Baktiku Kepada Kedua Orang Tua
Bagi seorang anak, orang tua bisa menjadi ladang untuk menggali
pahala akhirat sebanyak-banyaknya. Yaitu dengan cara berbakti,
menghormati, mengasihi, dan juga merawatnya ketika orang tua mencapai
usia lanjut. Namun sayang, tidak banyak yang mengetahui betapa besar
nilai kebaktian seorang anak kepada orang tua. Dalam edisi yang lalu telah digambarkan bagaimana besar hak kedua
orang tua atas diri anak dikarenakan besarnya pengorbanan mereka
terhadap anak-anaknya. Sehingga karena besarnya hak tersebut, Allah
Subhanahu wa Ta’ala meletakkan hak keduanya setelah hak-Nya dan hak
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini telah dijelaskan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisa: 36)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu mengatakan:
“Ayat ini merupakan dalil bahwa kedudukan hak orang tua adalah setelah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika dikatakan mana hak Rasul? Saya katakan: Pada hak Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah tercakup hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak bisa diwujudkan melainkan dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Qaulul Mufid, 1/37)
Siapakah yang dimaksud kedua orang tua di dalam ayat tersebut?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan:
“(Kata) walidain mencakup ibu, bapak dan seterusnya (garis keturunan) ke atas. Akan tetapi kepada ibu dan bapak yang lebih (ditekankan). Dan semakin dekat hubungannya, maka (penekanan) untuk berbuat baik juga lebih kuat.” (Al-Qaulul Mufid, 1/37)
“(Kata) walidain mencakup ibu, bapak dan seterusnya (garis keturunan) ke atas. Akan tetapi kepada ibu dan bapak yang lebih (ditekankan). Dan semakin dekat hubungannya, maka (penekanan) untuk berbuat baik juga lebih kuat.” (Al-Qaulul Mufid, 1/37)
Untukmu, Wahai Orang Tuaku
1. Durhaka kepadamu berdua termasuk dosa besar dan mengakibatkan masuk ke dalam neraka.
Diriwayatkan dari Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَاقٌّ وَلاَ مُؤْمِنٌ بِسِحْرٍ وَلاَ مُدْمِنُ خَمْرٍ وَلاَ مُكَذِّبٌ بِقَدَرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang durhaka, orang yang beriman dengan
sihir, orang yang kecanduan khamr, dan orang yang mendustakan taqdir.”1
Diriwayatkan juga dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ
الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ
السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kalian kedurhakaan kepada
ibu-ibu kalian, mengharamkan mengubur hidup anak-anak wanita, bakhil,
rakus dan Allah membenci kalian untuk mengatakan katanya-katanya, banyak
bertanya dan menyia-nyiakan harta.”2
Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu:
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَبَائِرِ،
قَالَ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ
وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang dosa-dosa
besar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Menyekutukan
Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan persaksian
palsu’.”3
Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلاَثًا. قَالُوا: بَلَى
يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ
الْوَالِدَيْنِ. وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَلاَ وَقَوْلُ
الزُّوْرِ. قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ
سَكَتَ
“Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?”
Beliau mengulanginya tiga kali. Lalu mereka berkata: “Iya, wahai
Rasulullah.” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua
orang tua.” Beliau lalu duduk yang tadinya ittika` seraya mengatakan:
“Ketahuilah (termasuk juga) persaksian palsu.” Abu Bakrah berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulanginya sehingga
kami mengatakan: ‘Duhai seandainya beliau berhenti’.”4
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
الْكَبَائِرُ اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِيْنُ الْغَمُوْسُ
“Dosa-dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu.”5
Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ
الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ
مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan adzabnya oleh
Allah di dunia, bersamaan dengan adzab yang Allah simpan untuk di
akhirat nanti, daripada perbuatan dzalim dan memutuskan hubungan
silaturrahim.”6
2. Mencela mereka berdua termasuk kedurhakaan dan perbuatan yang mendatangkan kutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً
كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا
“Dan apabila keduanya telah lanjut usia atau salah satu dari
keduanya, maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka berdua “ah” dan
jangan kamu menghardiknya, dan katakanlah ucapan yang baik. Rendahkan
sayap kehinaanmu di hadapan keduanya dan katakanlah: ‘Wahai Rabbku,
berikanlah kepada keduanya kasih sayang sebagaimana dia berdua telah
memeliharaku semenjak kecilku’.” (Al-Isra`: 24)
Diriwayatkan dari Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah, ia berkata:
كُنْتُ عِنْدَ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ:
مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيْكَ؟
قَالَ: فَغَضِبَ وَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ شَيْئًا يَكْتُمُهُ النَّاسَ غَيْرَ أَنَّهُ
قَدْ حَدَّثَنِي بِكَلِمَاتٍ أَرْبَعٍ. قَالَ: فَقَالَ: مَا هُنَّ يَا
أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ؟ قَالَ: قَالَ: لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ
وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ
آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ اْلأَرْضِ
“Di saat saya berada di sisi ‘Ali bin Abu Thalib, seseorang
mendatangi beliau dan berkata: “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah merahasiakan sesuatu kepadamu?” (‘Amir bin
Watsilah) berkata: Lalu ‘Ali marah dan berkata: “‘Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah merahasiakan sesuatupun kepadaku yang
beliau sembunyikan dari orang lain, hanya saja beliau menyampaikan empat
kalimat kepadaku.” Lalu orang itu berkata: “Apa keempat perkara itu,
wahai Amirul Mukminin?” ‘Ali berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: ‘Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang
tuanya, Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah
melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah dan Allah melaknat orang
yang mengubah patok bumi’.”7
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ، وَهَلْ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، يَسُبُّ
أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci kedua orang tuanya.”
