Agungkan Ilmu dalam Hatimu
Dunia, memang masih menjadi orientasi utama banyak orang. Tak heran,
harta yang berlimpah, jabatan, popularitas, dan berbagai bentuk
kesenangan lainnya menjadi buruan manusia siang malam.
Padahal dunia
adalah fatamorgana, kesenangan yang dirasakan akan menyisakan kehampaan,
kepedihan, dan keletihan. Hanya ilmu agama yang bisa meredam ambisi
manusia terhadap sifat serakah terhadap dunia.
Siapa yang tak mengharapkan anaknya menjadi seorang yang punya
kedudukan? Sepertinya, hampir tak ada orangtua yang tak memiliki
bayangan cita-cita setinggi langit untuk anak mereka. Biasanya, sejak si
anak masih dalam buaian, mereka telah menyimpan berbagai keinginan dan
harapan. Pokoknya, yang terbaiklah yang ada
dalam angan-angan. “Semoga anakku menjadi ‘orang’, semoga memiliki masa
depan yang lebih baik dari pada ibu bapaknya, semoga jadi orang yang
paling ini, paling itu ….” dan sejuta lambungan ‘semoga’ yang lainnya.
Tak berhenti sampai di situ, bahkan segala yang dapat mendukung
tercapainya cita-cita itu pun turut disediakan sejak dini. Mulai dari
tabungan biaya pendidikan, sampai prasarana yang diperkirakan menunjang
pun disiapkan baik-baik. Berbagai pendidikan prasekolah pun diikuti agar
melicinkan jalan si anak memperoleh cita-citanya atau justru cita-cita
orangtuanya.
Namun di balik segala cita-cita, ada sebuah kemuliaan yang seringkali
justru terluputkan, bahkan diremehkan oleh banyak orangtua. Padahal
inilah kemuliaan hakiki yang akan didapatkan oleh si anak jika dia
benar-benar meraihnya. Kemuliaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam Kitab-Nya yang mulia:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا العِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan
orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”(Al-Mujadilah: 21)
Demikianlah, dalam kalam-Nya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan
bahwa Dia akan mengangkat derajat orang yang beriman lagi berilmu di
atas orang yang beriman namun tidak berilmu. Ketinggian derajat akan
diperolehnya di dunia berupa kedudukan yang tinggi serta reputasi yang
baik, juga akan dicapai pula di akhirat berupa kedudukan yang tinggi di
dalam surga. (Fathul Bari 1/186)
Mengapa tak cukup kedudukan dan kekayaan sebagai bekal? Bukankah
dengan itu anak akan mendapatkan segalanya? Nampaknya benar bila kita
tak mengkaji dalam-dalam. Namun sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengatakan, sebagaimana yang disampaikan oleh
Abu Kabsyah Al-Anmari radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً
وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِي مَالِهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ
وَيَعْلَمُ لِلهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ،
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً، فَهُوَ صَادِقُ
النِّيَّةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ،
فَهُوَ بِنِيَّتِهِ وَهُمَا فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ
اللهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُُ فِي مَالِهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ
وَلاَ يَعْلَمُ لِلهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ،
وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُوْلُ:
لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ
فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
Dunia itu diberikan kepada empat golongan:
(1) seorang hamba yang
Allah anugerahi harta dan ilmu, maka dia pun bertakwa kepada Rabbnya
dalam hal hartanya, menggunakan hartanya untuk menyambung tali
kekerabatan dan mengetahui bahwa Allah memiliki hak dalam hartanya itu,
maka dia berada pada derajat yang paling mulia di sisi Allah.
(2) Dan
seorang hamba yang Allah karuniai ilmu namun tidak diberi harta, dia
adalah seorang yang benar niatnya. Dia katakan, ‘Seandainya aku memiliki
harta, aku akan beramal seperti amalan Fulan’, maka dengan niatnya itu
pahala mereka berdua sama.
(3) Juga seorang hamba yang Allah beri harta
namun tidak dikaruniai ilmu, sehingga dia gunakan hartanya tanpa ilmu.
Dia tidak bertakwa kepada Rabbnya dalam hartanya itu, tidak
menggunakannya untuk menyambung tali kekerabatan, dan tidak pula
mengetahui ada hak Allah dalam hartanya, maka dia berada pada derajat
yang paling hina di sisi Allah.
(4) Dan seorang hamba yang tidak Allah
beri harta maupun ilmu, lalu dia mengatakan, ‘Seandainya aku memiliki
harta aku akan berbuat seperti perbuatan Fulan’, maka dengan niatnya itu
dosa mereka berdua sama.” (HR. At-Tirmidzi no. 2325, dikatakan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi:
Shahih)
Dengan begitu, jelaslah bahwa sekedar bekal harta takkan cukup bagi
seseorang. Perlu sesuatu yang lebih penting daripada itu, yang justru
nanti akan menyelamatkannya dari kerusakan dalam mengelola harta yang
dimilikinya. Itulah ilmu. Akan berbeda tentunya orang yang mengetahui
syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan orang yang tidak mengetahuinya,
bagaikan perbedaan siang dan malam, sebagaimana Allah firmankan dalam
Tanzil-Nya:
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?” (Az Zumar: 9)
Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah menasehatkan tentang keutamaan ilmu dibandingkan dengan harta:
العِلْمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ، العِلْمُ يَحْرُسُكَ وَأَنْتَ تَحْرُسُ
الْمَالَ، العِلْمُ يَزْكُو عَلَى العَمَلِ وَالْمَالُ تُنْقِصُهُ
النَّفَقَةُ، وَمَحَبَّةُ العَالِمِ دِيْنٌ يُدَانُ بِهِ، العِلْمُ
يُكْسِبُ العَالِمَ الطَّاعَةَ فِي حَيَاتِهِ، وَجَمِيْلَ اْلأُحْدُوْثَةِ
بَعْدَ مَوْتِهِ، وَصَنِيْعَةُ الْمَالِ تَزُوْلُ بِزَوَالِهِ، مَاتَ
خُزَّانُ اْلأَمْوَالِ وَهُمْ أَحْيَاءُ وَالْعُلَمَاءُ بَاقُوْنَ مَا
بَقِيَ الدَّهْرُ، أَعْيَانُهُمْ مَفْقُوْدَةٌ وَأَمْثَالُهُمْ فِي
القُلُوْبِ مَوْجُوْدَةٌ
“Ilmu itu lebih baik daripada harta, karena ilmu akan menjagamu
sementara harta harus engkau jaga. Ilmu akan terus bertambah dan
berkembang dengan diamalkan sementara harta akan terkurangi dengan
penggunaan. Dan mencintai seorang yang berilmu adalah agama yang
dipegangi. Ilmu akan membawa pemiliknya untuk berbuat taat selama
hidupnya dan akan meninggalkan nama yang harum setelah matinya.
Sementara orang yang memiliki harta akan hilang seiring dengan hilangnya
harta. Pengumpul harta itu seakan telah mati padahal sebenarnya dia
masih hidup. Sementara orang yang berilmu akan tetap hidup sepanjang
masa. Jasad-jasad mereka telah tiada, namun mereka tetap ada di hati
manusia.” (dinukil dari Min Washaya As-Salaf, hal. 13-14)
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu pernah pula mengatakan:
بَابٌ مِنَ الْعِلْمِ يَتَعَلَّمُهُ الرَّجُلُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Satu bab ilmu agama yang dipelajari oleh seseorang lebih baik
baginya daripada dunia seisinya.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal.
18)
Ayat-ayat di dalam Al-Qur`an, maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menyebutkan kemuliaan orang yang berilmu amat
berbilang banyaknya. Ayat dalam surah Al-Mujadilah di atas adalah salah
satunya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memerintahkan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali
ilmu:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu padaku.” (Thaha: 114)
Ash-Shadiqul Mashduq (yang jujur dan dibenarkan kabar yang
dibawanya), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa
orang berilmu akan mendapatkan kebaikan hakiki dari sisi Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Hal ini disampaikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu
‘anhuma ketika berkhutbah:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan, maka Allah akan
faqihkan dia dalam agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan
keutamaan ilmu dan memahami agama serta berisi anjuran untuk
mendapatkannya. Karena semua ini akan menuntun seseorang untuk bertakwa
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Syarh Shahih Muslim, 7/127)
Dari sini bisa dipahami pula bahwa orang yang tidak memahami agama
–dalam arti mempelajari kaidah-kaidah Islam dan segala yang berkaitan
dengannya– berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan dari kebaikan.
(Fathul Bari, 1/217)
Inilah yang dicita-citakan oleh para pendahulu kita yang shalih.
Mereka tidak bercita-cita agar anak mereka kelak menjadi hartawan atau
penguasa, karena mereka sangat memahami, kemuliaan dan kebaikan mana
yang hakiki. Oleh karena itu, mereka senantiasa berupaya agar anak-anak
mereka menjadi anak-anak yang berhias dengan adab yang tinggi dan
berbekal dengan ilmu. Mereka merasakan kebanggaan bila si anak memiliki
pemahaman terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini lebih dari
kebanggaan apa pun, dan merasakan penyesalan bila si anak terlewatkan
dari keutamaan seperti ini.
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyertakan putranya,
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma untuk duduk di majelis
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama orang-orang dewasa dari
kalangan para sahabat. Ibnu ‘Umar adalah peserta termuda dalam majelis
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. ‘Umar pun merasa bangga
bila sang putra memiliki ilmu lebih daripada yang dimiliki orang lain
yang ada di situ. Peristiwa ini dikisahkan sendiri oleh ‘Abdullah bin
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:
أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ
يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ.
قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ،
وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ
أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا
قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاهُ، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي
أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ
أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ
شَيْئًا. قَالَ عُمَرُ: لأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ
كَذَا وَكَذَا
“Kami dulu pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan padaku tentang
sebuah pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tak pernah
gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang
waktu.’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘Waktu itu terlintas dalam benakku bahwa itu
adalah pohon kurma. Namun aku melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab
apa pun sehingga aku pun merasa segan pula untuk menjawabnya. Ketika
para shahabat tidak menjawab sedikit pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ‘Itu pohon kurma.’ Saat kami telah bubar, kukatakan
pada ayahku ‘Umar, ‘Wahai ayah, demi Allah, sesungguhnya tadi terlintas
dalam benakku, itu adalah pohon kurma.’ Ayahku pun bertanya, ‘Lalu apa
yang membuatmu tidak menjawab?’ Ibnu ‘Umar menjawab, ‘Aku melihat anda
semua tidak berbicara sehingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau
mengatakan sesuatu.’ Kata ‘Umar, ‘Sungguh kalau tadi engkau menjawab,
itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!’.” (HR Al-Bukhari
no. 4698)
Para pendahulu kita amat bersemangat agar anak-anak mereka memiliki
pendidik semenjak kecil dan benar-benar berpesan pada si anak agar
bersemangat belajar. Mereka pun betul-betul perhatian dengan memberikan
sarana yang akan digunakan anak mereka untuk menuntut ilmu. Seperti
‘Utbah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu yang berpesan kepada pendidik
putranya: “Ajarilah dia Kitabullah, puaskan dia dengan hadits dan
jauhkan dia dari syi’ir.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 30)
Banyak gambaran dalam kehidupan salafush shalih yang melukiskan
semangat mereka terhadap pendidikan anak yang dilatari dan dilandasi
dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka ajarkan pada si anak tentang beratnya perjalanan menuntut ilmu
dengan segala aral merintang. Bahkan mereka tak segan kehilangan harta
untuk perjalanan anak-anak mereka menuntut ilmu agar kelak dapat
memberikan manfaat pada diri si anak sendiri dan lebih dari itu, pada
Islam dan kaum muslimin.
