Rabu, 12 September 2012

Kewajiban Memberi Nafkah

Memahami Kewajiban Memberi Nafkah dalam Islam (FIQIH NAFKAH)

Definisi Nafkah 
Secara bahasa النفقة   (nafkah) artinya sesuatu yang dibelanjakan sehingga habis tidak tersisa. Sedangkan secara istilah syari’at artinya; mencukupi kebutuhan siapapun yang ditanggungnya, baik berupa makanan, minuman pakaian, atau tempat tinggal[1].


Kewajiban Memberi Nafkah

1. Kewajiban menafkahi sebab pernikahan
Seorang laki- laki jika menikahi seorang wanita, maka wajib baginya memberinya nafkah, hal ini didasari oleh beberapa hal:
- Allah berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ


‘’Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.’’ (QS.Al-Baqarah 228)

Ibnu Katsir berkata,’’maksudnya, para istri mempunyai hak diberi nafkah oleh suaminya yang seimbang dengan hak suami yang diberikan oleh istrinya, maka hendaklah masing- masing menunaikan kewajibannya dengan cara yang makruf, dan hal itu mencakup kewajiban suami memberi nafkah istrinya, sebagaimana hak- hak lainnya .’’  (Tafsir al-Qur’anil Adhim 1/272)

- Rasulullah bersabda;

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ


‘’Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim 2137).

- Para ulama bersepakat atas kewajiban seorang suami memberi nafkah istrinya, seperti yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah dan lainnya[2]

Catatan: Tidak menjadi suatu kewajiban seorang suami, jika sang istri menolak, atau keluarga wanita tersebut menghalangi sang suami untuk mendekati dan berhubungan dengan istrinya, hal itu lantaran kewajiban suami memberi nafkah sebagai timbal- balik dari manfaat yang diberikan sang istri[3].

Kadar besaran nafkah
Para fuqoha (ahli fiqih) bersepakat bahwa ukuran yang wajib diberikan sebagai nafkah adalah yang makruf/ yang patut atau wajar, sedangkan mayoritas pengikut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, mereka membatasi yang wajib adalah yang sekiranya cukup untuk kebutuhan sehari- hari, dan kecukupan itu berbeda- beda menurut perbedaan kondisi suami dan istri, kemudian hakim-lah yang memutuskan perkara jika ada perselisihan[4]. Hal ini dedasari oleh firman Allah;

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ


‘’Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’ (QS.al-Baqarah 233)

Kadar nafkah untuk kecukupan keluarga dalam kehidupan sehari- hari dengan cara yang wajar telah ditegaskan oleh Rasulullah, ketika Hindun bintu Itbah melaporkan yang suaminya yang sangat kikir, beliau bersabda;

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ


‘’Ambil-lah nafkah yang cukup untukmu dan anak- anakmu dengan cara yang wajar.’’ (HR.Bukhori 4945)

Besaran nafkah tergantung kondisi suami atau istri?
Para ulama berbeda pendapat tentang besaran nafkah yang harus diberikan suami kepada istrinya[5];

Pendapat pertama: Besaran nafkah harus dilihat kondisi sang istri, ini adalah madzhab maliki, berdasarkan firman Allah;

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

’Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’ (QS.al-Baqarah 233)

Pendapat kedua: besaran nafkah harus dilihat kondisi sang suami, ini adalah riwayat madzhab hanafi dan Syafii yang lebih terkenal, dan hal ini didasari oleh firman-Nya;

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ


‘’Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.’’(QS. ath-Thalaq [65]: 7)

Pendapat ke tiga: besaran nafkah ditentukan menurut kondisi keduanya (suami istri), ini adalah madzhab Hanbali dan demikianlah yang difatwakan oleh segenap ulama madzhab Hanafi , dan pendapat inilah yang lebih benar karena dengannya terkumpul semua dalil diatas[6]  (dalil pendapat pertama dan ke dua).

Waktu wajib memberi nafkah
Pada dasarnya seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya pada permulaan pagi setiap harinya, karena saat itulah kebutuhan nafkah (makanan dan minuman) mulai terasa, akan tetapi jika keduanya sepakat untuk menunda atau memajukannya, seperti setiap akhir pekan atau setiap awal bulan atau akhirnya dan semisalnya (karena suatu kemaslahatan), maka itu dibolehkan sebab nafkah hanyalah hak dan kewajiban suami istri[7]

Kewajiban menempatkan istri di rumah yang layak
Wajib bagi seorang suami untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal istrinya dengan layak , hal ini telah disepakati oleh para ulama, sebagaimana firman- Allah:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ

‘’Dan bergaullah dengan mereka secara patut.’’ (QS.An-Nisa’ 19)

Keterangan: termasuk mempergauli istri dengan cara yang patut adalah menempatkan istri dirumah yang patut/layak baginya, sebab istri membutuhkan tempat tinggal yang dapat dipakai beristirahat, bersenang- senang dengan suaminya dan menutupi auratnya dari pandangan manusia, serta untuk menjaga hartanya, hanyasaja tempat tinggalnya disesuaikan dengan kemampuan sang suami, sebab Allah berfirman;

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ

‘’Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.’’ (QS.At-Thalaq 6)

Suami memenuhi kebutuhan istri sesuai ‘urf/adat setempat
Jika suami mampu (lihat QS.At-Thalaq 6 di atas), maka wajib baginya memenuhi kebutuhan istrinya sesuai dengan ‘urf/ adat setempat, (karena hal ini termasuk dalam QS.an-Nisa’ 19). Suatu contoh, jika adat penduduk setempat makanan sehari- harinya adalah roti, atau jika kebiasaan mereka tidur diatas kasur dan menggunakan bantal (bukan dilantai atau beralas tikar) maka itulah yang menjadi kewajiban suami jika ia mampu[8].

Haruskah ada pembantu rumah tangga?
Tidak ada perselisihan[9] diantara para ulama bahwa seorang istri yang tidak mampu hidup sendiri kecuali dengan pembantu rumah tangga, baik karena sebab terbiasa hidup berkecukupan, karena sakit atau sebab lainnya, maka wajib bagi suami jika mampu untuk mendatangkan pembantu rumah tangga demi membantu istrinya menyelesaikan urusan rumahnya, hal ini termasuk dalan firman-Nya:

 وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ

‘’Dan bergaullah dengan mereka secara patut.’’ (QS.An-Nisa’ 19)
Dan termasuk mempergauli istri dengan cara yang patut adalah suami memenuhi kebutuhan pokok sang istri seperti pembantu rumah tangga[10].

Wanita yang telah dicerai haruskah dinafkahi ?
Wanita yang ditalak suaminya tidak lepas dari dua kondisi,
Pertama: wanita yang dicerai tetapi talaknya masih raj’iy (talak satu atau talak dua) yang masih dalam masa iddah, maka para ulama sepakat bahwa dia masih berhak nafkah dari suaminya, sebab dia statusnya masih sebagai istri yang sah, dengan bukti selagi belum habis masa iddahnya suami boleh merujuknya, sebagaimana Allah menyebutnya sebagai suami yang sah dalam firman-Nya;

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا

Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti (iddah) itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah/ perbaikan.’’ (QS.Al-Baqarah 228)

Ke dua: wanita yang dicerai suaminya dengan talak ba’in sughro (talak satu atau dua) dan telah habis masa iddah, atau talak ba’in kubro (talak tiga).

Kondisi kedua ini terbagi menjadi dua keadaan;
- Jika wanita tersebut dalam kondisi hamil maka para ulama sepakat dia berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya karena nafkah tersebut buat sang janin milik ayahnya, Allah berfirman;

وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ

‘’Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.’’ (QS.at-Thalaq 6)

- Tetapi jika wanita (yang ditalak ba’in) tersebut tidak hamil, maka para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban nafkah atas mantan suaminya, dan pendapat yang kuat adalah tidak ada kewajiban bagi mantan suami untuk menafkahi wanita yang telah ditalak ba’in[11], hal ini didasari oleh sebuah hadits dari Fathimah binti Qois dari Rasulullah, beliau bersabda tentang wanita yang ditalak ba’in;

لَيْسَ لَهَا سُكْنَى وَلَا نَفَقَةٌ

‘’Tidak ada hak tempat tinggal dan nafkah baginya.’’ (HR.Muslim 2717)

Gugur kewajiban menafkahi  istri yang durhaka
Nusyuz (النشوز ) dalam kata lain durhaka, adalah sebab gugurnya kewajiban suami terhadap istrinya dalam hal nafkah, apabila istri durhaka, tidak menaati suaminya dan tidak menuruti keinginan suaminya dalam hal yang bukan kemaksiatan, maka gugurlah kewajiban suami untuk memberi nafkah istrinya sampai sang istri kembali ta’at kepada suaminya.[12]

Kapan istri boleh mengambil harta suami tanpa izin?
Jika suami tidak memenuhi kebutuhan istri baik makanan, minuman, atau pakaian, padahal ia mampu, maka boleh bagi sang istri mengambil harta suaminya tanpa mendapat izin darinya, tetapi yang diambil hanya sekedar nafkah yang cukup buat keluarga dengan secara patut tidak boleh berlebihan, hal ini didasari oleh sebuah hadits dari Aisyah beliau berkata;

أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ


Bahwasanya Hindun bintu ‘Itbah berkata,’’Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, dia tidak memberi nafkah yang cukup buat aku dan anak- anakku, kecuali aku harus mengambilnya sedangkan dia tidak tahu,’’ maka (Rasulullah) mengatakan,’’ambillah apa yang cukup buatmu dan anak- anakmu dengan cara yang patut.’’ (HR.Bukhori 4945)

Sikap istri Jika suami tidak mampu menafkahi
Jika suami tidak mampu menafkahi istrinya maka para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya istri menuntut perpisahan dengan suaminya;

Pendapat pertama: istri tidak berhak menuntut perpisahan dengan suaminya, tetapi harus bersabar dan suami harus berusaha semaksimal mungkin walaupun harus berhutang[13]. Hal ini didasari oleh firman Allah;

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ

‘’Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.’’ (QS.Al-Baqarah 280)

Pendapat ke dua: istri berhak memilih antara bersabar dan menunggu usaha suaminya, atau menuntut perpisahan dengan suaminya[14], hal ini didasari oleh firman Allah;

فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ

‘’(Seorang Suami) boleh menahan/ rujuk  dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan (istrinya) dengan cara yang baik’’. (QS.al-Baqarah 229)

Ayat di atas menjelaskan bahwa wanita boleh ditahan (tidak dicerai), atau boleh juga dicerai tetapi keduanya harus dengan cara yang patut/baik, sedangkan menahan istri dalam keadaan kurang nafkah atau tidak ada nafkahnya, bukan termasuk menahan istri dengan cara yang patut, sehingga boleh bagi sang istri memilih.

Pendapat yang kuat: Pendapat kedua ini yang lebih mendekati kebenaran, dan dikuatkan oleh beberapa hal:

- Ada sebuah hadits dari Abu Hurairah, beliau berkata Rasulullah bersabda tentang kewajiban suami menafkahi istrinya;

وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ إِمَّا أَنْ تُطْعِمَنِي وَإِمَّا أَنْ تُطَلِّقَنِي

‘’Mulailah (memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggunganmu, (kalau tidak) maka istrimu akan mengatakan, nafkahilah aku atau ceraikan aku.’’ (HR.Bukhori 4936)

- Berkata Ibnul Mundzir,’’Telah sah bahwa Umar bn Khotob memerintahkan para tentara (yang bepergian) untuk tetap memberi nafkah, kalau tidak maka harus menceraikan istrinya.[15]

2. Kewajiban menafkahi sebab hubungan kerabat
Kewajiban menafkahi tidak hanya kepada istri, tetapi kepada para kerabat juga wajib (jika terpenuhi syarat- syaratnya), seperti menafkahi anak- anaknya, atau orang tuanya, hal ini didasari oleh beberapa dalal, diantaranya;

-Seperti Firman Allah tentang kewajiban seorang ayah menafkahi istri yang telah dicerai dalam keadaan hamil, dan nafkah tersebut adalah untuk sang anak;

وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ

‘’Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.’’ (QS.at-Thalaq 6)

Lebih diperjelas kewajiban seorang ayah memberi nafkah kepada anak- anaknya, dalam hadits kisah Hindun bintu Itbah diatas (HR.Bukhori 4945)

- Adapun kewajiban seseorang menafkahi orang tua dan kerabatnya, maka ditunjukkan oleh keumuman ayat- ayat al-Qur’an tentang perintah berbakti kepada orang tua (seperti firman Allah QS.al-Isra’ 23, dan 26) dan kebih jelas lagi seperti dalam hadits;

وابدأ بمن تعول : أمك وأباك وأختك وأخاك أدناك أدناك

‘’Mulailah (memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggunganmu, Ibumu, ayahmu, saudarimu, saudaramu, dan seterusnya.’’[16]

Menafkahi kerabat menjadi wajib jika terpenuhi syaratnya
Kewajiban menafkahi para kerabat menjadi wajib jika terpenuhi syarat- syaratnya, diantaranya:
- Jika kerabat tersebut (orang tua, saudara dan lainnya) dalam keadaan faqir/ miskin tidak mampu menafkahi diri mereka sendiri, dan tidak ada orang lain yang menafkahi mereka. Tetapi jika mereka mampu, atau ada orang  lain menafkahi mereka, maka gugurlah kewajiban ini.

- Jika seseorang mempunyai kelebihan setelah menafkahi diri dan yang ditanggugngnya, Rasulullah bersabda;

ابْدأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ 

‘’Mulailah menafkahi dirimu sendiri, jika tersisa, maka untuk anggota keluargamu, jika tersisa, maka untuk kerabat dekatmu.’’ (HR.Muslim 1663)

Catatan; Adapun kadar besaran nafkah kepada kerabat adalah sama dengan kadar besaran nafkah kepada ustri yaitu mencukupi kebutuhan mereka dengan cara yang patut sesuai kemampuan.[17]

3. Kewajiban menafkahi budak [miliknya, -ed]
Budak yang dimiliki tuannya juga wajib dinafkahi, sebagaimana keumuman ayat- ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk selalu berbuat baik kepada budak (seperti QS.an-Nisa’ 36) dan seperti dalam sebuah hadits Rosululloh mengatakan tentang para budak;

هُمْ إِخْوَانُكُمْ جَعَلَهُمْ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَأَطْعِمُوهُمْ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَأَلْبِسُوهُمْ مِمَّا تَلْبَسُونَ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ


‘’Mereka adalah saudaramu yang Alloh kuasakan kepadamu, maka berilah makan dengan apa yang kamu makan, berilah pakaian dengan apa yang kamu kenakan, dan jangan membebani  mereka dengan apa yang mereka tidak mampu, dan jika kamu membebani mereka, maka bantulah mereka.’’(HR.Muslim 3139)

4. Kewajiban Menafkahi binatang piaraan
Jika seseorang memelihara binatang, maka wajib baginya untuk menafkahinya berupa member makanan yang layak, minuman jika dibutuhkan, merawat  serta menjaganya dengan baik, hal ini telah disepakati oleh para fuqoha’[18], kewajiban ini didasari oleh sebuah hadits dari Ibnu Umar berkata bersabda Rasulullah;

عُذِّبَتْ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلَا سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ


‘’Seorang wanita disiksa dalam neraka sebab mengurung seekor kucing sampai mati, dia tidak memberinya makan, tidak memberinya minuman, dan dia tidak melepaskannya supaya makan apayang tumbuh dibumi.’’ (HR.Bukhori 3223, dan Muslim 4160)

Berkata Ibnu Abdil Bar,’’dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya member nafkah binatang piaraan, dan tidak ada perbedaan ulama tentang ini.’’[19]

Wallahu A’lam.
Sumber: Majalah AL FURQON No. 120 (Edisi 6 TH ke-11, al-Muharram 1433 H) dalam rubrik Fiqh Islam hal. 34-38
Tulisan Terkait: Fiqih Sumpah


[1] . Lihat Fiqhul Muyassar/Qismu Fiqhil Usrah 3/209, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthlaq (anggota Ulama besar dan Komite tetap untuk fatwa KSA), Prof.Dr. Abdullah bin Muhammad at-Thoyyar, dan Dr. Muhammad bin Ibrohim al-Musa (Anggota mahkamah agung bagian wakaf wakaf KSA), lihat juga Fiqhus Sunnah karya as-Sayyid Sabiq 2/266.
[2] . Lihat al-Ijma’ karya Ibnul Mundzir hlm.78, Marotibul Ijma’ hlm.79, al-Washith karya al-Ghozali 6/203, dan al-Mughni karya Ibnu Qudamah 9/229, lihat juga Fiqhus Sunnah karya as-Sayyid Sabiq 2/267-268.
[3] . Permasalahan ini dinyatakan oleh Imam Ibnul Mundzir dalam al-Ijma’ hlm.78.
[4] . Bada’ius Shonai’ 4/18-19, as-Syarhul Kabir ma’a Hasyiyah ad-Dasuqi 2/805, Mughni Al-Muhtaj 3/435, dan al-Mughni 9/282.
[5] . Lihat perinciannya lebih lengkap dalam al-Fiqhul Muyassar/Qismu Fiqhil Usrah 3/211-212.
[6] . Lihat Badi’ as-Shanai’ 4/24, al-Bahrur Ra’iq 4/190, dan al-Mugni 9/230.
[7] . Ibnu Qudamah berkata,’’Setahu kami tidak satupun diantara ulama yang berbeda pendapat  dalam hal ini.’’ (al-Mughni 9/240)
[8] . Lihat al-Mughni 9/236.
[9] . Lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 3/588, as-Syarhul Kabir ma’a Hasyiyah ad-Dasuqi 2/510, Mughni al-Muhtaj 3/432, dan al-Mughni 9/237.
[10] . Lihat al-Fiqhul Muyassar/Qismu Fiqhil Usrah 3/213.
[11] . Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanbali (Lihat al-Mughni 9/288, dan al-Inshaf 9/361)
[12] . Sebagaimana dinukil kesepakatan ini oleh Ibnul mundzr dalam al-Ijma hlm.78.
[13] . Ini adalah madzhab Hanafi, lihat Syarh Fathul Qadir 4/389, dan Hasyiyah Ibnu Abidin 3/590.
[14] . Ini adalah pendapat madzhab Maliki, Syafi’i, dan pendapat yang benar dari madzhab Hanbali, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, demikian pula pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khottob, Ali bin Abi Tholib, Abu hurairah, Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri, dan lainnya (lihat perincian yang lebih lengkap dalam Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram 5/145,  Jami’ al-Ummahat li Ibnil Hajib hlm.333, dan Fiqhul Muyassar/Qismu Fiqhil Usrah 3/216-217).
[15] . Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram 5/145.
[16] . HR.Nasa’i 1/350, Ibnu Hibban 810, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 3/322
[17] . Lihat al-Fiqhul Muyassar/Qismu Fiqhil Usrah 3/221, dan Fatawa Lajnah Da’imah no.18705.
[18] . Lihat Mukhtashar Ikhtilaf al-Ulama’ 3/407.
[19] . at-Tamhid 22/9.

Oleh: Abu Ibrohim Muhammad Ali AM. (hafidzahullah)


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution