Mencari Sosok Pemimpin Masa Depan
Ke depan ini banyak sekali para pemimpin kita saat ini yang akan segera
mengakhiri masa jabatannya. Dengan berakhirnya masa jabatan berarti
akan terjadi pergantian alias akan diganti oleh peja bat yang baru
meskipun ada kemungkinan pejabat yang berakhir masa jabatannya itu akan
dipilih kembali untuk menduduki jabatannya yang pernah ia ‘duduki’
sebelumnya.
Tentu semua orang akan sependapat kalau sosok dan figur yang akan memimpinnya itu adalah orang yang baik (hasan), yang mengayomi, melindungi atau dengan istilah globalnya adalah pemimpin yang amanah (khithab). Untuk mencari figur seperti ini sudah jelas tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Sebabnya, orang mukmin itu terikat dengan beberapa ketentuan dari firman Allah SWT, yang di antaranya tertera berikut ini:
Amanah atau pertanggungjawaban.
“Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menunaikan/melaksanakan amanah
(pertanggungjawaban) terhadap orang-orang yang memberikan amanah itu
....” (QS An-Nisaa’58).
Maknanya, negarawan setiap negara sudah sewajarnya menanamkan rasa tanggung jawab ini sedalam-dalamnya di dada setiap warganya. Selain dari peraturan-peraturan agar orang menunaikan amanahnya dengan baik, harus pula ditanamkan rasa iman dan takwa kepada Allah SWT, yang tidak lengah sedikitpun dari segala tindak-tanduk manusia, sehingga setiap warga dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan iman dan takwanya.
Maknanya, negarawan setiap negara sudah sewajarnya menanamkan rasa tanggung jawab ini sedalam-dalamnya di dada setiap warganya. Selain dari peraturan-peraturan agar orang menunaikan amanahnya dengan baik, harus pula ditanamkan rasa iman dan takwa kepada Allah SWT, yang tidak lengah sedikitpun dari segala tindak-tanduk manusia, sehingga setiap warga dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan iman dan takwanya.
Menjunjung lima sifat utama.
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang
yang khusyuk dalam salatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang
membayar zakat. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali
kepada istri-istri atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka mereka
tidak tercela. Barangsiapa yang melepaskan (nafsunya) kepada selain dari
itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan
orang-orang yang memelihara amanat dan menepati janjinya. Dan
orang-orang yang memelihara salatnya. Itulah orang-orang pewaris, yang
mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Mukminuun
1-11).
Tidak boleh melalaikan tugas dan menyalahgunakan
jabatan. Kare na bila kita sampai sampai melakukan yang dilarang agama
ini ber khianat namanya. “Hai orang mukmin! Janganlah kamu berkhianat
kepada Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati
(memungkiri) amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu
mengetahui.” (QS Al-Anfaal 27).
Menurut KH Abdullah Gymnastiar (Swadaya, Media Sahabat Keluarga, Mei 2010), sebagai seorang muslim kita tak boleh ragu sedikitpun terhadap ucapan, janji maupun amanah yang kita pikul. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa hal di antaranya:
Menurut KH Abdullah Gymnastiar (Swadaya, Media Sahabat Keluarga, Mei 2010), sebagai seorang muslim kita tak boleh ragu sedikitpun terhadap ucapan, janji maupun amanah yang kita pikul. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa hal di antaranya:
Jangan pernah membocorkan rahasia atau amanat, terlebih lagi
membeberkan aib orang lain. Jangan sekali-kali melakukakannya. Ingat,
setiap kali kita ngobrol dengan orang lain, maka obrolan itu jadi amanat
buat kita. Bagi orang yang suka membocorkan rahasia akan jatuhlah harga
dirinya.
Jangan pernah mengingkari janji dan jangan mudah
mengobral janji. Pastikan setiap janji tercatat dengan baik dan selalu
ada saksi untuk mengingatkan dan berjuanglah sekuat tenaga dan
semaksimal mungkin untuk menepatinya walaupun dengan pengorbanan lahir
batin yang sangat besar dan berat.
Ingatlah, semua pengorbanan
menjadi sangat kecil dibandingkan dengan kehilangan harga diri sebagai
seorang pengingkar janji, seorang munafik. Naudzubillah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan jangan ada seorang menganiaya seorang mukmin melainkan pasti Allah akan membalas kepadanya pada hari kiamat.”
Abul Qasim Alhakiem ditanya: Apakah ada dosa yang dapat mencabut iman seseorang? Jawabnya: Ya, ada tiga macam yang dapat mencabut iman seorang hamba.
Rasulullah SAW bersabda:
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan jangan ada seorang menganiaya seorang mukmin melainkan pasti Allah akan membalas kepadanya pada hari kiamat.”
Abul Qasim Alhakiem ditanya: Apakah ada dosa yang dapat mencabut iman seseorang? Jawabnya: Ya, ada tiga macam yang dapat mencabut iman seorang hamba.
(1) tidak bersyukur atas nikmat Islam;
(2)
tidak kuatir hilangnya iman; dan
(3) menganiaya orang Islam.
SELAMA ini setiap pemilihan pemimpin yang baru, di tingkat pusat dan daerah, legislatif maupun eksekutif kita telah memilih dengan baik dan benar. Meskipun pada kenyataannya jauh menyimpang dari apa yang kita harapkan.
Pemimpin yang dipilih kemudian ingkar janji (sein versprechen (/wort) brechen) dan bahkan banyak yang bekerja tidak maksimal, melupakan kepentingan rakyat yang diwakilinya dan cenderung menggerogoti uang rakyat.
Korupsi (risywah) terjadi dimana-mana dan malah yang tadinya kita pilih sosok bertitel haji dengan alasan karena sudah dekat dengan Tuhannya, nyatanya sama saja. Setali tiga uang.
Menurut penelitian (untersuchung:w.), Indonesia adalah penduduk paling banyak yang bertitel haji, mulai dari rakyat kecil sampai kepada para pejabat tinggi. Tapi ironisnya paling banyak pula yang yang melakukan korupsi.
Makanya, boleh jadi dapat disimpulkan bahwa titel haji tidak dan belum menjamin seorang haji itu adalah orang yang benar-benar beriman, karena banyak yang mengambil haji itu bukan semata-mata karena Allah SWT, tetapi karena ikut-ikutan (in dem schlendrian mitlaufen), harga diri (selbstachtung:w.) atau gengsi (ansehen:s.) dan lain-lain.
Di dalam Alquran surat Ali Imran ayat 28, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dilarang orang mukmin mengambil (menjadikan) orang-orang kafir menjadi walinya (teman krabnya/ enolongnya/ pemimpinnya) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Siapa yang melakukan demikian, niscaya terlepaslah ia dari Allah, kecuali jika dalam keadaan takut dari (bahaya yang akan menimpa). Dan Allah memperingatkan kamu akan siksaan-Nya. Dan hanya kepada Allah tempat kembali.”
Artinya, agar kita tidak keliru atau menyalahi prinsip-prinsip dasar dari aturan yang berlaku menurut petunjuk Allah SWT, maka kita harus selektif memilih orang yang bakal dijadikan pemimpin itu. Dia adalah orang yang benar-benar saleh dan beriman kepada-Nya. Beriman kepada Allah, berarti berketuhanan Yang Maha Esa, dan ini juga sejalan dengan dasar negara kita yaitu Pancasila.
Dalam ajaran Islam istilah Ketuhanan Yang Maha Esa itu tiada lain adalah mentauhidkan Allah SWT dan meniadakan (menafikan) cara-cara bertuhan selain Dia. Apabila seseorang telah mengakui dan mengikrarkan tiada tuhan melainkan Allah, niscaya dia telah memasuki satu bagian dari iman, dan apabila dia melanjutkan pengakuannya terhadap kerasulan Muhammad SAW, maka dia telah menjadi muslim yang beriman.
Puncak dari tanggung jawab seorang pemimpin (imam) itu bertumpu pada iman. Apabila pemimpin benar-benar beriman yang mantap, maka dia diharapkan akan amanah dalam kepemimpinannya. Sesuai dengan firman-Nya (QS 4:135): “Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menegakkan keadilan dengan sungguh-sungguh. Menjadi saksi (untuk menegakkan keadilan itu) karena Allah. (Tegakkanlah keadilan itu) walaupun akan memberati dirimu sendiri, ibu-bapakmu dan kaum kerabatmu. Jika yang tertuduh seorang kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu bagaimana keadaan keduanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa-nafsu karena hendak menyimpang dari jalan yang benar (yang kaya dibebaskan karena mengharapkan hartanya). Dan jika kamu memutarbalikkan (kesaksian) atau enggan (menjadi saksi), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Kemudian Rasulullah SAW juga mengingatkan kepada umatnya dengan sabdanya: “Setiap pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya (yang memberikan kepercayaan), baik terhadap anak-anaknya, terhadap dirinya sendiri dan terlebih luas lagi adalah tanggung jawab dalam hubungan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.”
Umar bin Abdul Aziz, ketika terpilih menjadi khalifah dan amirul mukminin, langsung mengajukan pilihan kepada istrinya, Fatimah.
“Istriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antara dua,” kata Umar kepada istrinya tercinta.
“Memilih untuk apa kakanda?” Tanya Fatimah.
“Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai dan Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu,” terang Umar.
“Demi Allah, aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu ya amirul mukminin. Inilah emas dan seluruh perhiasanku,” jawab Fatimah sungguh-sungguh.
Kemudian, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitul Mal, kas negara kaum muslimin. Demikian pula dengan harta yang ada pada dirinya, ia kembalikan ke baitul mal. Sejak saat itu, dia mengharamkan atas dirinya untuk mengambil sesuatu pun dari baitul mal (kasse:w.).
Masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz diwarnai banyak reformasi dan perbaikan. Beliau banyak menghidupkan dan memperbaiki tanah-tanah yang tidak produktif, menggali sumur-sumur baru, membangun masjid-masjid, menghiasi jalan-jalan, membangun penginapan bagi para musafir dan mengembalikan tanah-tanah yang disita serta menaruhnya di baitul mal.
Dia mendistribusikan sedekah dan zakat dengan cara yang benar hingga kemiskinan tidak ada lagi di zamannya. Di masa pemerintahannya tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat ataupun sedekah (almosen:s.).
Tak hanya itu. Umar bin Abdul Aziz senantiasa memberi contoh dan teladan yang baik kepada umatnya. Sebagai pemimpin dan amirul mukminin, tingkah lakunya akan menjadi panutan rakyatnya. Karena itu, dalam menjalankan roda pemerintahan ia senantiasa berhati-hati dalam mempergunakan uang umat. Ia tak mau menggunakan uang umat dalam kehidupan sehari-harinya. Karenanya, dengan cermat ia memisahkan segala urusan pribadi dengan pemerintahan (regieren:s.). (Islam Digest, Ahad, 27 Juni 2010).
PEMIMPIN yang amanah akan mengerti kedudukan dirinya dan dia bukan hanya bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya, tetapi juga memahami akan tanggung jawab dan bertanggung jawab dihadapan Allah SWT robbul jalil kelak di kemudian hari. Dengan mafhumnya (paham) seorang pemimpin dengan tanggung jawabnya kepada Yang Maha Kuasa, seorang pemimpin dalam kepemimpinannya tidak akan menyimpang dari konsep Islam.
Agama Islam memandang masalah pemimpin yang amanah ini tidak main-main. Hal ini terbukti dari suatu riwayat ketika seorang penduduk negeri Arab pegunungan datang bertanya kepada Rasulullah SAW:
“Apa yang paling berat dalam agama dan apa pula yang paling ringan dalam agama?”
“Yang paling berat adalah memegang amanah, sedangkan yang paling ringan adalah mengucapkan dua kalimat syahadat,” jawab Rasulullah SAW.
Bahkan dalam hadist yang diriwayatkan Al-Bazar dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sempurna agama seseorang yang tidak dapat menjaga amanah dan tidak diterima salat dan zakatnya.”
Bila demikian, sekiranya ada pemimpin-pemimpin yang tidak amanah, maka sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan yang memilihnya, tapi mungkin setelah menjadi pemimpin, mereka lantas berubah niat baik karena keimanan yang mereka miliki tidak sekokoh yang selama ini diperkirakan oleh pemilihnya.
Oleh sebab itu, sekali lagi kita seyogianya menimbang-nimbang apabila ingin memilih pemimpin, apapun bentuk dan tingkatannya, agar tidak salah lagi yang kedua kalinya. Apalagi dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi kita akan memilih pemimpin mulai dari tingkat bupati/walikota, gubernur hingga kepala negara.
SELAMA ini setiap pemilihan pemimpin yang baru, di tingkat pusat dan daerah, legislatif maupun eksekutif kita telah memilih dengan baik dan benar. Meskipun pada kenyataannya jauh menyimpang dari apa yang kita harapkan.
Pemimpin yang dipilih kemudian ingkar janji (sein versprechen (/wort) brechen) dan bahkan banyak yang bekerja tidak maksimal, melupakan kepentingan rakyat yang diwakilinya dan cenderung menggerogoti uang rakyat.
Korupsi (risywah) terjadi dimana-mana dan malah yang tadinya kita pilih sosok bertitel haji dengan alasan karena sudah dekat dengan Tuhannya, nyatanya sama saja. Setali tiga uang.
Menurut penelitian (untersuchung:w.), Indonesia adalah penduduk paling banyak yang bertitel haji, mulai dari rakyat kecil sampai kepada para pejabat tinggi. Tapi ironisnya paling banyak pula yang yang melakukan korupsi.
Makanya, boleh jadi dapat disimpulkan bahwa titel haji tidak dan belum menjamin seorang haji itu adalah orang yang benar-benar beriman, karena banyak yang mengambil haji itu bukan semata-mata karena Allah SWT, tetapi karena ikut-ikutan (in dem schlendrian mitlaufen), harga diri (selbstachtung:w.) atau gengsi (ansehen:s.) dan lain-lain.
Di dalam Alquran surat Ali Imran ayat 28, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dilarang orang mukmin mengambil (menjadikan) orang-orang kafir menjadi walinya (teman krabnya/ enolongnya/ pemimpinnya) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Siapa yang melakukan demikian, niscaya terlepaslah ia dari Allah, kecuali jika dalam keadaan takut dari (bahaya yang akan menimpa). Dan Allah memperingatkan kamu akan siksaan-Nya. Dan hanya kepada Allah tempat kembali.”
Artinya, agar kita tidak keliru atau menyalahi prinsip-prinsip dasar dari aturan yang berlaku menurut petunjuk Allah SWT, maka kita harus selektif memilih orang yang bakal dijadikan pemimpin itu. Dia adalah orang yang benar-benar saleh dan beriman kepada-Nya. Beriman kepada Allah, berarti berketuhanan Yang Maha Esa, dan ini juga sejalan dengan dasar negara kita yaitu Pancasila.
Dalam ajaran Islam istilah Ketuhanan Yang Maha Esa itu tiada lain adalah mentauhidkan Allah SWT dan meniadakan (menafikan) cara-cara bertuhan selain Dia. Apabila seseorang telah mengakui dan mengikrarkan tiada tuhan melainkan Allah, niscaya dia telah memasuki satu bagian dari iman, dan apabila dia melanjutkan pengakuannya terhadap kerasulan Muhammad SAW, maka dia telah menjadi muslim yang beriman.
Puncak dari tanggung jawab seorang pemimpin (imam) itu bertumpu pada iman. Apabila pemimpin benar-benar beriman yang mantap, maka dia diharapkan akan amanah dalam kepemimpinannya. Sesuai dengan firman-Nya (QS 4:135): “Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menegakkan keadilan dengan sungguh-sungguh. Menjadi saksi (untuk menegakkan keadilan itu) karena Allah. (Tegakkanlah keadilan itu) walaupun akan memberati dirimu sendiri, ibu-bapakmu dan kaum kerabatmu. Jika yang tertuduh seorang kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu bagaimana keadaan keduanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa-nafsu karena hendak menyimpang dari jalan yang benar (yang kaya dibebaskan karena mengharapkan hartanya). Dan jika kamu memutarbalikkan (kesaksian) atau enggan (menjadi saksi), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Kemudian Rasulullah SAW juga mengingatkan kepada umatnya dengan sabdanya: “Setiap pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya (yang memberikan kepercayaan), baik terhadap anak-anaknya, terhadap dirinya sendiri dan terlebih luas lagi adalah tanggung jawab dalam hubungan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.”
