Kejahatan Dibalas Kebaikan
Sobat, siapa makan cabe akan kepedasan, ngemut gula akan kemanisan,
mengulum garam akan keasinan, serta mengunyah asam akan kekecutan.
Siapa main api kepanasan, main air kebasahan, main minyak wangi
kewangian. Pun, dalam tindak tanduk berlaku pula logika serupa, persis
seperti ternukil dalam ajaran Islam: In ahsantum ahsantum lianfusikum wain asa’tum falaha, jika
engkau berbuat bajik akan berakibat baik padamu, dan bila engkau
berbuat buruk akan berakibat buruk pula padamu. Itulah hukum sebab
akibat dalam kehidupan, atau dalam istilah Islami nya disebut
Sunnatullah bin hukum karma. Bukankah demikian sobat ? Saya rasa sampean sepakat denganku.
Melalui logika sebab akibat itulah, sobat, manusia diberi akal disamping kemauan (nafsu bin syahwat) nya untuk terlebih dahulu
berpikir sebelum melangkah, berpikir sebelum bertindak, lengkap dengan
kalkulasi untung rugi alias manfaat dan mudlorotnya. Semua tingkah laku
kita akan ada akibatnya, akan ada pertanggungjawabannya. Di dunia kita
akan mendapat implikasi atas tingkah laku kita, di akherat apalagi,
kita akan pula mendapat akibat dari semua tindakan atau bahkan krentek
dalam hati kita. Faman ya’mal mitsqoola dzarrotin khoiroyyaroh, waman ya’mal mitsqoola dzarrotin syarron yaroh:
barangsiapa berbuat kebajikan sekecil apapun akan mendapat balasan, dan
barangsiapa berbuat keburukan sekecil apapun akan mendapat balasan
pula. Sobat, ingatlah bahwa Tuhan akan memintai pertanggungjawaban kita
sampai sedetil-detilnya, termasuk pertanggungjawaban dari hati kita.
Innassam’a wal bashoro wal fuaada kullu ulaaika kaana ‘anhu masuulaa: sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukannya.
Logika sebab akibat tadi, prinsip tanggung jawab atas apa yang telah
dilakukan tadi, hakekatnya mengajarkan manusia untuk senantiasa
menggunakan akal pikiran dan atau pertimbangan nya untuk melakukan
segala sesuatu, bukan grusa-grusu bin hantam kromo
asal-asalan. Berpikir strategis, dengan landasan forcasting yang jitu,
itulah istilah kerennya. Sebab, apapun yang kita putuskan, apapun yang
kita lakukan, akan membawa implikasi.
Sobat, akibat pada umumnya satu lini dengan penyebabnya.
Pintar karena belajar, bodoh karena malas, kaya karena hemat. Begitu
pula Penyesalan sebagai akibat ketergesaan, dan kesalamatan sebagai
akibat kehati-hatian. Fitta annissalaamatu wa fil ‘ajalatin nadaamatu.
Bahkan, dalam konteks hukum Islam pun berlaku logika ini, yakni hukum
Qishos. Anda memukul hidung, hukumannya harus ganti dipukul hidung,
dan bila anda membunuh hukumannya harus ganti dibunuh.
Islam sama sekali tak mengajarkan, dipukul pipi kiri diberikan pipi
kanan. Hal itu jelas sangat bertentangan dengan kodrat manusia, bahkan
kondrat alam semesta pada umumnya. Namun demikian, Islam
mengajarkan agar kejahatan perlu disikapi dengan kesabaran, dengan
kebaikan: idfa’ billatii hiya ahsan (Q.S. Fusshilat: 34). Sebab: innal hasanaati yudzhibnas syayyiaati: bahwa kebaikan akan menghapuskan keburukan(Q.S. Al Huud: 114). Hal ini persis dengan sabda nabi, wa atbi’is sayyiatal hasanata tamhuha: Ikutilah keburukan dengan kebaikan, maka kebaikan itu akan menghapusnya.
Kebaikan dan kebenaran memang dapat meluluhkan keburukan. Jaa alhaqqu wazahaqolbaathil, innalbaathila kaana zahuuqoo: jika kebenaran datang kesesatan akan musnah, sebab kesesatan memang pasti akan musnah. Suro diro joyodiningrat, lebur dening pangastuti,
itulah istilah jawa nya. Namun jika kejahatan serupa berulangkali
dilakukan maka “wajib” bagi kita untuk melakukan pembalasan agar tidak
senantiasa diremehkan. Pantang bagi Muslim untuk tersengat oleh lebah
yang sama untuk kedua kalinya.
