Jumat, 28 September 2012

ash-Shirathu al-Mustaqim

Islam Garis Lurus

Ma’asyiral Muslimin, Jamaah Jum’at Rahimakumullah
Marilah kita bersama-sama meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah Ta’ala, dan mari kita bangun terus aqidah kita di atas landasan ilmu yang benar.


Menurut Islam, jalan yang ditapaki manusia itu ada dua, yaitu: Jalan yang lurus dan Jalan yang bengkok. Jalan yang lurus adalah jalan yang sampai kepada Allah, sedangkan jalan yang bengkok adalah jalan yang tidak sampai kepada Allah, melainkan sampai kepada murka Allah. Untuk kita perlu mengenali jalan yang lurus dan jalan yang bengkok ini sebagaimana yang disebutkan Allah dalam surat al-Fatihah: 6-7. Kita kenali jalan yang lurus, supaya kita kenal jalan yang bengkok.

Kita semua bermunajat kepada Allah lebih dari 17 kali setiap hari, memohon kepada Allah, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus” (QS. al-Fatihah: 6). Kata hidayah pada ayat ini bermakna “Bimbingan dan Taufiq”. Juga terkandung makna “Berikanlah ilham kepada kami” , atau “Berikan rizki kami” , atau “Berilah anugerah kami” . Sedangkan ash-Shirathu al-Mustaqim menurut Imam Abu Ja’far ibnu Jarir: para ahli tafsir tentang telah sepakat bahwa ash-Shirathu al-Mustaqim adalah jalan yang terang dan lurus yang tidak bengkok-bengkok di dalamnya.

Kemudian terjadi perbedaan ungkapan dari para ahli tafsir tentang hal ini, antara lain Bermakna Kitabullah, sebagaimana hadits riwayat dari Ibnu Abi Hatim; Bermakna al-Islam, sebagaimana riwayat adh-Dhahhak, Maemun bin Mahron dari Ibnu Abbas; Bermakna al-Hak (kebenaran), demikian kata mujahid. Abu al-Aliyah berkata, “Bahwa ash-Shirathu al-Mustaqim adalah Rasulullah dan dua orang sahabat sesudahnya. Maka Ashim menceritakan hal itu kepada al-Hasan al-Bashri, maka al-Hasan al-Bashri berkata, “Abu al-Aliyah telah berkata benar dan memberi nasehat.”
Artinya, “Jalan lurus” itu mengikuti jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jalan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Jadi ungkapan Abu al-Aliyah ini bermakna lebih khusus.

Tetapi perbedaan ungkapan tersebut pada prinsipnya kembali kepada satu makna, yaitu, mengikuti Allah dan RasulNya demikian penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Dan hal ini sesuai dengan penjelasan pada ayat berikutnya:  

“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” (QS. al-Fatihah: 7).

Inilah adalah tafsir dari ayat “Shiratha al-Mustaqim” . Jadi ada 3 jalan di sini: satu jalan lurus, dan dua model jalan bengkok.

Ma’syiral Muslimin Rahimakumullah
Kemudian, siapa orang yang diberi nikmat itu? Allah sendiri yang menjelaskan bahwa orang-orang yang diberi nikmat itu adalah orang-orang yang tersebut dalam surat an-Nisa’ 69-70:

“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui. (QS. an-Nisa’: 69-70).

Jadi, orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah Ta’ala, dengan meniti jalan yang lurus adalah: Para Nabi: orang-orang yang dipilih Allah dengan diberinya wahyu kepada mereka; Para Shiddiqin: Orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang secara khusus ayat ini berkenaan dengan Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu karena dia adalah ash-Shiddiq al-Akbar; Para Syuhada, yaitu orang yang mati dalam menegakkan agama Allah. Yang secara khusus ayat ini ditujukan kepada Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahu ‘anhum, karena mereka adalah para Syuhada’; Para shalihin: orang-orang yang shaleh, yaitu orang-orang yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah. Mereka adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikut setianya sampai hari kiamat.

Mereka itulah di atas shiratu al-Mustaqim, jalan yang lurus, yang mendapat nikmat Allah, teman yang sebaik-baiknya. Mengikuti selain mereka berarti mengikuti jalan yang bengkok atau sesat.

Ma’syiral Muslimin Rahimakumullah
Allah Ta’ala berfirman:  
“Bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah: 7). 

Maksudnya: Bukan jalan orang-orang yang mendapat murka, yang kehendak mereka telah rusak, sehingga meskipun mereka mengetahui kebenaran, namun menyimpang darinya. Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang yang tidak memiliki ilmu, sehingga mereka berada dalam kesesatan, serta tidak mendapatkan jalan menuju kebenaran.

Pembicaraan di sini dipertegas dengan kata “Bukan”, guna menunjukkan bahwa di sana terdapat dua model jalan yang rusak, yaitu model rusaknya para ulama (ilmuwan, pemikir) yang diwakili oleh orang-orang Yahudi dan model rusaknya para ubbad (ahli ibadah) dan zuhhad (ahli zuhud) yang awam yang diwakili oleh orang-orang Nashrani. Juga untuk membedakan antara kedua jalan itu, agar setiap orang menjauhkan diri darinya.

Jalan orang-orang yang beriman itu mencakup pengatahuan akan kebenaran serta pengamalannya, sementara orang-orang Yahudi tidak memiliki, sedangkan orang-orang Nashrani tidak memiliki ilmu (agama). Oleh karena itu, kemurkaan bagi orang-orang Yahudi, sedangkan kesesatan bagi orang-orang Nashrani. Karena orang-orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya, itu berhak mendapat kemurkaan, berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu.

Jadi orang yang dimurkai adalah orang yang tahu kebenaran tetapi menyimpang. Sedangkan orang yang sesat adalah orang yang beramal tetapi tidak berilmu. Secara khusus orang yang dimurkai adalah Yahudi. Dan orang yang sesat adalah Nashrani. Demikian pendapat para ahli tafsir, sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Katsir.

Memang, orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah sesat dan mendapat murka. Tetapi sifat Yahudi yang paling khusus adalah mendapat kemurkaan sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang diri mereka:

“Yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, diantara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi (dan orang yang) menyembah Taghut” (QS. al-Maidah: 77).

Sedangkan sifat orang Nasrani yang paling khusus adalah kesesatan, sebagaimana firman Allah Ta’ala mengenai ikhwal mereka: “Orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (QS. al-Maidah: 77).

“Kemudian masalah ini banyak disebutkan dalam hadits dan atsar, yang intinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa yang dimurkai adalah Yahudi dan yang sesat adalah Nasrani. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 1, hlm. 28).

Sehingga makna dan tafsir dari ayat tersebut adalah: “Tunjukkilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka(yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan sholihin), bukan jalan orang-orang yang dimurkai (yaitu orang-orang Yahudi beserta orang-orang yang sepaham dengannya) dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat (yaitu orang-orang Nasrani dan orang-orang yang sepaham dengan mereka).”

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Dari ayat ini jelas, tidak ada pluralisme agama (menganggap semua agama benar) dalam Islam. Yang ada adalah jalan yang lurus (yang benar dan diridhai Allah), dan jalan yang bengkok (jalan yang salah, yang dimurkai Allah). Maka dengan demikian, batallah paham liberal (JIL dan lain-lain yang sepaham dengannya) yang menyatakan dan membela mati-matia bahwa semua agama benar, semua agama bisa masuk surga kata mereka, kecuali orang-orang yang mereka sebut eksklusif, fundamentalis dan ekstremis.

Dalilnya sudah jelas dan tegas. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). “Dan telah kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Ali Imran: 85). “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imron: 85).

Baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya! Tidak seorangpun mendengar tentang aku dari umat (manusia) ini, seorang Yahudi ataupun Nasrani, kemudian meninggal dunia dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus karenanya, kecuali ia termasuk para penduduk neraka.” (HR. Muslim).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution