Korupsi dalam Perspektif Islam
Ulah para koruptor semakin menjadi-jadi. Rasa malu mereka seolah
telah terbungkus rapi oleh ambisi dan kecintaannya kepada dunia. Alhasil
hukuman yang diberikan seolah tak lagi memiliki makna. Sebagian orang
mulai putus asa dan apatis terhadap pemberantasan koruspsi. Padahal, ada
solusi ilahi yang belum pernah dicoba, yaitu syariat Islam.
Dalam Islam, permasalahan korupsi termasuk bagian yang dibahas
panjang lebar. Dalam istilah fikih, korupsi diistilahkan dengan
al-ghulul. Imam Nawawi berkata, al-ghulul asalnya bermakna pengkhianatan
terhadap harta umat. Namun, istilah ghulul lebih melekat pada
pengkhianatan harta rampasan perang. Tidak salah, sebab harta rampasan
adalah harta umat.
Namun tidak berarti ghulul hanya terbatas pada penggelapan harta
rampasan. Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, dosen di
Universitas Islam Madinah menyebutkan dalam makalahnya Attahdzir Minal
Ghulul, di antara bentuk ghulul yaitu seorang pegawai publik mengambil
hadiah (gratifikasi) disebabkan posisi dan pekerjaannya. Dalam sebuah
Hadits, “Nabi pernah mengangkat seorang pekerja (pegawai), ketika
pekerja ini telah menuntaskan pekerjaannya ia menemui Rasulullah lalu
berkata kepada beliau ‘ini bagian engkau (Rasulullah) sedangkan ini
dihadiahkan untukku.’ Nabi berkata, Mengapa engkau tidak berdiam diri di
rumah ibumu atau bapakmu lalu kamu memperhatikan apakah kamu dapat
hadiah atau tidak.” Kemudian pada kesempatan lain Rasulullah berdiri
setelah shalat dan bersabda terkait sikap orang tadi, “Demi jiwaku yang
ada ditangan-Nya, sesungguhnya tidaklah seorang melakuakn ghulul kecuali
ia akan memikul di atas lehernya harta yang telah dikorupsi (di
akhirat).”(Riwayat Bukhari).
Nabi juga bersabda, “Siapa di antara kalian yang diamanahi sebagai
pejabat publik kemudian ia menyembunyikan jarum atau yang lebih dari itu
untuk dimiliki maka ini adalah ghulul yang di hari Kiamat ia akan
datang bersama barang yang digelapkannya.” (Riwayat Muslim)
Untuk kasus korupsi ghanimah para ulama menyebutkan beberapa bentuk
hukuman. Ada yang membakar harta yang digelapkannya kecuali kendaraan
dan mushaf. Ada juga yang diarak dan ada pula yang dipukul. Abu Daud
meriwayatkan bahwa Abu Bakar dan Umar membakar harta rampasan. Ibnu
Qayyim dalam Majallahtul Buhuts Islamiya, yang diterbitkan oleh Idaratul
Buhuts al-Ilmiah wal Ifta menyatakan, “Dan yang benar bahwa ini adalah
bagian dari ta’zir dan kadar hukuman berdasarkan ijtihad para ulama.”
Yang pasti pertimbangan utama dalam memberikan ta’zir (sanksi hukum)
tidak didasari oleh dendam dan amarah. Ta’zir diberikan untuk memberikan
efek jera kepada pelaku dan menjadi pelajaran kepada yang lain agar
tidak berbuat yang seperti itu.
Dr Raghib Assirjani, cendekiawan asal Mesir dalam makalahnya
Diwanunndzar Fil Mazhalim menuliskan, untuk mengantisispasi
kesemena-menaan penguasa atau orang-orang terpandang, Khalilfah Bani
Umayyah membentuk mahkamah khusus. Namanya mahkamah mazhalim. Mahkamah
ini khusus menangani kasus-kasus yang melibatkan orang-orang penting.
Mahkamah mazhalim tugasnya sangat banyak di antaranya, menangani
tindakan zalim yang dilakukan oleh pejabat, kecurangan yang mereka
lakukan dengan mengambil harta yang bukan haknya, dan lainnya.
Hukum Mati
Apakah boleh seorang koruptor dihukum mati? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat apakah hukum ta’zir bisa sampai tingkat membunuh. Sebagian ada yang membolehkan dibunuh dengan catatan kejahatan yang dilakukannya sangat berat dan dampaknya sangat berbahaya bagi publik.
Dr Muhammad Bakar Ismail, seorang pengajar di Universitas al-Azhar
Mesir berkata, “…Adapun jika dia telah mengkorup harta yang banyak yang
berdampak terabaikannya hak-hak publik dan hal itu dilakukan secara
berulang-ulang maka orang seperti ini sudah masuk dalam kategori mufsid
fil ardh (melakukan kerusakan di muka bumi) dan hukumannya salah satu di
antara hukuman yang disebutkan di dalam al-Qur`an surat al-Maidah ayat
33 yaitu,
“Hukuman bagi orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan dibumi hanyalah dibunuh atau disalib atau dipotong
tangan dan kaki secara menyilang atau diasingkan dari tempat
kediamannya…”
0 komentar:
Posting Komentar