Menebar Keangkuhan Menuai Kehinaan
Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya.
Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur
dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’).
Luqman berkata
kepada anaknya:
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْرٍ
“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena
sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)
Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam
kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari
berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya
dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri
sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan
diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul
Karimir Rahman hal. 649)
Pada ayat yang lain Allah k melarang pula:
وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِباَلَ طُوْلاً
“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena
sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai
setinggi gunung.” (Al-Isra`: 37)
Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai
semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah
dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah
menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa
yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)
Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.
‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi :
يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ أَمْثاَلَ الذَّرِّ
فِيْ صُوْرَةِ الرِّجاَلِ، يَغْشاَهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكاَنٍ،
يُسَاقُوْنَ إِلَى سِجْنٍ مِنْ جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُوْلَسَ، تَغْلُوْهُمْ
ناَرٌ مِنَ اْلأَنْياَرِ، وَيُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ
طِيْنَةِ الْخَباَلِ
“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti
semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari
segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap
oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul
khabal.1” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)
Bahkan seorang yang sombong terancam dengan kemurkaan Allah. Demikian yang kita dapati dari Rasulullah, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar :
مَنْ تَعَظَّمَ فِي نَفْسِهِ أَوِ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
“Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam
berjalan, dia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan Allah murka
terhadapnya.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)
Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan.
Akan tetapi, kesombongan adalah menentang agama Allah dan merendahkan
hamba-hamba Allah. Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah tatkala
beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar , “Apakah sombong itu bila
seseorang memiliki hullah2 yang dikenakannya?” Beliau menjawab,
“Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan
tali sandalnya yang bagus?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki
binatang tunggangan yang dikendarainya?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang
memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?” “Tidak.” “Wahai
Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?” Kemudian beliau menjawab:
سَفَهُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Ahmad,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad
no. 426)
Tak sedikit pun Rasulullah membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar menyampaikan bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’
hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak
seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim
no. 2865)
Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Tawadhu’ karena Allah ada dua makna.
Pertama, merendahkan diri
terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap
agama ini maupun untuk menunaikan hukum-hukumnya.
Kedua, merendahkan
diri terhadap hamba-hamba Allah karena Allah , bukan karena takut
terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun
semata-mata hanya karena Allah. Kedua makna ini benar.
Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah , maka Allah akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)
Tak hanya sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan
Rasulullah banyak melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau adalah
seorang manusia yang paling mulia di hadapan Allah . Meski demikian,
beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau.
Begitulah yang
dikisahkan oleh Anas bin Malik tatkala orang-orang berkata kepada
Rasulullah , “Wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang
terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan kami!”
Beliau pun berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ وَلاَ
يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، إِنِّي لاَ أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي
فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيهِ اللهُ تَعَالَى، أَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai
kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian
mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku.
Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR.
An-Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul
Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut syarat
Muslim)
Anas bin Malik mengisahkan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ
اْلأَنْصَارَ فَيُسَلِّمُ عَلَى صِبْيَانِهِمْ وَيَمْسَحُ بِرُؤُوْسِهِمْ
وَيَدْعُو لَهُمْ
“Rasulullah biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan
salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.”
(HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail
Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)
Ketawadhu’an Rasulullah ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Nabi biasa melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)
Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi dan diikuti pula oleh para shahabat beliau. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)
Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid zmenuturkan sebuah peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhu’an Nabi serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:
اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَهُوَ يَخْطُبُ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، رَجُلٌ غَرِيْبٌ جَاءَ
يَسْأَلُ عَنْ دِيْنِهِ لاَ يَدْرِي مَا دِيْنُهُ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيَّ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَرَكَ خُطْبَتَهُ حَتَّى
انْتَهَى إِلَيَّ فَأُتِيَ بِكُرْسِيٍّ، فَقَعَدَ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ
يُعَلِّمُنِي مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ، ثُمَّ أَتَى خُطْبَتَهُ فَأَتَمَّ
آخِرَهَا
“Aku pernah datang kepada Rasulullah ketika beliau berkhutbah. Lalu
aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk
bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka
Rasulullah pun mendatangiku, kemudian diambilkan sebuah kursi lalu
beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang
diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya
hingga selesai.” (HR. Muslim no. 876)
Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat. Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya? Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
------------
1 Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.
2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.
2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.
0 komentar:
Posting Komentar