Untuk langkah model ini saja yakni membalas keburukan dengan
kebaikan susah dilakukan, kecuali hanya mampu dilakukan oleh orang-orang
pilihan, semisal Abu Dzar Al Ghifari. Memangnya dia itu siapa, dan
keunikan apa yang telah dilakukannya ?
Abu Dzar adalah seorang dari sekian orang sahabat nabi yang berislam
secara sendirian (bahkan meskipun belum pernah melihat apatah ketemu
nabi pujaan), dan ketika meninggalpun juga berada dalam kesendirian.
Itulah keunikan hidupnya. Tapi, masih ada lagi keunikan lain terkait
dengan akhlaqnya yang sangat terpuji. Setiap kesalahan yang dilakukan
orang lain terhadapnya, dia pasti memaafkannya bahkan membalasnya
dengan kebaikan terhadap pelakunya. Subhanallah. Sikap itu ia kembangkan
sebagai perwujudan pengamalan dari perintah Allah Ta’ala melalui
firmannya, “Innaal hasanaati yudzhibnassayyiiaati, bahwa sesungguhnya kebaikan itu menghapuskan kejahatan”.
Sikap khas Abu Dzar ini dipahami betul oleh abdi (budak) nya, yang
kala itu di hatinya terbersit keinginan untuk menjadi orang merdeka.
Untuk merealisir ambisinya, sang abdi merancang sebuah rekayasa yakni
dengan membuat Abu Dzar marah, yang sudah pasti pembalasan yang akan
dilakukan (Abu Dzar) adalah kebaikan.
Suatu hari, setelah rencana dimatangkan, sang budak merealisir
siasatnya, yakni sengaja melepas kambing-kambing dari kandangnya,
bahkan membiarkan para kambing itu memakan cadangan makanan kuda.
Walhasil, rumput jatah makanan kuda dihabiskan alias ludes oleh
kambing-kambing yang sengaja dilepaskan.
Ketika Abu Dzar pulang dari bepergian dan hendak memberi makanan kuda
kesayangan, didapati rumput telah kosong melompong dari tempatnya.
Kontan Abu Dzar memanggil abdinya, dan bertanya padanya tentang rumput
yang tidak lagi tersisa.
Sang abdi menjawab terus terang pertanyaan si majikan, “Tuan. Saya
memang sengaja melepaskan kambing-kambing anda, sekaligus membiarkan
mereka menghabiskan makanan kuda”.
“Kenapa kau melakukan hal itu?, tanya Abu Dzar pada Abdinya.
Sang abdi menjawab, “Saya ingin sekali membuat anda marah kepadaku“.
Menanggapi abdinya yang nyarang kolo alias cari-cari
masalah, Abu Dzar memohon ampun kepada Allah atas sedikit kemarahan yang
sempat terbersit di hati. Lalu dia berkata, “Aku akan kumpulkan kemarahanku dengan pahala. Sejak saat ini kamu merdeka karena Allah“.
Sobat, subhanallah. Itulah keutamaan sikap Abu Dzar yang patut
diteladani, menyikapi kejahatan dengan kebaikan. Padahal imbalan bagi
sebuah kebaikan adalah kebaikan pula : hal Jazaaul ihsaani illal ihsaan (Q.S. Ar Rohman: 60), bahkan sepuluh kali kebaikan : man jaa a bilhasanati falahu ‘asyru amtsaalihaa. Mungkinkah kita mampu mengikutinya ? Jawabnya, memang sangat sulit bin susah, meskipun bukan mustahil.
Namun, meski tak mampu setidaknya kita bisa mencoba sikap pada level
yang lebih rendah darinya (membalas kejahatan dengan kebaikan) dengan
cara menyikapi kejahatan dengan pemaafan dan kesabaran. Tapi, jika tak
mampu lagi, maka cukup menyikapi kejahatan dengan balasan yang setimpal
(qishas) yang dilakukan secara tidak berlebihan, sebab Allah tidak
menyukai orang yang melampaui batas. Sobat, bagaimana pendapat sampean ?***
0 komentar:
Posting Komentar