Busana Muslimah; antara Mode dan Etika
Agama
tidak pernah melarang manusia untuk mengikuti mode. Karena mode dan
seni adalah salah satu pengejawantaan dari budaya. Sedang budaya adalah
bagian primer dari kehidupan manusia, dimana tanpa budaya manusia tidak
akan dapat menuju kesempurnaan yang diidamkan oleh hati sanubari setiap
manusia berakal sehat. Akan tetapi, Islam adalah agama yang hendak
membebaskan manusia dari berbagai bentuk perbudakan dan keterkekangan
dari segala macam belenggu, termasuk diperbudak dan dikekang oleh mode.
Mode tidak lebih hanya sekedar sarana untuk mencapai kesempurnaan, bukan
tujuan utama.
————————————————————–
Prolog
Sejarah
busana lahir seiring dengan dengan sejarah peradaban manusia itu
sendiri. Oleh karenanya, busana sudah ada sejak manusia diciptakan.
Kesimpulan ini dapat diambil dari firman Allah swt yang berbunyi :
“Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan
sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapamu dari surga, ia menanggalkan
dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya
auratnya…”.[3]
Busana
memiliki fungsi yang begitu banyak, dari menutup anggota tertentu dari
tubuh hingga penghias tubuh. Sebagaimana yang telah diterangkan pula
oleh Allah dalam al-Qur’an, yang mengisyaratkan akan fungsi busana;
“Wahai anak Adam (manusia), sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutupi (aurat) tubuhmu dan untuk perhiasan…”.[4] Dari
tata cara, bentuk dan mode berbusana, manusia dapat dinilai
kepribadiannya. Dengan kata lain, cara berbusana merupakan cermin
kepribadian seseorang.
Konsekwensi
sebagai manusia agamis adalah berusaha semaksimal mungkin untuk
melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan
agamanya. Salah satu bentuk
perintah agama Islam adalah perintah untuk mengenakan busana yang
menutup seluruh aurat yang tidak layak untuk dinampakkan pada orang lain
yang bukan muhrim.[5] Dari situlah akhirnya muncul apa yang disebut
dengan istilah “Busana Muslimah”.
Busana
muslimah adalah busana yang sesuai dengan ajaran Islam, dan pengguna
gaun tersebut mencerminkan seorang muslimah yang taat atas ajaran
agamanya dalam tata cara berbusana. Busana muslimah bukan hanya sekedar
symbol, melainkan dengan mengenakannya, berarti seorang perempuan telah
memproklamirkan kepada makhluk Allah akan keyakinan, pandangannya
terhadap dunia, dan jalan hidup yang ia tempuh, dimana semua itu
didasarkan pada keyakinan mendalam terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
Kuasa.
Budaya dan Esensi Manusia
Berbicara
tentang mode, berarti berbicara tentang seni. Berbicara tentang seni
berarti berbicara tentang budaya. Sedang pokok bahasan budaya berarti
tidak lepas dari pembicaraan tentang manusia, sebagai pelaku sekaligus
obyek budaya. Atas dasar itulah, dapat diambil konklusi bahwa, berbicara
tentang mode tidak akan lepas dari pembicaraan tentang esensi manusia
sebagai pondasi dasarnya, dan kesempurnaan manusia sebagai tujuan akhir
segala bentuk ketaatan. Semua ini memiliki hubungan vertikal yang sangat
erat kaitannya antara satu dengan lainnya.
Melihat dari fenomena keragaman
budaya yang ada di dunia ini, yang terkadang antara satu budaya dengan
yang lain saling bertentangan, maka perlu ada parameter khusus yang
menjadi tolok ukur persesuain budaya-budaya yang ada dengan esensi dasar
manusia. Sehingga dari situ akan jelas, manakah budaya yang masih
sesuai dengan esensi dasar manusia, dan manakah yang telah menyimpang
darinya? Manusia
memiliki dua dimensi; dimensi lahiriah (bersifat materi), dan dimensi
batiniah (non-materi) yang biasa disebut dengan jiwa/ruh. Menurut
pandangan dunia agamis, kesempurnaan sejati manusia bukan terletak pada
kesempurnaan sisi materi, akan tetapi, kesempurnaan sisi non-materilah
yang menjadi tolok ukur kesempurnaan manusia. Oleh karena itu, dapat
diambil kesimpulan bahwa, esensi dasar manusia pun terletak pada sisi
non-materi dan jiwanya. Maka, kesempurnaan manusia terletak pada
kesempurnaan jiwa dan ruhnya, bukan terletak pada kesempurnaan sisi
materinya. Namun, hal ini bukan berarti sisi materi manusia harus
diterlantarkan. Karena bagaimanapun juga, sisi materi dan lahiriah
manusia pun memiliki peran penting dalam memberikan lahan pada
kesempurnaan jiwanya. Tanpa
dimensi materi, kesempurnaan sejati manusia –yang terletak pada sisi
non-materi- tidak akan terwujud. Terbukti, semua ajaran agama tidak akan
terlaksana tanpa bantuan sisi zahir dan materi manusia. Sisi non-materi
yang menjadi esensi terpenting dari manusia adalah; akal dan fitrah.
Dengan dua hal itulah akhirnya manusia dinobatkan sebagai makhluk yang
paling utama dari sekian banyak makhluk-makhluk Tuhan.
Akal yang lebih banyak berfungsi
untuk membedakan baik dan buruk, dan fitrah yang selalu menyeru kepada
kebenaran, kebaikan, keindahan dan kesempurnaan, adalah modal utama
kesempurnaan manusia. Jika dua hal itu diterlantarkan, niscaya manusia
tidak layak disebut sebagai manusia seutuhnya. Agama
tidak pernah melarang manusia untuk mengikuti mode. Karena mode dan
seni adalah salah satu pengejawantaan dari budaya. Sedang budaya adalah
bagian primer dari kehidupan manusia, dimana tanpa budaya manusia tidak
akan dapat menuju kesempurnaan yang diidamkan oleh hati sanubari setiap
manusia berakal sehat. Akan tetapi, Islam adalah agama yang hendak
membebaskan manusia dari berbagai bentuk perbudakan dan keterkekangan
dari segala macam belenggu, termasuk diperbudak dan dikekang oleh mode.
Mode tidak lebih hanya sekedar sarana untuk mencapai kesempurnaan, bukan tujuan utama. Lantas
mode, seni dan budaya yang bagaimanakah yang mampu menghantarkan
manusia kepada kesempurnaan manusia? Hanya budaya yang bersumber dari
akal sehat dan fitrah suci manusia saja yang mampu menghantarkan manusia
kepada kesempurnaan sejatinya, bukan dari nafsu hewani yang hanya
menjurus pada bidang material saja. Dari situ, dapat diambil benang
merah bahwa, segala jenis mode yang bersumber dari akal dan fitrahlah
yang mampu menghantarkan manusia untuk dapat menuju kesempurnaannya
sebagai manusia.
Dengan kata lain, manusia akan
menjadi ‘manusia’ dengan budaya akal dan fitrah. Sebaliknya, manusia
akan menjadi ‘hewan’ jika hanya menitikberatkan pada budaya hewani yang
lebih menonjolkan keindahan zahir dan sisi glamournya saja.[6] Sebagaimana
yang telah diketahui dalam pokok-pokok bahasan teologi bahwa, gabungan
antara ajaran akal dan fitrah ini hanya terwujud pada ajaran agama. Dan
karena agama di sisi Allah hanyalah Islam,[7] maka mode, seni dan budaya
yang islami-lah yang mampu menghantarkan manusia kepada
kesempurnaannya. Dari
penjelasan di atas, akhirnya muncul apa yang disebut dengan mode
islami, seni islami dan budaya Islam yang “Busana Muslimah” adalah salah
satu bagian dari wujud luaran (ekstensi) konsep tersebut.
Walaupun dalam perwujudan busana
muslimah akan berbeda dan dapat disesuaikan dengan kultur wilayah
masing-masing, namun terdapat kriteria universal dan batasan umum sebuah
busana masuk kategori busana muslimah, antara lain; bukan busana yang
membuat ‘menarik perhatian’ atau ‘aneh’ baik dari sisi warna maupun
bentuk (syuhrat), tidak transparan, dan lain sebagainya. Semua ini
kembali kepada hikmah yang tersirat dalam hijab islami, bahwa hijab
berfungsi sebagai penjagaan, bukan bentuk pemenjaraan dan pengekangan.
Dengan hijab islami, wanita dikenal dari sisi insaniahnya, bukan sisi
gendernya. Dengan hijab islami, wanita dipandang dengan pandangan Ilahi
bukan pandangan syahwani.
Etika dan Agama
Sebagaimana
klaim konsep Islam sebagai agama paripurna, maka konsekuensinya adalah
agama tersebut harus mencakup segala aspek kehidupan manusia. Oleh
karenanya, tiada satu fenomena pun di alam ini kecuali terdapat hukumnya
dalam agama tersebut, termasuk masalah etika dan budaya. Di sisi lain,
dilihat dari segi istilah, kata etika mencakup tata krama (adab) yang
disesuaikan dengan kearifan lokal dan adat istiadat setempat. Etika juga
mencakup akhlak yang banyak dipengaruhi oleh norma-norma agamis yang
bersifat global. Etika dengan pengertian pertama di atas tadi, selama
tidak bertentangan dengan ajaran dan norma agama, maka selayaknya
dijunjung tinggi dan dilestarikan. Jadi, sebagai orang agamis, hanya
norma dan ajaran agamalah yang menjadi filter atas tata krama dan adat
istiadat lokal. Hal itu dikarenakan, keyakinan kita akan kebenaran agama
dan konsekwensi kita sebagai pemeluk agama Ilahi. Sedang berkaitan
dengan etika yang berarti akhlak, dimana Islam sendiri sangat menjunjung
tinggi akhlak ini -sehingga disebut sebagai penyebab diutusnya Rasul
Islam sebagai penyempurna akhlak mulia- maka dapat dipastikan ia sangat
sesuai dengan ajaran akal dan seruan fitrah. Etika
dalam pengertian ini bersifat universal, global dan tidak dipengaruhi
oleh batasan-batasan geografis, budaya lokal dan adat istiadat setempat. Dari
sini jelaslah bahwa antara etika –dengan dua pengertian di atas- tidak
mungkin terpisah dengan ajaran agama, harus tetap “dalam bingkai ajaran
agama” dengan arti yang luas.[8] Usaha apapun untuk memisahkan antara
etika dan agama dengan mendahulukan salah satu dari yang lainnya, sama
halnya dengan pencampakkan agama itu sendiri. Dari sini akhirnya, antara
berbusana muslimah dengan menjaga etika Islam pun harus ada
keselarasan.
Penutup
Dari
tulisan ringkas ini dapat diambil kesimpulan bahwa, mode, seni, budaya
dan etika yang masih masuk dalam bingkai ajaran agamalah yang sanggup
menghantarkan manusia pada kesempurnaan hakiki sebagai manusia, termasuk
dalam masalah mode busana yang berfungsi menjaga etika kepada Allah dan
lingkungan sekitar, terkhusus sesama komunitas manusia. Dari sini pula
akhirnya muncul apa yang disebut dengan “Mode Busana Muslimah” yang
masih masuk dalam koridor ajaran agama Islam. Dan dikarenakan ajaran
agama Islam bersumber dari Dzat Yang Maha Suci dan Sakral,[9] maka mode
busana yang bersandar pada ajaran sakral itu pun bersifat sakral pula.
Jadi, segala bentuk pelecehan terhadap busana muslimah –dengan berbagai
modenya yang masih masuk kategori busana muslimah- sama halnya dengan
melecehkan ajaran agama Allah. Selain itu, menyebarkan budaya busana
muslimah, sama halnya dengan menyebarkan salah satu ajaran Allah. [islamalternatif.com]
---------------------------------------------
Ket:
Makalah ini disampaikan dalam
acara diskusi tentang “Busana Muslimah; antara Mode dan Etika” di aula
Hotel Shafa – Qom, yang diselenggarakan pada tanggal 27-Juli-2006 oleh
Lembaga Otonomi Fatimiyah (LOF) – [HPI] Himpunan Pelajar Indonesia
Republik Islam
Iran. Pembanding Mbak Ratih Sanggarwati (Model, Perancang Busana Muslimah dan Penyiar TV)
Iran. Pembanding Mbak Ratih Sanggarwati (Model, Perancang Busana Muslimah dan Penyiar TV)
[3] QS al-A’raf: 27
[4] QS al-A’raf: 26
[5] QS an-Nur: 31 dan al-Ahzab: 59
[6] QS Muhammad: 12
[7] QS Aali-Imran: 19 dan 85
[8]
Ungkapan “selama dalam bingkai ajaran agama” di atas tadi tidak boleh
dipahami secara sempit dan tekstual, sebagaimana yang dilakukan sebagian
kelompok muslim. Karena hal itu selain akan menyebabkan keluar dari
maksud dan tujuan Penurun syariat, juga terjadinya penyimpangan dari
hikmah penurunan syariat. Semua mode, seni dan budaya selama tidak ada
pelarangan oleh agama maka dihukumi boleh (mubah), karena hal itu masuk
kategori taqrir (persetujuan).
[9] QS al-Baqarah: 138
Penulis: Mahasiswi Pasca Sarjana Jurusan Tafsir al-Quran, Sekolah Tinggi Bintul-Huda – Qom –
Iran.
Iran.
0 komentar:
Posting Komentar