalam masalah ini. Selama si musafir tidak meniatkan untuk bertempat tinggal di suatu daerah ataupun tidak berniat untuk melakukan iqamah muthlaqah (menetap secara mutlak tanpa dikaitkan dengan waktu atau kegiatan tertentu) maka dia tetap berada di dalam hukum safar, baik dia berencana untuk berada di sana kurang dari empat hari atau lebih. Adapun jika dia meniatkan salah satu dari dua hal di atas maka tidak boleh bagi dia untuk meringkas shalatnya.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini. Alasannya adalah karena keumuman dalil yang memperbolehkan musafir untuk mengqashar shalat dan tidak ada batasan waktu tertentu padanya.
Allah ta’ala berfirman:
“Apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat.” [QS An Nisa`: 101]
Dalil lainnya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم menetap di Tabuk selama dua puluh hari dalam keadaan mengqashar shalat.” [HR Abu Daud (1235). Hadits shahih.]
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
“Nabi صلى الله عليه وسلم menetap di Mekkah selama sembilan belas hari melakukan shalat dua rakaat.” [HR Al Bukhari (4298)].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “ ... Pendapat yang rajih adalah seorang musafir tetap dikatakan sebagai musafir meskipun panjang waktu safarnya sepanjang dia tidak meniatkan iqamah muthlaqah atau bertempat tinggal. Adapun bagi wanita, maka mereka tidak shalat bersama jama’ah dan tetap mengqashar shalat sampai mereka kembali ke negeri mereka, baik waktunya sudah ditentukan ataupun belum ditentukan; karena tidak ada di dalam Kitabullah dan tidak ada pula di dalam sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم sesuatu yang menunjukkan kepada pembatasan. Bahkan (di dalam) Al Qur`an Allah ta’ala berfirman di dalamnya:
“Apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat.” [QS An Nisa`: 101]
Dalil lainnya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم menetap di Tabuk selama dua puluh hari dalam keadaan mengqashar shalat.” [HR Abu Daud (1235). Hadits shahih.]
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
“Nabi صلى الله عليه وسلم menetap di Mekkah selama sembilan belas hari melakukan shalat dua rakaat.” [HR Al Bukhari (4298)].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “ ... Pendapat yang rajih adalah seorang musafir tetap dikatakan sebagai musafir meskipun panjang waktu safarnya sepanjang dia tidak meniatkan iqamah muthlaqah atau bertempat tinggal. Adapun bagi wanita, maka mereka tidak shalat bersama jama’ah dan tetap mengqashar shalat sampai mereka kembali ke negeri mereka, baik waktunya sudah ditentukan ataupun belum ditentukan; karena tidak ada di dalam Kitabullah dan tidak ada pula di dalam sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم sesuatu yang menunjukkan kepada pembatasan. Bahkan (di dalam) Al Qur`an Allah ta’ala berfirman di dalamnya:
“Apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat.” [QS An Nisa`: 101]
Nabi صلى الله عليه وسلم tidak datang dari beliau satu hurufpun bahwasanya beliau menetapkan batasan waktu, padahal beliau ‘alaihish sholatu was salam berada di dalam lama waktu yang berbeda-beda di dalam berbagai perjalannya. Beliau berada selama sembilan belas hari pada peristiwa Fathu Makkah sambil mengqashar shalat, dan itu terjadi di bulan Ramadhan dan beliau dalam keadaan tidak berpuasa. Beliau berada di perang Tabuk selama dua puluh hari sambil mengqashar shalat. Beliau juga melaksanakan Hajjatul Wada’ yang merupakan safar terakhirnya- selama sepuluh hari dalam keadaan mengqashar shalat. Ada yang bertanya kepada Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu: “Berapa lama kalian menetap di Mekkah yaitu pada tahun Hajjatul Wada’?” Dia menjawab: “Kami berada di sana sepuluh hari.”
Jika safarnya Rasul صلى الله عليه وعلى آله وسلم berbeda-beda (lamanya) dan beliau tidak menetapkan batasan tertentu apapun bagi umatnya, maka bisa dipahami bahwa masalah ini tidak ada aturan tertentu. Selama engkau berada di suatu daerah untuk urusan tertentu dan begitu selesai urusan itu engkau langsung pulang, maka engkau adalah musafir, baik engkau menetapkan batasan waktu ataupun tidak. Dan pembagian antara adanya batasan waktu dan tidaknya, maka tidak ada dalil atasnya.” (Al Liqa`usy Syahri (4/4)).
Wallahu a'lam bish shawab.
Berapa Lama Seorang Musafir Dapat Mengqashar Sholatnya?
بسم الله الرحمن الرحيم
Di antara permasalahan yang terjadi ketika seseorang melakukan perjalanan jauh adalah mengenai penentuan berapa lama dia boleh menjamak dan mengqashar shalat fardhunya. Apakah hanya sebatas empat hari, lima belas hari, sembilan belas hari, dua puluh hari atau bagaimana?
Di dalam kumpulan fatwa yang dikeluarkan oleh Markazul Fatwa yang berada dibawah pengawasan Doktor Abdullah Al Faqih disebutkan bahwa masalah penentuan batasan waktu yang diperbolehkan bagi musafir untuk mengqashar shalatnya adalah masalah yang tidak ada padanya dalil yang menghukumi secara jelas batasannya. Oleh karena itu, para ulama berselisih dalam masalah ini ke dalam banyak pendapat. Di antaranya:
a. Mazhab Hanbali berpendapat jika seorang musafir berniat untuk menetap di suatu daerah lebih dari empat hari, maka berarti dia harus menyempurnakan shalatnya.
b. Adapun Imam Malik dan Asy Syafi’i berpendapat bahwa jika musafir berniat untuk menetap selama empat hari, maka wajib bagi dia untuk menyempurnakan shalatnya.
c. Sedangkan mazhab Hanafi mengatakan jika seorang musafir itu berniat untuk menetap di suatu daerah lebih dari lima belas hari, maka dia harus menyempurnakan shalatnya.
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu dalam masalah ini. Selama si musafir tidak meniatkan untuk bertempat tinggal di suatu daerah ataupun tidak berniat untuk melakukan iqamah muthlaqah (menetap secara mutlak tanpa dikaitkan dengan waktu atau kegiatan tertentu) maka dia tetap berada di dalam hukum safar, baik dia berencana untuk berada di sana kurang dari empat hari atau lebih. Adapun jika dia meniatkan salah satu dari dua hal di atas maka tidak boleh bagi dia untuk meringkas shalatnya.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini. Alasannya adalah karena keumuman dalil yang memperbolehkan musafir untuk mengqashar shalat dan tidak ada batasan waktu tertentu padanya. Allah ta’ala berfirman:
“Apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat.” [QS An Nisa`: 101]
Dalil lainnya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم menetap di Tabuk selama dua puluh hari dalam keadaan mengqashar shalat.” [HR Abu Daud (1235). Hadits shahih.]
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
“Nabi صلى الله عليه وسلم menetap di Mekkah selama sembilan belas hari melakukan shalat dua rakaat.” [HR Al Bukhari (4298)].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “ ... Pendapat yang rajih adalah seorang musafir tetap dikatakan sebagai musafir meskipun panjang waktu safarnya sepanjang dia tidak meniatkan iqamah muthlaqah atau bertempat tinggal. Adapun bagi wanita, maka mereka tidak shalat bersama jama’ah dan tetap mengqashar shalat sampai mereka kembali ke negeri mereka, baik waktunya sudah ditentukan ataupun belum ditentukan; karena tidak ada di dalam Kitabullah dan tidak ada pula di dalam sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم sesuatu yang menunjukkan kepada pembatasan. Bahkan (di dalam) Al Qur`an Allah ta’ala berfirman di dalamnya:
“Apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat.” [QS An Nisa`: 101]
Nabi صلى الله عليه وسلم tidak datang dari beliau satu hurufpun bahwasanya beliau menetapkan batasan waktu, padahal beliau ‘alaihish sholatu was salam berada di dalam lama waktu yang berbeda-beda di dalam berbagai perjalannya. Beliau berada selama sembilan belas hari pada peristiwa Fathu Makkah sambil mengqashar shalat, dan itu terjadi di bulan Ramadhan dan beliau dalam keadaan tidak berpuasa. Beliau berada di perang Tabuk selama dua puluh hari sambil mengqashar shalat. Beliau juga melaksanakan Hajjatul Wada’ -yang merupakan safar terakhirnya- selama sepuluh hari dalam keadaan mengqashar shalat. Ada yang bertanya kepada Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu: “Berapa lama kalian menetap di Mekkah -yaitu pada tahun Hajjatul Wada’-?” Dia menjawab: “Kami berada di sana sepuluh hari.”
Jika safarnya Rasul صلى الله عليه وعلى آله وسلم berbeda-beda (lamanya) dan beliau tidak menetapkan batasan tertentu apapun bagi umatnya, maka bisa dipahami bahwa masalah ini tidak ada aturan tertentu. Selama engkau berada di suatu daerah untuk urusan tertentu dan begitu selesai urusan itu engkau langsung pulang, maka engkau adalah musafir, baik engkau menetapkan batasan waktu ataupun tidak. Dan pembagian antara adanya batasan waktu dan tidaknya, maka tidak ada dalil atasnya.” (Al Liqa`usy Syahri (4/4)).
Wallahu a'lam bish shawab.
Di antara permasalahan yang terjadi ketika seseorang melakukan perjalanan jauh adalah mengenai penentuan berapa lama dia boleh menjamak dan mengqashar shalat fardhunya. Apakah hanya sebatas empat hari, lima belas hari, sembilan belas hari, dua puluh hari atau bagaimana?
Di dalam kumpulan fatwa yang dikeluarkan oleh Markazul Fatwa yang berada dibawah pengawasan Doktor Abdullah Al Faqih disebutkan bahwa masalah penentuan batasan waktu yang diperbolehkan bagi musafir untuk mengqashar shalatnya adalah masalah yang tidak ada padanya dalil yang menghukumi secara jelas batasannya. Oleh karena itu, para ulama berselisih dalam masalah ini ke dalam banyak pendapat. Di antaranya:
a. Mazhab Hanbali berpendapat jika seorang musafir berniat untuk menetap di suatu daerah lebih dari empat hari, maka berarti dia harus menyempurnakan shalatnya.
b. Adapun Imam Malik dan Asy Syafi’i berpendapat bahwa jika musafir berniat untuk menetap selama empat hari, maka wajib bagi dia untuk menyempurnakan shalatnya.
c. Sedangkan mazhab Hanafi mengatakan jika seorang musafir itu berniat untuk menetap di suatu daerah lebih dari lima belas hari, maka dia harus menyempurnakan shalatnya.
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu dalam masalah ini. Selama si musafir tidak meniatkan untuk bertempat tinggal di suatu daerah ataupun tidak berniat untuk melakukan iqamah muthlaqah (menetap secara mutlak tanpa dikaitkan dengan waktu atau kegiatan tertentu) maka dia tetap berada di dalam hukum safar, baik dia berencana untuk berada di sana kurang dari empat hari atau lebih. Adapun jika dia meniatkan salah satu dari dua hal di atas maka tidak boleh bagi dia untuk meringkas shalatnya.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini. Alasannya adalah karena keumuman dalil yang memperbolehkan musafir untuk mengqashar shalat dan tidak ada batasan waktu tertentu padanya. Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ
الصَّلَاةِ
“Apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat.” [QS An Nisa`: 101]
Dalil lainnya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
أقام
رسول الله صلى الله عليه وسلم بتبوك عشرين يوما يقصر الصلاة
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم menetap di Tabuk selama dua puluh hari dalam keadaan mengqashar shalat.” [HR Abu Daud (1235). Hadits shahih.]
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
أَقَامَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا
يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
“Nabi صلى الله عليه وسلم menetap di Mekkah selama sembilan belas hari melakukan shalat dua rakaat.” [HR Al Bukhari (4298)].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “ ... Pendapat yang rajih adalah seorang musafir tetap dikatakan sebagai musafir meskipun panjang waktu safarnya sepanjang dia tidak meniatkan iqamah muthlaqah atau bertempat tinggal. Adapun bagi wanita, maka mereka tidak shalat bersama jama’ah dan tetap mengqashar shalat sampai mereka kembali ke negeri mereka, baik waktunya sudah ditentukan ataupun belum ditentukan; karena tidak ada di dalam Kitabullah dan tidak ada pula di dalam sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم sesuatu yang menunjukkan kepada pembatasan. Bahkan (di dalam) Al Qur`an Allah ta’ala berfirman di dalamnya:
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ
الصَّلَاةِ
“Apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat.” [QS An Nisa`: 101]
Nabi صلى الله عليه وسلم tidak datang dari beliau satu hurufpun bahwasanya beliau menetapkan batasan waktu, padahal beliau ‘alaihish sholatu was salam berada di dalam lama waktu yang berbeda-beda di dalam berbagai perjalannya. Beliau berada selama sembilan belas hari pada peristiwa Fathu Makkah sambil mengqashar shalat, dan itu terjadi di bulan Ramadhan dan beliau dalam keadaan tidak berpuasa. Beliau berada di perang Tabuk selama dua puluh hari sambil mengqashar shalat. Beliau juga melaksanakan Hajjatul Wada’ -yang merupakan safar terakhirnya- selama sepuluh hari dalam keadaan mengqashar shalat. Ada yang bertanya kepada Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu: “Berapa lama kalian menetap di Mekkah -yaitu pada tahun Hajjatul Wada’-?” Dia menjawab: “Kami berada di sana sepuluh hari.”
Jika safarnya Rasul صلى الله عليه وعلى آله وسلم berbeda-beda (lamanya) dan beliau tidak menetapkan batasan tertentu apapun bagi umatnya, maka bisa dipahami bahwa masalah ini tidak ada aturan tertentu. Selama engkau berada di suatu daerah untuk urusan tertentu dan begitu selesai urusan itu engkau langsung pulang, maka engkau adalah musafir, baik engkau menetapkan batasan waktu ataupun tidak. Dan pembagian antara adanya batasan waktu dan tidaknya, maka tidak ada dalil atasnya.” (Al Liqa`usy Syahri (4/4)).
Wallahu a'lam bish shawab.
0 komentar:
Posting Komentar