Umar bin Abdul Aziz, ketika terpilih menjadi khalifah dan amirul mukminin, langsung mengajukan pilihan kepada istrinya, Fatimah.
“Istriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antara dua,” kata Umar kepada istrinya tercinta.
“Memilih untuk apa kakanda?” Tanya Fatimah.
“Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai dan Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu,” terang Umar.
“Demi Allah, aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu ya amirul mukminin. Inilah emas dan seluruh perhiasanku,” jawab Fatimah sungguh-sungguh.
Kemudian, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitul Mal, kas negara kaum muslimin. Demikian pula dengan harta yang ada pada dirinya, ia kembalikan ke baitul mal. Sejak saat itu, dia mengharamkan atas dirinya untuk mengambil sesuatu pun dari baitul mal (kasse:w.).
Masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz diwarnai banyak reformasi dan perbaikan. Beliau banyak menghidupkan dan memperbaiki tanah-tanah yang tidak produktif, menggali sumur-sumur baru, membangun masjid-masjid, menghiasi jalan-jalan, membangun penginapan bagi para musafir dan mengembalikan tanah-tanah yang disita serta menaruhnya di baitul mal.
Dia mendistribusikan sedekah dan zakat dengan cara yang benar hingga kemiskinan tidak ada lagi di zamannya. Di masa pemerintahannya tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat ataupun sedekah (almosen:s.).
Tak hanya itu. Umar bin Abdul Aziz senantiasa memberi contoh dan teladan yang baik kepada umatnya. Sebagai pemimpin dan amirul mukminin, tingkah lakunya akan menjadi panutan rakyatnya. Karena itu, dalam menjalankan roda pemerintahan ia senantiasa berhati-hati dalam mempergunakan uang umat. Ia tak mau menggunakan uang umat dalam kehidupan sehari-harinya. Karenanya, dengan cermat ia memisahkan segala urusan pribadi dengan pemerintahan (regieren:s.). (Islam Digest, Ahad, 27 Juni 2010).
PEMIMPIN yang amanah akan mengerti kedudukan dirinya dan dia bukan hanya bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya, tetapi juga memahami akan tanggung jawab dan bertanggung jawab dihadapan Allah SWT robbul jalil kelak di kemudian hari. Dengan mafhumnya (paham) seorang pemimpin dengan tanggung jawabnya kepada Yang Maha Kuasa, seorang pemimpin dalam kepemimpinannya tidak akan menyimpang dari konsep Islam.
Agama Islam memandang masalah pemimpin yang amanah ini tidak main-main. Hal ini terbukti dari suatu riwayat ketika seorang penduduk negeri Arab pegunungan datang bertanya kepada Rasulullah SAW:
“Apa yang paling berat dalam agama dan apa pula yang paling ringan dalam agama?”
“Yang paling berat adalah memegang amanah, sedangkan yang paling ringan adalah mengucapkan dua kalimat syahadat,” jawab Rasulullah SAW.
Bahkan dalam hadist yang diriwayatkan Al-Bazar dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sempurna agama seseorang yang tidak dapat menjaga amanah dan tidak diterima salat dan zakatnya.”
Bila demikian, sekiranya ada pemimpin-pemimpin yang tidak amanah, maka sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan yang memilihnya, tapi mungkin setelah menjadi pemimpin, mereka lantas berubah niat baik karena keimanan yang mereka miliki tidak sekokoh yang selama ini diperkirakan oleh pemilihnya.
Oleh sebab itu, sekali lagi kita seyogianya menimbang-nimbang apabila ingin memilih pemimpin, apapun bentuk dan tingkatannya, agar tidak salah lagi yang kedua kalinya. Apalagi dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi kita akan memilih pemimpin mulai dari tingkat bupati/walikota, gubernur hingga kepala negara.
0 komentar:
Posting Komentar