‘Ali bin ‘Ashim Al-Wasithi rahimahullahu menceritakan tentang
kesungguhan pengorbanan ayahnya, “Ayahku pernah memberiku uang seratus
ribu dirham sambil berkata, ‘Pergilah untuk menuntut ilmu, dan aku tak
ingin melihat wajahmu kecuali setelah engkau menghapal seratus ribu
hadits!’.” ‘Ali pun pergi jauh untuk menuntut ilmu, kemudian pulang
untuk mengajarkan ilmu yang didapatkannya, sampai-sampai yang hadir di
majelisnya lebih dari tigapuluh ribu orang. (dinukil dari Waratsatul
Anbiya`, hal. 32)
Begitu pula Al-Mu’tamir bin Sulaiman mengisahkan tentang pesan sang
ayah, “Ayahku pernah menulis surat padaku saat aku berada di Kufah,
‘Belilah buku dan catatlah ilmu, karena harta itu akan musnah, sementara
ilmu itu akan kekal’.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 32)
Bila ilmu dimiliki oleh seseorang, maka kehormatan dan kemuliaan akan
datang tanpa diundang dan dicari-cari.Tak memandang apakah dia
keturunan bangsawan atau seorang budak, ataukah dia seorang rupawan atau
tidak. Memang, bila akhirat menjadi tujuan seseorang, maka dunia pun
akan Allah Subhanahu wa Ta’ala datangkan kepadanya. Sebaliknya, bila
dunia yang menjadi cita-citanya, maka kehinaan semata yang akan dia
dapatkan. Demikian dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتِ اْلآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ
وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ
كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ،
وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا
قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah akan jadikan
kekayaan dalam hatinya, dan Allah kumpulkan baginya urusannya yang
tercerai-berai, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan tidak suka
kepadanya. Dan barangsiapa yang dunia menjadi cita-citanya, Allah akan
jadikan kefakiran di depan matanya, Dia cerai-beraikan urusannya, dan
dunia tidak akan mendatanginya kecuali hanya apa yang telah ditentukan
baginya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2465, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih)
Ibnul Jauzi rahimahullahu pernah menasihati putranya dan
menganjurkannya untuk menyibukkan diri dengan ilmu. Beliau berkata,
“Ketahuilah, ilmu itu akan mengangkat orang yang hina. Banyak kalangan
ulama yang tidak memiliki nasab yang bisa dibanggakan dan tidak punya
wajah yang rupawan.”
Bahkan ‘Atha` bin Abi Rabah rahimahullahu adalah seorang yang
berkulit hitam dan berwajah jelek, namun didatangi oleh Khalifah
Sulaiman bin ‘Abdil Malik bersama dua orang putranya. Mereka duduk di
hadapan ‘Atha` untuk bertanya masalah manasik haji. ‘Atha` pun
menjelaskan pada mereka bertiga sambil memalingkan wajahnya dari mereka.
Sang Khalifah berkata kepada kedua putranya, “Bangkitlah, dan jangan
lalai dan malas untuk mencari ilmu. Aku tidak akan pernah melupakan
kehinaan kita di hadapan budak hitam ini.” (dinukil dari Waratsatul
Anbiya`, hal. 33)
Kalau demikian kenyataannya, tentunya orangtua tak akan membiarkan
angan-angannya melambung tanpa arah. Mengantarkan anak menjadi seorang
yang mengerti tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala
seluk-beluknya berarti mengantarkan anak menjadi seorang yang akan
dimuliakan di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, hendaknya orangtua selalu berusaha membimbing
anak-anaknya untuk mengikuti halaqah-halaqah ilmu, menekankannya, dan
menyemangati mereka agar bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan untuk
menuntut ilmu, tanpa rasa bosan dan letih. Karena jalan ini akan
menyampaikan mereka pada ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
berujung jannah-Nya yang kekal abadi. Benarlah janji Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh sahabat yang mulia,
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan
mudahkan baginya dengan ilmu tersebut, jalan menuju surga.” (HR. Muslim
no. 2699)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar