Doaku Sepanjang Hidupmu
Doa orangtua untuk anaknya adalah salah satu doa yang paling didengar
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka semestinya orangtua senantiasa
mengalirkan doa kebaikan bagi anak-anaknya. Orangtua juga mesti
meneguhkan kesabaran jika menjumpai penyimpangan pada anak-anaknya.
Bukan malah mengutuk atau mendoakan kejelekan bagi mereka.
Sesuatu yang sudah lazim untuk diketahui, orangtua harus membimbing
anak-anaknya. Mereka butuh diarahkan, diajari, ditegur dan diluruskan
bila mereka salah atau lupa. Semua itu tak lain untuk kebaikan masa
depan si anak; masa depan di dunia dan masa depan di akhirat.
Kadang kala yang terjadi, orangtua sudah mengerahkan segala upaya
untuk mengajari dan membimbing, namun si anak tetap membandel dan
‘kepala batu’. Entah apa lagi cara yang harus ditempuh, seakan-akan
semua jalan telah buntu.
Memang, mencetak seorang anak menjadi anak shalih yang selalu
menyenangkan hati bukanlah semata hasil kerja keras orangtua dan
pendidik. Semua usaha yang ditempuh hanyalah merupakan sebab-sebab yang
dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Adapun yang membuat hati si anak
terbuka untuk menerima pengarahan serta bimbingan orangtua dan
orang-orang yang mendidiknya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada
orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada
siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Dalam ayat-Nya ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau lebih-lebih lagi
selain beliau– tidak akan mampu memberikan hidayah kepada seseorang,
walaupun dia orang yang paling dicintai. Tak seorang pun mampu
memberikan hidayah taufik dan menancapkan iman dalam hati seseorang. Ini
semata-mata ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah yang
memberi hidayah pada siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui,
siapa yang pantas mendapatkan hidayah dari-Nya hingga nanti Dia berikan
hidayah, dan siapa yang tidak layak mendapatkannya hingga Dia biarkan
orang itu dalam kesesatannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 620)
Cobalah renungkan, bagaimana upaya Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam dalam
mengembalikan umatnya pada tauhid. Selama 950 tahun beliau mengajak
mereka –dengan berbagai cara– untuk meninggalkan penyembahan berhala dan
hanya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Namun anak beliau
sendiri tidak mau menyambut seruan mulia sang ayah, sampai saat-saat
akhir kehidupan umat yang durhaka itu. Air bah yang meluap
menenggelamkan semua yang ada. Nabi Nuh ‘alaihissalam memanggil anaknya
yang enggan turut naik ke bahtera:
وَنَادَى نُوْحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلاَ تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِيْنَ
“Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai
anakku! Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama
orang-orang kafir’.” (Hud: 42)
Namun apalah daya bila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki,
si anak ini tidak mendapatkan petunjuk. Tetap dengan kesombongannya dia
menolak ajakan ayahnya, hingga berakhir dengan kebinasaan, ditelan oleh
gelombang air bah yang datang:
قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لاَ عَاصِمَ
الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا
الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ
“Dia berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan
menghindarkanku dari air bah. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang
bisa melindungi dari adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’ Dan
gelombang pun menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu termasuk
orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Menyaksikan anaknya turut tenggelam, timbul rasa iba sang ayah,
hingga Nabi Nuh ‘alaihissalam pun berdoa kepada Rabbnya. Namun Allah
Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan Nabi Nuh ‘alaihissalam dan menyatakan
bahwa anaknya bukanlah orang yang beriman sehingga termasuk orang-orang
yang ditenggelamkan:
وَنَادَى نُوْحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي
وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ. قَالَ يَا
نُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ
تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُوْنَ
مِنَ الْجَاهِلِيْنَ
“Dan Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku
termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar,
dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai
Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan),
sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah
engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya
Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.”
(Hud: 45-46)
Demikianlah keadaannya. Seorang nabi pun tidak dapat menyelamatkan
anaknya dari kekafiran bila si anak tidak dibukakan hatinya untuk
menerima keimanan.
Di sisi lain, sangatlah mudah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
memberikan petunjuk pada hamba yang Dia kehendaki, walaupun hamba itu
dikepung oleh kaum yang berbuat syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala
kisahkan tentang kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam ketika Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan taufik kepadanya untuk bertauhid:
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ. فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ
رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لاَ أُحِبُّ
اْلآفِلِيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي
فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُوْنَنَّ مِنَ
الْقَوْمِ الضَّالِّيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا
رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيْءٌ
مِمَّا تُشْرِكُوْنَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda
keagungan yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang
yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat bintang, lalu berkata,
‘Inilah rabbku’. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata,
‘Aku tidak suka pada yang tenggelam’. Kemudian ketika dia melihat bulan
terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam,
dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk padaku,
pasti aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat
matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku, ini lebih besar’. Tatkala
matahari itu terbenam, dia pun berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan! Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang
yang menyekutukan-Nya’.” (Al-An’am: 75-79)
Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dapat memberikan hidayah dan
melindungi seorang anak dari kejelekan. Oleh karena itu, semestinya
orangtua menyadari bahwa tak boleh semata bersandar pada hasil usaha
mereka. Namun mereka harus menengadahkan tangan dan memohon kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan doa seorang yang telah mencapai umur 40 tahun:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ
وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي
فِي ذُرِّيَّتِي
“Wahai Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah
Engkau karuniakan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan untuk
melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan berikanlah kebaikan
kepadaku dengan kebaikan anak keturunanku.” (Al-Ahqaf: 15)
Tatkala dia berdoa untuk kebaikan dirinya, dia mendoakan pula anak
keturunannya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kebaikan pada
segala keadaan mereka. Disebutkan dalam ayat ini bahwa kebaikan anak
cucu akan kembali manfaatnya bagi kedua orangtua mereka, berdasarkan
firman-Nya وَأَصْلِحْ لِي. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 781)
Demikian yang dimohon oleh hamba-hamba Ar-Rahman dalam doa mereka:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah bagi kami pasangan-pasangan hidup
dan keturunan sebagai penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)
Nabiyullah Zakariyya ‘alaihissalam ketika memohon keturunan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun meminta agar Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan anaknya nanti sebagai anak yang shalih, yang mendapatkan
keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berdoa:
فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا. يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
“Maka anugerahkanlah bagiku dari sisi-Mu seorang anak yang akan
mewarisiku dan mewarisi keluarga Ya’qub, dan jadikanlah dia, wahai
Rabbku, seorang yang diridhai.” (Maryam: 5-6)
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkan permohonan Nabi Zakariyya ‘alaihissalam dengan memberikan seorang anak yang shalih:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Wahai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberimu kabar gembira dengan
lahirnya seorang anak yang bernama Yahya, yang belum pernah Kami
menciptakan seseorang yang serupa dengannya.” (Maryam: 7)
Begitu pula Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kekasih Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Beliau berdoa untuk kebaikan dirinya dan putranya Isma’il
‘alaihissalam beserta keturunan mereka tatkala membangun fondasi
Baitullah:
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ
“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang berserah
diri kepada-Mu dan jadikanlah pula keturunan kami sebagai orang-orang
yang berserah diri kepada-Mu.” (Al-Baqarah: 128)
Beliau ‘alaihissalam juga berdoa:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang-orang
yang senantiasa mendirikan shalat. Wahai Rabbku, kabulkanlah doaku.”
(Ibrahim: 40)
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga memohon kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala agar menjaga diri dan keturunan beliau dari kemaksiatan terbesar
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu kesyirikan. Beliau ‘alaihissalam
memohon:
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah diriku beserta anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (Ibrahim: 35)
Demikianlah yang dilakukan oleh para nabi. Mereka mendoakan anak cucu
mereka agar meraih masa depan yang baik dan terhindar dari hal-hal yang
membinasakan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi dan rasul Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia, mencontohkan pula hal ini. ‘Umar
bin Abi Salamah, putra Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma menuturkan:
نَزَلَتْ هَذِهِ اْلآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ {إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ
الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا} فِي بَيْتِ أُمِّ سَلَمَةَ،
فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ وَحَسَنًا
وَحُسَيْنًا فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ وَعَلِيٌّ خَلْفَ ظَهْرِهِ
فَجَلَّلَهُ بِكِسَاءٍ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِي
فَأَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا
“Turun ayat ini kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‘Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan dosa-dosa dari diri kalian wahai
ahlul bait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya’ di rumah Ummu
Salamah. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Fathimah,
Hasan dan Husain lalu menyelubungi mereka dengan kain, dan ‘Ali di
belakang beliau lalu beliau selubungi pula dengan kain. Kemudian beliau
berdoa, ‘Ya Allah, mereka adalah ahlu baitku, maka hilangkanlah
dosa-dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.” (HR.
At-Tirmidzi no. 3787, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)
Beliau pernah pula mendoakan cucu beliau, Al-Hasan bin ‘Ali
radhiyallahu ‘anhuma. Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu
‘anhu:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيٍْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَسَنُ بْنُ
عَلِيٍّ عَلَى عَاتِقِهِ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ
فَأَحِبَّهُ
“Aku pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
menggendong Al-Hasan di atas pundak beliau. Beliau mengatakan, ‘Ya
Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia’.” (HR.
Al-Bukhari no. 3849 dan Muslim no. 2422)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seringkali mendoakan
anak-anak para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Usamah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:
أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُهُ وَالْحَسَنَ فَيَقُوْلُ: اللَّهُمَّ أَحِبَّهُمَا فَإِنِّي أُحِبُّهُمَا
“Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memelukku bersama
Al-Hasan lalu mendoakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka
berdua, maka cintailah mereka’.” (HR. Al-Bukhari no. 3735)
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan pula saat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya, setelah dia
mengambilkan air wudhu untuk beliau. Dengan doa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ilmu yang
luas kepadanya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْخَلاَءَ
فَوَضَعْتُ لَهُ وَضُوْءًا قَالَ: مَنْ وَضَعَ هَذَا؟ فَأُخْبِرَ، فَقَالَ:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Pernah suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk
ke tempat buang air. Lalu kuletakkan air wudhu untuk beliau. (Ketika
selesai) beliau pun bertanya, “Siapa yang meletakkan ini?” Lalu beliau
diberitahu (bahwa aku yang melakukannya). Kemudian beliau mendoakan, ‘Ya
Allah, berikanlah dia pemahaman terhadap agama’.” (HR. Al-Bukhari no.
143 dan Muslim no. 2477)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjadi salah seorang ulama di
kalangan shahabat. Sampai-sampai ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu
‘anhu menempatkannya bersama para tokoh shahabat ketika Ibnu ‘Abbas
masih belia. (Fathul Bari, 7/127)
Dalam kehidupan shahabat, ada Ummu Sulaim bintu Milhan radhiyallahu
‘anha, ibu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang begitu besar
keinginannya agar anaknya mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan
akhirat. Dia serahkan sang anak untuk melayani Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan meminta doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk anaknya. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَمَا
هُوَ إِلاَّ أَنَا وَأُمِّي وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِي، فَقَالَتْ أُمِّي:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، خُوَيْدِمُكَ، ادْعُ اللهَ لَهُ. قَالَ: فَدَعَا لِي
بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ أَنْ قَالَ:
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيْهِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumah kami dan di
situ hanya ada aku, ibuku dan Ummu Haram bibiku. Ibuku mengatakan,
‘Wahai Rasulullah, ini pelayan kecilmu. Doakanlah dia’. Kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan untukku segala kebaikan, dan di
akhir doa beliau untukku, beliau berkata, ‘Ya Allah, banyakkanlah harta
dan anaknya, serta berikanlah barakah kepadanya’.” (HR. Muslim no.
2481)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa beliau, hingga Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang dirinya, “Hartaku sungguh
banyak, sementara anak cucuku mencapai sekitar seratus orang sekarang.”
(HR. Muslim no. 2481)
Apabila orangtua merasakan beban kesempitan dan kesusahan karena ulah
anak-anak, hendaknya berlapang dada dan memaafkan, serta mendoakan agar
si anak mendapatkan kebaikan. Sesungguhnya doa orangtua termasuk doa
yang akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentang hal ini,
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ
“Ada tiga doa yang pasti akan terkabul, tidak diragukan lagi: doa
orangtua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang dizhalimi.” (HR.
Abu Dawud no. 1536, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan)
Doa kebaikanlah yang semestinya dipanjatkan ketika itu, bukan cacian
atau bahkan doa kejelekan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
kita mendoakan kejelekan terhadap anak-anak. Jabir radhiyallahu ‘anhu
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda:
لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ،
وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لاَ تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً
يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيْبَ لَكُمْ
“Jangan mendoakan kejelekan bagi diri kalian, jangan berdoa kejelekan
bagi anak-anak kalian, dan jangan pula berdoa kejelekan bagi harta
kalian. Jangan sampai ia bertepatan dengan saat Allah yang jika diminta
suatu permintaan saat itu pasti akan Dia kabulkan.” (HR. Muslim no.
3009)
Bisa jadi seseorang menepati saat dikabulkannya doa, hingga
dikabulkan permohonannya. Ini banyak terjadi ketika marah. Saat marah,
terkadang orang mendoakan kejelekan untuk dirinya, atau kadang pada
anaknya. Dia katakan, ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakanmu!’
atau ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan balasan yang jelek
kepadamu!’, ataupun yang semisal itu. Sampai-sampai ada yang mendoakan
anaknya agar mendapat laknat! Nas`alullahal ‘afiyah. (Syarh Riyadhish
Shalihin, 4/33)
Akibatnya, bukan semakin baik si anak, namun semakin rusak. Semakin
jauh dari kebenaran dan semakin suram pula masa depannya. Tak ada
kebahagiaan hidupnya di dunia, terancam pula kehidupannya di akhirat
kelak. Na’udzu billahi min dzalik!
Cukup sudah bagi kita, para orangtua, teladan yang termaktub dalam
Al-Kitab dan As-Sunnah. Semestinya kita menyadari, segala kebaikan anak
kita Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberikannya. Hingga
semestinya pula kita memulai untuk melazimi doa untuk kebaikan mereka.
Wallahu Ta’ala a’lamu bish-shawab
0 komentar:
Posting Komentar