(Para shahabat) berkata: ‘Ya Rasulullah, apakah seseorang (tega) mencaci
kedua orang tuanya?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
‘Iya. (Yaitu dengan cara) dia mencaci bapak orang lain lalu orang lain
itu membalas mencaci bapaknya, dia mencaci ibu orang lain kemudian orang
itu balas mencaci ibunya.”8
3. Doa engkau berdua wahai ibu dan bapakku, cepat diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka doakanlah agar hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala tercurah padaku dan janganlah berdoa kutukan untukku.
Maka doakanlah agar hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala tercurah padaku dan janganlah berdoa kutukan untukku.
Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui
lisan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah
sabdanya:
لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ
وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ لاَ تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً
يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
“Jangan kalian berdoa kejelekan untuk diri kalian, dan jangan berdoa
kejelekan untuk anak-anak kalian, dan jangan berdoa kejelekan untuk
harta benda kalian, karena tidaklah kalian bertemu dengan waktu yang
mustajab (bila minta kepada Allah pasti akan dikabulkan) melainkan Allah
mengabulkan doa kalian.”8
Bila engkau tersakiti oleh putra putrimu, janganlah segera berdoa
kejelekan buat mereka. Karena doa kedua orang tua termasuk sederetan doa
yang mustajab, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah sabda beliau dalam hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ؛ دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ
“Tiga doa yang mustajab (dikabulkan) dan tidak ada keraguan padanya
(yaitu) doa orang tua, doa orang yang sedang safar dan doa orang yang
terdzalimi.”9
4. Bila engkau telah tiada, baktiku akan sampai kepadamu.
Hal ini telah di jelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda-sabdanya berikut:
Hal ini telah di jelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda-sabdanya berikut:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ
ثَلاَثَةٍ؛ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya
melainkan tiga perkara (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang diambil
manfaatnya, dan anak yang shalih yang mendoakan (kebaikan) baginya.”10
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ
أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ. قَالَ:
فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا وَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ
عَنْهَا
“Seseorang berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‘Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia. Apakah akan bermanfaat
baginya jika aku bersedekah atas namanya?’ Beliau menjawab: ‘Iya.’ Orang
itu berkata: ‘Sesungguhnya aku memiliki kebun yang sudah berbuah dan
saya mengangkatmu menjadi saksi bahwa aku telah menyedekahkannya untuk
ibuku.”11
5. Jika engkau berdua kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dengarlah nasihat dari Rabbku kepadamu!
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ
لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا إِلَيَّ
مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Dan Kami telah wasiatkan kepada manusia agar berbuat baiklah kepada
kedua orang tua, dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku dan
kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka janganlah kamu menaati
keduanya dan kepadaku kalian akan dikembalikan dan Aku akan mengabarkan
kepada kalian apa yang telah kalian perbuat.” (Al-’Ankabut: 8)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku sedangkan kamu
tidak memiliki ilmu tentangnya, maka janganlah kalian menaati keduanya
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (Luqman: 15)
Diriwayatkan dari Asma` bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قُلْتُ: وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي؟
قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ
“Ibuku datang menjengukku dan dia dalam keadaan musyrik di masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku mengatakan: ‘Dia sangat
berkeinginan (untuk bertemu denganku), apakah aku boleh menyambung
hubungan dengan ibuku?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu’.”12
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah (putri Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’i) berkata:
“Jika seorang wanita memiliki salah satu dari mahramnya atau keluarganya kafir, dia boleh berbuat baik kepadanya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Jika seorang wanita memiliki salah satu dari mahramnya atau keluarganya kafir, dia boleh berbuat baik kepadanya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِي
الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوْهُمْ
وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kalian dari orang-orang kafir yang tidak
memerangi kalian dalam agama dan tidak mengusir kalian dari
negeri-negeri kalian untuk kalian berbuat baik kepada mereka dan berbuat
adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berbuat adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan:
“Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian dalam agama, seperti kaum wanita dan orang-orang lemah dari mereka; أَنْ تَبَرُّوْهُمْ (untuk kalian berbuat baik kepada mereka) dan وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ (kalian berbuat adil).” Lalu beliau menyebutkan hadits Asma` bintu Abu Bakr di atas. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/363)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang orang kafir yang kita tidak boleh berbuat baik kepada mereka:
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِي
الدِّيْنِ وَأَخْرَجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى
إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُوْنَ
“Sesungguhnya Allah melarang kalian (untuk berbuat baik) kepada
orang-orang kafir yang memerangi kalian dalam agama dan mengeluarkan
kalian dari negeri-negeri kalian dan mereka dengan terang-terangan
mengusir kalian untuk kalian berloyalitas kepada mereka. Dan barangsiapa
yang berloyalitas kepada mereka maka merekalah orang-orang yang berbuat
aniaya.” (Al-Mumtahanah: 9)
Ibnu Katsir menjelaskan:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kalian dari berloyalitas kepada mereka yang memancangkan permusuhannya kepada kalian, memerangi kalian, dan mengusir kalian dengan terang-terangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kalian mencintai mereka, dan memerintahkan agar kalian memerangi mereka.”
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kalian dari berloyalitas kepada mereka yang memancangkan permusuhannya kepada kalian, memerangi kalian, dan mengusir kalian dengan terang-terangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kalian mencintai mereka, dan memerintahkan agar kalian memerangi mereka.”
Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Telah turun empat ayat dalam Al-Qur`an berkaitan denganku:
“Telah turun empat ayat dalam Al-Qur`an berkaitan denganku:
Pertama: Ibuku bersumpah tidak akan makan dan minum sampai aku
meninggalkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka turunlah ayat:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku sedangkan kamu
tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah kalian menaati keduanya
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (Luqman: 15)
Kedua: Sesungguhnya dulu aku pernah mengambil pedang yang sangat aku
inginkan, lalu aku berkata: “Ya Rasulullah, berikan aku ini.” Lalu
turunlah:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَنْفَالِ
“Mereka akan meminta kepadamu harta rampasan perang.” (Al-Anfal: 1)
Ketiga: Aku sakit, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjengukku. Lalu aku mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku ingin
membagikan hartaku. Apakah aku boleh berwasiat dengan setengah
hartaku?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.” Lalu aku
berkata: “Sepertiganya?” Lalu beliau diam, maka sepertiga (harta)
setelah itu boleh (diwasiatkan).
Keempat: Sesungguhnya aku minum khamr bersama sekelompok Anshar. Lalu
seseorang dari Anshar memukul hidungku dengan rahang unta. Lalu aku
mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu Allah
menurunkan ayat tentang hukum haramnya khamr.13
6. Jika engkau mati dalam keadaan musyrik, engkau tidak mendapatkan baktiku untuk mendoakanmu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam sebuah firman-Nya:
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam sebuah firman-Nya:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا
لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيْمِ
“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan
ampun bagi kaum musyrikin walaupun mereka adalah kerabat yang paling
dekat setelah jelas baginya bahwa mereka menjadi penghuni neraka Jahim
(mati dalam keadaan kafir).” (At-Taubah: 113)
Cerita Indah nan Penuh Pelajaran pada diri Nabi Ibrahim dan Bapaknya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيْقًا
نَبِيًّا. إِذْ قَالَ لأَبِيْهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لاَ يَسْمَعُ
وَلاَ يُبْصِرُ وَلاَ يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا. يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ
جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ
صِرَاطًا سَوِيًّا. يَا أَبَتِ لاَ تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ
الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا. يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ
يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا.
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيْمُ لَئِنْ لَمْ
تَنْتَهِ لأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا. قَالَ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا. وَأَعْتَزِلُكُمْ
وَمَا تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَى أَلاَّ
أَكُوْنَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا. فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا
يَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ
وَكُلاًّ جَعَلْنَا نَبِيًّا. وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا
وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab
(Al-Qur`an) ini, sesungguhnya dia adalah orang yang sangat membenarkan
dan seorang nabi. Ingatlah ketika dia berkata kepada bapaknya: ‘Wahai
bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak
melihat, dan tidak bisa menolongmu sedikitpun? Wahai bapakku,
sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak
datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan
kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, jangan kamu menyembah setan.
Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Rabb Yang Maha Pemurah. Wahai
bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari
Rabb yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.’ Bapaknya:
‘Bencikah kamu kepada sesembahan-sesembahanku, hai Ibrahim? Jika kamu
tidak berhenti, niscaya kamu akan aku rajam dan tinggalkanlah aku untuk
waktu yang lama.’ Ibrahim berkata: ‘Semoga keselamatan dilimpahkan
kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia
sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa
yang kamu sembah selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabbku,
mudah-mudahan aku tidak akan kecewa berdoa kepada Rabbku.’ Maka ketika
Ibrahim telah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka
sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq dan Ya’qub, dan
masing-masing kami angkat menjadi nabi. Dan kami anugerahkan kepada
mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka menjadi buah
tutur yang baik lagi tinggi.” (Maryam: 41-50)
Faedah yang terkandung dalam kisah Ibrahim Abul Muwahhidin (bapak orang-orang yang bertauhid):
1. Bersemangat dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik
kepada keluarga yang dekat atau yang jauh, terlebih lagi kepada kedua
orang tua.
2. Bersabar dalam menerima segala ujian di jalan dakwah.
3. Memakai uslub (metode) lemah lembut dalam berdakwah, terlebih
kepada orang tua. Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala
mencontohkan sikap lemah lembut di dalam dakwah di mana Nabi Ibrahim
tidak mengajak bicara bapaknya dengan kata: “Wahai bapakku, saya ini
orang pintar dan kamu orang bodoh,” atau mengatakan “Kamu tidak punya
ilmu sedikitpun.” Namun beliau memakai bentuk pembicaraan dengan kata
yang menunjukkan bahwa beliau dan bapaknya mempunyai ilmu, namun ilmu
yang sampai kepada beliau belum sampai kepada bapaknya.
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mengikuti
millah (agama) Nabi Ibrahim. Di antara bentuk mengikuti millah-nya
adalah menempuh jalan beliau dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dengan jalan ilmu dan hikmah, lemah lembut lagi penuh kemudahan.
Secara bertahap dari satu tingkatan kepada tingkatan yang lain,
bersabar di jalan dakwah itu, tidak bosan, bersabar dari segala gangguan
makhluk yang diarahkan kepadanya, baik dengan ucapan atau perbuatan.
Sebaliknya, memberikan ampunan dan maaf serta gampang berbuat baik
dengan ucapan atau perbuatan. (lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 443-444)
Cerita Indah Isma’il dengan Seorang Ayah yang Mulia
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنَّ مِنْ شِيْعَتِهِ لإِبْرَاهِيْمَ. إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ
سَلِيْمٍ. إِذْ قَالَ لأَبِيْهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا تَعْبُدُوْنَ. أَئِفْكًا
آلِهَةً دُوْنَ اللهِ تُرِيْدُوْنَ. فَمَا ظَنُّكُمْ بِرَبِّ
الْعَالَمِيْنَ. فَنَظَرَ نَظْرَةً فِي النُّجُوْمِ. فَقَالَ إِنِّي
سَقِيْمٌ. فَتَوَلَّوْا عَنْهُ مُدْبِرِيْنَ. فَرَاغَ إِلَى آلِهَتِهِمْ
فَقَالَ أَلاَ تَأْكُلُوْنَ. مَا لَكُمْ لاَ تَنْطِقُوْنَ. فَرَاغَ
عَلَيْهِمْ ضَرْبًا بِالْيَمِيْنِ. فَأَقْبَلُوا إِلَيْهِ يَزِفُّوْنَ.
قَالَ أَتَعْبُدُوْنَ مَا تَنْحِتُوْنَ. وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا
تَعْمَلُوْنَ. قَالُوا ابْنُوا لَهُ بُنْيَانًا فَأَلْقُوْهُ فِي
الْجَحِيْمِ. فَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ اْلأَسْفَلِيْنَ.
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِيْنِ. رَبِّ هَبْ لِي مِنَ
الصَّالِحِيْنَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ. فَلَمَّا بَلَغَ
مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي
أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا
وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ. قَدْ
صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّ
هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ الْمُبِيْنُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ.
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي اْلآخِرِينَ. سَلاَمٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ.
كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا
الْمُؤْمِنِيْنَ. وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ
الصَّالِحِيْنَ. وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِيْنٌ
“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).
(Ingatlah) ketika ia datang kepada Rabbnya dengan hati yang suci.
(Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Apakah yang
kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki sesembahan-sesem-bahan selain
Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Rabb
semesta alam?’ Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang.
Kemudian ia berkata: ‘Sesungguhnya aku sakit.’ Lalu mereka berpaling
darinya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada
berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: ‘Apakah kamu tidak makan?
Kenapa kamu tidak menjawab?’ Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil
memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Kemudian kaumnya
datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim berkata: ‘Apakah kamu
menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.’ Mereka berkata:
‘Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim; lalu lemparkanlah
dia ke dalam api yang menyala-nyala itu.’ Mereka hendak melakukan tipu
muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina. Dan
Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan
Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku
(seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia
kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak
itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya
telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya),
(nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim,
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ sesungguhnya demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya
ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)
‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.’ Demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan
kelahiran Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih.
Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak
cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya
sendiri dengan nyata.” (Ash-Shaffat: 83-113)
Faedah yang diambil dalam kisah Isma’il:
1. Sifat-sifat terpuji yang dimiliki oleh beliau di antaranya
al-hilm. Sifat ini mencakup kesabaran, akhlak yang baik, dada yang
lapang dan memberikan maaf kepada siapa yang berbuat aniaya kepadanya.
2. Kesabaran dalam mewujudkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Keberanian yang sejati dalam menjunjung tinggi amanat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Keyakinan yang tinggi dalam melaksanakan perintah yang sangat berat.
5. Anak yang shalih tidak akan menghalangi orang tuanya untuk melaksanakan perintah.
6. Ketabahan dan kesabaran dalam melaksanakan tugas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang besar, baik di dunia ataupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat penyebutan sang anak dan sang bapak dengan pujian yang tinggi sampai hari kiamat.
7. Keberkahan hidup akan didapat dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. (lihat Tafsir As-Sa’di hal. 651-652)
2. Kesabaran dalam mewujudkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Keberanian yang sejati dalam menjunjung tinggi amanat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Keyakinan yang tinggi dalam melaksanakan perintah yang sangat berat.
5. Anak yang shalih tidak akan menghalangi orang tuanya untuk melaksanakan perintah.
6. Ketabahan dan kesabaran dalam melaksanakan tugas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang besar, baik di dunia ataupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat penyebutan sang anak dan sang bapak dengan pujian yang tinggi sampai hari kiamat.
7. Keberkahan hidup akan didapat dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. (lihat Tafsir As-Sa’di hal. 651-652)
-------------------------------------------------------
1 HR. Al-Imam Ahmad (no. 26212), Al-Imam An-Nasa‘i (no. 5577) dari
shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma dengan
lafadz yang lain dan ada tambahan. Juga dari shahabat Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat Ahmad (no. 5839) dan dari shahabat
Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Al-Imam Ahmad (no.
18747), dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam kitab
beliau Shahihul Jami’ (5/191).
2 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593.
3 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5977 dan Muslim no. 127
4 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no.126
5 HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 2947
6 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 4256, At-Tirmidzi no. 2435, dan Ibnu Majah no. 4021 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 915 dan 976) dan dalam Shahih Adabul Mufrad no. 23
7 HR. Al-Imam Muslim no. 3658
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5516 dan Muslim no. 6243
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5328
9 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 1313, At-Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3852 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab (no. 32) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Shahihah no. 598 dan dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 43.
10 HR. Al-Imam Muslim no. 3084
11 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 2496 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud (no. 2566) dan dalam kitab Shahih Al-Adabul Mufrad hal. (no???) 46.
12 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5978 dan Muslim no. 1671
13 HR. Al-Imam Muslim no. 4432 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab no. 24
2 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593.
3 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5977 dan Muslim no. 127
4 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no.126
5 HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 2947
6 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 4256, At-Tirmidzi no. 2435, dan Ibnu Majah no. 4021 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 915 dan 976) dan dalam Shahih Adabul Mufrad no. 23
7 HR. Al-Imam Muslim no. 3658
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5516 dan Muslim no. 6243
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5328
9 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 1313, At-Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3852 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab (no. 32) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Shahihah no. 598 dan dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 43.
10 HR. Al-Imam Muslim no. 3084
11 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 2496 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud (no. 2566) dan dalam kitab Shahih Al-Adabul Mufrad hal. (no???) 46.
12 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5978 dan Muslim no. 1671
13 HR. Al-Imam Muslim no. 4432 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab no. 24
0 komentar:
Posting Komentar