Berbaik Sangka Kepada Istri
Cemburu memang perlu, bahkan harus. Namun kita mesti memosisikan sikap itu secara proporsional. Jangan sampai, karena terbakar api cemburu,
terlebih hanya karena dipicu kecurigaan yang tidak beralasan, justru
menyulut persoalan yang jauh lebih besar. Makanya, membangun sikap
saling percaya mesti menjadi langkah awal saat memasuki kehidupan rumah
tangga.
Katanya,
cemburu tandanya cinta. Namun cemburu disertai buruk sangka bisa
berujung petaka. Karena terus menerus berburuk sangka atau bahasa
Arabnya su`u zhan terhadap pasangan hidup bakal gonjang-ganjinglah rumah
tangga. Namun tidaklah berarti bahwa seorang suami harus membuang rasa
cemburunya sama sekali, melepas kendali yang membatasi dan membuka
benteng yang menutupi, sehingga setiap orang bebas keluar masuk menemui
istrinya dan bebas bersamanya. Sungguh tidaklah pantas yang demikian
itu. Bahkan suami seperti itu dikatakan dayyuts, yang diancam oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut:
ثَلاَثَةٌ
لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ:
الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوْثُ
“Tiga
golongan manusia yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat
mereka pada hari kiamat, yaitu orang yang durhaka kepada kedua orang
tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki , dan dayyuts.” (HR. An-Nasa`I no. 2562, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 673, 674)
Dalam riwayat Al-Imam Ahmad rahimahullah (2/127) disebutkan dengan lafadz:
ثَلاَثَةٌ
قَدْ حَرَّمَ اللهُُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ
الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ، وَالدَّيُّوْثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ
الْخُبْثَ
“Tiga
golongan manusia yang Allah Tabaraka wa Ta’ala mengharamkan surga bagi
mereka, yaitu pecandu khamr, orang yang durhaka kepada kedua orang
tuanya, dan dayyuts yang membiarkan kefasikan dan kefajiran dalam
keluarganya .”
Pengertian dayyuts sendiri adalah seorang lelaki/suami yang tidak memiliki kecemburuan terhadap keluarga/istrinya. Demikian diterangkan Ibnul Atsir rahimahullah dalam An-Nihayah fi Gharibil Hadits (bab Ad-Dal ma’al Ya`).
Karena
tidak ada rasa cemburu tersebut, ia membiarkan perbuatan keji terjadi
di tengah keluarganya. Istrinya dibiarkan bebas keluar rumah tanpa
berhijab. Ia malah bangga bila kecantikan dan penampilan istrinya
ditonton banyak orang. Para lelaki pun dibiarkan dengan leluasa
berbicara dan bercengkerama dengan istrinya. Hingga akhirnya si istri
berselingkuh karena ia sendiri yang membukakan pintu… Kita mohon
perlindungan dan keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari
kekejian tersebut.
Dari
penjelasan di atas, tahulah kita bahwa cemburu atau ghirah kepada istri
justru perkara yang terpuji dan dituntut, di mana dengan perasaan ini
seorang suami menjaga istrinya agar tidak jatuh dalam perbuatan nista
dan dosa. Namun cemburu di sini janganlah disertai dengan su`u zhan,
sehingga seorang suami selalu tajassus, memata-matai sang istri, selalu
penuh curiga dan memandang dengan tatapan menuduh. Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah berfirman dalam Tanzil-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا
“Wahai
orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari
zhan/prasangka, karena sebagian zhan/prasangka itu adalah dosa, dan
janganlah kalian memata-matai…” (Al-Hujurat: 12)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya kaum mukminin dari
kebanyakan zhan, yaitu tuduhan dan anggapan berkhianat yang tidak pada
tempatnya kepada keluarga/istri, karib kerabat, dan manusia. Karena
sebagian dari prasangka tak lain merupakan dosa. Karena itu, jauhilah
kebanyakan dari prasangka demi kehati-hatian.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, hal. 1303)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَجَسَّسُوا…
“Hati-hati
kalian dari zhan/prasangka, karena zhan/prasangka itu adalah
sedusta-dusta ucapan. Dan janganlah kalian memata-matai sesama kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 6482)
Zhan
yang dilarang dalam ayat di atas dan dalam hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah su`u zhan (prasangka buruk) di mana hukumnya
haram. Karena itulah, hadits di atas oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
dalam syarah/penjelasannya terhadap Shahih Muslim diberi judul bab:
Tahrimuzh Zhan wat Tajassus wat Tanafus wat Tanajusy wa Nahwiha
(haramnya zhan, tajassus, tanafus, tanajusy dan semisalnya).
