Memaafkan Itu Mudah dan Indah
Saat seseorang diusik dan dicemarkan nama baiknya, apakah yang
terlintas dalam hati dan pikirannya? Mungkin ia akan tersinggung dan
marah, bahkan bisa menggugat lewat hukum demi membersihkan nama baiknya.
Bagaimana jika fitnah ini menimpa seorang mukmin? Apa sikap yang harus ia ambil?
Agama kita yang mulia telah mengajarkan agar seorang mukmin mau memaafkan dan menahan kemarahannya dengan bersabar.
Agama kita yang mulia telah mengajarkan agar seorang mukmin mau memaafkan dan menahan kemarahannya dengan bersabar.
Berikut beberapa teladan dan tips untuk menjadi seorang yang berjiwa pemaaf.
Lingkup Masyarakat Beradab
Dalam lingkup peradaban, seharusnya al-Qur`an dan Sunnah menjadi
prinsip utama menentukan sebuah kebaikan dan kebenaran. Sebab, wahyu
Ilahi sudah teruji mampu mewujudkan peradaban manusia yang mulia,
termasuk akhlak menghadapi orang-orang yang berlaku zalim.
Sifat ini sangat luhur. Islam memuji orang yang menghiasi dirinya
dengan sifat pemaaf. Ia akan dimasukkan ke dalam golongan manusia
terbaik yang akan menggapai kecintaan dan keridhaan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Islam memang membolehkan orang yang terzalimi untuk membalas dengan balasan setimpal. Allah Ta’ala menjelaskan dalam al-Qur`an Surat As-Syura [42] ayat 39 sampai 43 bahwa balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.
Islam memang membolehkan orang yang terzalimi untuk membalas dengan balasan setimpal. Allah Ta’ala menjelaskan dalam al-Qur`an Surat As-Syura [42] ayat 39 sampai 43 bahwa balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.
Namun, agama yang agung ini senantiasa menganjurkan setiap orang
untuk memberi maaf. Sebab, Allah Ta’ala menyebut yang demikian itu
merupakan hal-hal yang di utamakan.
Sesungguhnya tindakan kejahatan apabila dibalas dengan kejahatan
maka akan melahirkan sifat dengki dan dendam. Tetapi, jika kejahatan
dibalas dengan kebaikan, maka akan memadamkan api kemurkaan,
menentramkan jiwa, serta membersihkan noda-noda dendam.
Itu pula sifat yang selalu dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (SAW). Salah satunya ketika beliau diracuni oleh
seorang perempuan Yahudi .
Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, suatu ketika
Rasulullah SAW mendapat hadiah masakan daging kambing. Maka beliau
memakannya, begitu pula para Sahabat.
Namun, beberapa saat kemudian, beliau bersabda, “Berhentilah kalian makan, karena sesungguhnya daging ini beracun.“
Kemudian didatangkanlah perempuan tersebut kepada Rasulullah SAW.
Beliau bertanya, “Apa yang mendorong kamu berbuat seperti ini?”
Perempuan itu menjawab, “Saya hanya ingin mengetahui, kalau engkau
benar-benar Nabi. (Jika engkau Nabi) maka Allah akan memberitahu apa
yang ada di dalam daging itu dan sekali-kali tidak akan mencelakakanmu.”
Para Sahabat berkata, “Apakah kita akan membunuhnya?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak.” Beliau bahkan memaafkan perempuan itu.
Lingkup Pribadi dan Kelurga
Menjadi pribadi dan keluarga pemaaf adalah buah dari keimanan dan
ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Berikut sebuah kisah lainnya yang bisa
menjadi contoh.
Disebutkan bahwa telah sampai berita kepada Imam Ahmad Rahimahulllah
tentang seorang tetangganya yang mencacinya. Namun, berita itu sama
sekali tidak membuatnya marah atau membalas.
Kemudian ia memanggil anaknya, lalu menyuruh menyiapkan sepiring
buah-buahan. Makanan itu diantarkan kepada tetangganya yang telah
mencacinya. Inilah sifat mulia yang menjadikan sebuah keluarga semakin
mulia di hadapan mausia dan di hadapan Sang Khaliq.
Kebanyakan kita belum bisa bersikap seperti contoh di atas. Padahal,
sebagai seorang mukmin, kita harus memiliki sifat tersebut.
Sifat pemaaf mencerminkan pemahaman hakikat akhlak yang baik. Itulah
sifat yang didasari keimanan dan kasih sayang, serta kualitas tawadlu
yang sejati.
Seorang yang angkuh dan suka membanggakan diri akan sulit bersikap
mulia seperti itu. Sebaliknya, seorang mukmin menjadi mudah bersikap
seperti itu karena menyadari kenikmatan mendapat pahala dari Allah
Ta’ala jauh lebih besar dari pada sekadar memperturutkan kepuasan
membalas keburukan dengan keburukan serupa.
Apalagi memberi maaf sama sekali tidak akan mengurangi kedudukan dan tidak pula menjadikan seseorang hina. Bahkan, menjadikannya mulia.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah Allah Ta’ala menambah kepada
seorang hamba karena (pemberian) maafnya kecuali kemuliaan, dan tidaklah
pula seseorang bersikap tawadlu kecuali Allah Ta’ala akan
meninggikannya,”(Riwayat Muslim).
Cara Mudah Memaafkan
Ada beberapa cara gampang untuk meminta dan memberi maaf. Berikut ini di antaranya:
1. Meyakini bahwa maaf sebagai rahmat Allah Ta’ala.
Meminta maaf seringkali tidak mudah. Sebab, diperlukan kesadaran
untuk menyesali kesalahan diri sendiri. Begitu pula memberi maaf, tidak
gampang. Dibutuhkan kelapangan hati seseorang.
Namun, kesadaran dan kelapangan hati tetap harus diletakkan di atas landasan ilahiyah. Sebab, semuanya tergantung rahmat Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur`an Surat Ali Imran [3] ayat 159.
Namun, kesadaran dan kelapangan hati tetap harus diletakkan di atas landasan ilahiyah. Sebab, semuanya tergantung rahmat Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur`an Surat Ali Imran [3] ayat 159.
2. Menyadari semua manusia perlu saling memaafkan.
Setiap orang pernah bersalah dan membuat orang lain tersakiti, baik
sengaja atau tidak. Dan, semua harus bermuara pada kata ‘maaf’
sebagaimana dianjurkan oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur`an Surat An-Nuur
[24] ayat 22.
3. Meyakini bahwa memaafkan merupakan cara terbaik mendapatkan ampunan Allah.
Dalam al-Qur`an surat Ali Imran [3] ayat 133, Allah Ta’ala mengajak
kaum Muslim agar bersegera memohon ampun demi memperoleh surga yang
luasnya seluas langit dan bumi. Memohon ampun ini adalah sifat
orang-orang yang bertakwa, yang senantiasa memaafkan kesalahan orang
lain.
Hal serupa juga dijelaskan Allah Ta’ala dalam Surat An-Nisaa [4] ayat 149.
Hal serupa juga dijelaskan Allah Ta’ala dalam Surat An-Nisaa [4] ayat 149.
4. Menyadari betapa rugi jika kita tidak dimaafkan Allah
Jika kita menyadari sungguh rugi apabila Allah Ta’ala tak memberi
ampunan, maka kita pun akan mudah memaafkan orang lain. Hal ini
terlukis dengan jelas dalam doa yang dilantunkan Nabi Adam AS serta
isterinya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,”Ya Tuhan kami, kami
telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni
kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi,” (Al-A’raaf [7]: 23).
5. Berusaha sekuat tenaga menahan marah demi memudahkan lahirnya sifat pemaaf.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menyukai orang-orang yang berusaha menahan
amarahnya dengan cara memaafkan orang yang menzaliminya. Hal ini
tergambar dengan jelas dalam al-Qur`an Surat Ali-Imran [3] ayat 134.
Penghalang Sifat Pemaaf
Demi menyempurnakan upaya menjadi orang yang berjiwa pemaaf, kita
perlu mengetahui beberapa hal yang bisa menghalangi lahirnya sifat mulia
ini, yakni
1. Sikap lalai akan pertemuan dengan Allah Ta’ala dan tuntutan
pertanggungjawaban di hadapan-Nya. Hal ini disebutkan oleh Allah Ta’ala
dalam al-Qur`an Surat Al-Jaatsiyah [45] ayat 26.
2. Banyaknya permasalahan dari keluarga tidak mampu diselesaikan
dengan baik. Allah Ta’ala telah mengingatkan orang-orang beriman,
sebagaimana disebut dalam al-Qur`an Surat At-Taghaabun [64] ayat 14,
bahwa di antara isteri-isteri dan anak-anak mereka ada yang menjadi
musuh.
Maka, berhati-hatilah terhadap mereka. Jika kita mau memaafkan, tidak
memarahi, serta mengampuni mereka, niscaya Allah Ta’ala akan memberi
ampunan kepada kita.
3. Masih sulit meninggalkan kesombongan. Padahal, Allah Ta’ala dalam
al-Qur`an Surat Luqman [31] ayat 18 telah mengingatkan manusia agar
janganlah memalingkan muka karena sombong dan janganlah berjalan di muka
bumi dengan angkuh. Sebab, hal itu tidak disukai-Nya.
Wallahu a’lam
bish-Shawab.
0 komentar:
Posting Komentar