Al-Khaththabi rahimahullah berkata: “Zhan
yang dilarang adalah zhan yang direalisasikan dan dibenarkan, bukan
zhan yang sekedar terlintas dalam jiwa. Karena zhan seperti ini tidak
dapat dikuasai (datang tiba-tiba tanpa dikehendaki).”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan:
“Yang
dimaksudkan oleh Al-Khaththabi dengan zhan yang diharamkan adalah zhan
yang terus menerus ada pada seseorang, menetap dalam hatinya. Bukan zhan
yang sekedar melintas dalam hati dan tidak menetap di dalamnya karena
zhan seperti ini tidak bisa dikuasai, datang begitu saja, sebagaimana
telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni
kesalahan yang terjadi pada umat ini selama mereka tidak membicarakannya
atau bersengaja melakukannya.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 16/335)
Su`u
zhan yang bersarang dalam hati akan membawa seseorang untuk mengucapkan
sesuatu yang tidak pantas dan melakukan perbuatan yang tidak
semestinya. Adapun tajassus adalah mencari-cari aurat/aib dan cela
seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita untuk mencari-cari
kesalahan seorang muslim. Namun biarkanlah dia di atas keadaannya.
Tutuplah mata dari sebagian keadaannya yang kalau kita periksa dan kita
cari-cari niscaya akan tampak darinya perkara yang tidak pantas. (Taisir
Al Karimir Rahman, hal. 801)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Zhan
di sini adalah semata-mata tuduhan tanpa sebab. Seperti seseorang
menuduh orang lain berbuat fahisyah (perbuatan keji seperti zina)
sementara tidak tampak baginya bukti tuduhannya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan zhan agar setiap mukmin
memeriksa terlebih dahulu setiap zhannya, hingga ia mengetahui apa
alasannya berprasangka demikian.” (Fathul Qadir, 5/78)
Baik Sangka tanpa Melepas Penjagaan
Berbaik
sangka atau bahasa Arabnya husnuzhan merupakan perkara yang disenangi.
Baik sangka kepada karib kerabat, tetangga dan kaum mukminin secara
umum. Dan tentunya masuk dalam pembahasan kita di sini adalah baik
sangka kepada istri dan tidak mencari-cari kesalahannya. Dengan
demikian, cemburu bukan alasan untuk tidak berbaik sangka, selama tidak
ada sebab yang pasti untuk mengalihkan husnu zhan tersebut menjadi su`u
zhan. Sekali lagi, selama tidak ada alasan ataupun sebab yang pasti!
Namun baik sangka pun tidak berarti tidak memberikan batasan. Bahkan
yang diinginkan agar dilakukan oleh seorang suami adalah menjaga
istrinya dengan memberikan “rambu-rambu” kepadanya.
Dikisahkan:
أَنَّ
نَفَرًا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ دَخَلُوْا عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، فَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَهِيَ
تَحْتَهُ يَوْمَئِذٍ، فَرَآهُمْ فَكَرِهَ ذَلِكَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ
لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: لَمْ أَرَ
إِلاَّ خَيرًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ اللهَ قَدْ بَرَأَهَا مِنْ ذَلِكَ. ثُمَّ قاَمَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ: لاَ
يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيْبَةٍ إِلاَّ وَمَعَهُ
رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ
“Ada
sekelompok orang dari kalangan Bani Hasyim masuk ke tempat Asma` bintu
‘Umais radhiyallahu ‘anha. Lalu masuklah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu,
ketika itu Asma` telah menjadi istrinya . Abu Bakr pun tidak suka
melihat orang-orang tersebut masuk ke tempat istrinya. Diceritakanlah
hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendengar
pengaduan Abu Bakr tersebut, beliau bersabda: ‘Aku tidak melihat kecuali
kebaikan.’ Beliau juga bersabda: ‘Sesungguhnya Allah telah
menyucikan/melepaskan Asma` dari prasangka yang tidak benar.’ Kemudian
beliau naik ke atas mimbar seraya bersabda: ‘Setelah hariku ini, sama
sekali tidak boleh ada seorang pun lelaki yang masuk ke tempat mughibah
kecuali bila bersama lelaki itu ada satu atau dua orang yang lain.” (HR. Muslim no. 5641)
Tampak
dalam hadits di atas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan bimbingan untuk berbaik sangka kepada istri bila memang tidak
ada yang perlu diragukan dari dirinya. Namun beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga memberikan aturan agar seorang lelaki tidak masuk ke
tempat wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah. Aturan ini
dimaksudkan sebagai penjagaan agar tidak timbul zhan dan hal-hal lain
yang tidak diinginkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan peringatan kepada lelaki:
إِيَّاكُمْ
وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ. يَا
رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati
kalian masuk ke tempat wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar
bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar?” Beliau
menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim)
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita terkecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim)
Tujuan
diberikannya peringatan seperti ini antara lain untuk menjaga dan
menghindarkan dari perkara-perkara yang tidak sepantasnya. Dengan
mematuhi aturan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini berarti
kita tidak membiarkan satu celah pun bagi setan untuk melemparkan
was-was ke dalam hati. Karena keraguan dan was-was terhadap pasangan
hidup akan menghancurkan keluarga dan meruntuhkan rumah tangga. Sebelum
menutup pembahasan, kita kembali dahulu kepada firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
وَلاَ تَجَسَّسُوا…
“Dan janganlah kalian memata-matai…” (Al-Hujurat: 12)
Juga pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلاَ تَجَسَّسُوا…
“Dan janganlah kalian memata-matai sesama kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 6482)
Larangan
untuk melakukan tajassus dalam ayat dan hadits yang mulia di atas juga
ditujukan kepada pasangan suami istri. Istri tidak boleh melakukan
tajassus terhadap suaminya, dan sebaliknya suami pun tak sepantasnya
melakukan tajassus terhadap keluarganya guna menangkap basah kesalahan
yang dilakukan istrinya, mencari-cari celah untuk menyalahkan serta
menyudutkannya, atau sekedar membuktikan kecemburuan yang tidak
beralasan. Karena ketidakbolehan mencari-cari kesalahan ini,
sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan
kepada para suami yang sekian lama berada di rantau atau safar keluar
kota agar tidak mendadak pulang ke keluarga mereka tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu, apalagi datang tiba-tiba di waktu malam. Shahabat yang
mulia Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ طُرُوْقًا
“Dahulu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci bila seorang lelaki/suami
mendatangi keluarga/istrinya (dari safar yang dilakukannya) pada waktu
malam.” (HR. Al-Bukhari no. 5243)
Larangan ini dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمُ الْغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلاً
“Apabila
salah seorang kalian sekian lama pergi meninggalkan rumah (safar) maka
janganlah ia pulang (kembali) kepada keluarganya pada waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 5244)
Dua
hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam
Shahih-nya: bab La Yathruq Ahlahu Idza Athalal Ghaibah Makhafatan An
Yukhawwinahum Au Yaltamisu ‘Atsaratihim, artinya: Tidak boleh seseorang
mendatangi keluarga/istrinya, bila ia sekian lama meninggalkan rumah
(bepergian/safar) karena khawatir menganggap mereka tidak
jujur/berkhianat atau mencari-cari kesalahan/ketergeliciran mereka.
Larangan
tersebut dikaitkan dengan pulang dari bepergian yang lama, karena
seseorang yang meninggalkan keluarganya disebabkan suatu urusan di waktu
siang dan akan kembali pada waktu malam (pergi cuma sebentar/tidak
lama) tidak akan mendapatkan perkara yang mungkin didapatkan oleh
seseorang yang sekian lama bepergian meninggalkan keluarganya. Bila
orang yang pergi sekian lama ini datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu, dikhawatirkan ia akan mendapatkan perkara yang tidak
disukainya. Bisa jadi ia dapatkan istrinya tidak bersiap menyambut
kedatangannya, belum membersihkan diri dan berhias/berdandan sebagaimana
yang dituntut dari seorang istri. Sehingga hal ini akan menyebabkan
menjauhnya hati keduanya .
Bisa jadi pula ia dapatkan istrinya dalam
keadaan yang tidak disukainya. Sementara, syariat ini menganjurkan untuk
menutup kejelekan/cacat dan cela. Ketika ada seseorang menyelisihi
larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ia pulang ke
istrinya pada waktu malam tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ternyata
ia mendapatkan ada seorang lelaki di sisi istrinya. Orang ini diberi
hukuman seperti ini (berupa pengkhianatan istrinya) karena ia sengaja
menyelisihi perintah Rasul. Kisahnya disebutkan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
نَهَى
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطْرَقَ النِّسَاءُ
لَيْلاً، فَطَرَقَ رَجُلاَنِ كِلاَهُمَا وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para istri didatangi pada waktu
malam (setelah si suami pulang dari bepergian yang lama tanpa
pemberitahuan akan kepulangannya –pent.). Ternyata ada dua orang yang
melanggar larangan ini. Keduanya pulang pada waktu malam dari bepergian
lama (tanpa pemberitahuan), maka masing-masing dari keduanya mendapati
bersama istrinya ada seorang lelaki.”
Yang
perlu diperhatikan, larangan pulang kepada keluarga/istri di waktu
malam setelah bepergian lama ini tidak berlaku atas orang yang terlebih
dahulu menyampaikan kabar kedatangannya kepada keluarganya.
Dari
hadits ini kita bisa memetik faedah tentang tidak disenanginya
mempergauli istri dalam keadaan ia belum berbersih diri. Tujuannya agar
si suami tidak mendapati perkara yang membuat hatinya “lari” dari sang
istri. Dalam hadits ini juga ada anjuran untuk saling mengasihi dan
mencintai, khususnya di antara suami istri. Walaupun secara umum suami
istri sudah saling mengetahui kekurangan dan kelemahan masing-masing,
namun syariat tetap menekankan untuk menghindarkan perkara-perkara yang
bisa membuat hati keduanya saling berjauhan, yang pada akhirnya bisa
melunturkan cinta… Sungguh ini tidaklah diharapkan!
Dikutip dari Http://Asysyariah.com Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, Judul: Berbaik Sangka Kepada Istri
0 komentar:
Posting Komentar