Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (1)
Pernikahan seringkali harus ditempuh dalam kurun yang cukup panjang
dalam kehidupan seseorang. Pada kasus beberapa orang, ada yang sangat
diberi kemudahan oleh Allah dalam menggapainya. Akan tetapi, pada
beberapa orang yang lain, dia kerapkali harus jungkir balik menghadapi
banyak rintangan dalam menggapai mahligai pernikahan.
Salah satu rintangan yang banyak dihadapi oleh pejuang pernikahan
adalah penolakan. Penolakan oleh calon pasangan bisa disebabkan karena
faktor ketidakcocokan dari segi agama; rupa; harta; maupun lainnya.
Andaikata yang mengalami ujian penolakan ini bersikap “biasa saja”,
tentu tidaklah mengapa. Akan tetapi, tidak sedikit juga yang merasa
kecewa bahkan hingga mencapai tahap putus asa. Lalu, bagaimanakah
solusinya?
1. Menyikapi suatu masalah dengan sudut pandang ilmu syariat
Pola pikir dan sudut pandang seseorang, sangat menentukan bagaimana respon orang tersebut dalam menyikapi sebuah problema. Apabila dia meluruskan mindset dengan benar, maka -Insya Allah- tidak akan timbul respon tragedi yang bernama “deraan rasa kecewa dan putus asa”.
Pola pikir dan sudut pandang seseorang, sangat menentukan bagaimana respon orang tersebut dalam menyikapi sebuah problema. Apabila dia meluruskan mindset dengan benar, maka -Insya Allah- tidak akan timbul respon tragedi yang bernama “deraan rasa kecewa dan putus asa”.
Pola pikir yang benar untuk menghadapi hal semacam ini, yakni pola
pikir yang dilandasi dengan ilmu syari’at, sehingga akan menghasilkan
akal yang jernih; hati yang sehat dan sikap yang tepat dalam menyikapi
suatu kejadian. Pola pikir inilah yang mencerminkan kedalaman ilmu
agamanya, kokohnya iman dan takwa yang begitu kuat terhujam mengakar di
dadanya. Maka, pasung dan perangilah pola pemikiran yang hanya
berlandaskan emosi negatif dan sudut pandang melankolisme semata. Respon
kejadian berupa perasaan sedih dan sahabat-sahabatnya, merupakan hal
yang manusiawi jika hanya untuk sesaat. Akan tetapi, jika dibiarkan
berlarut-larut malah bisa membuka pintu maksiat.
2. Bersikaplah ridha, sabar, tawakkal
Perkara jodoh memang sudah ditakdirkan. Jodoh termasuk perkara rizki
seseorang, dan penetapan rizki seseorang sekaligus takdir atas semua
makhluk Allah ini memang telah usai pencatatannya di Al-Lauh Al-Mahfuzh 50.000 tahun sebelum Allah mencipta alam semesta.
Takdir seseorang itupun juga sudah ditentukan di catatan malaikat,
ketika orang tersebut masih dalam kandungan ibunda pada usia 4 bulan di
dalam kandungan. Maka, sungguh beruntung orang-orang yang dimudahkan
mengimani Qadha dan Qadar yang telah menjadi ketetapan bagi dirinya,
hingga dia pun bisa merasakan manfaatnya yang besar tiada terkira.
Salah satu manfaat beriman kepada Qadha dan Qadar, Anda meyakini bahwa kejadian penolakan itu sudah Allah tetapkan di Al-Lauh Al-Mahfuzh
sana. Betapapun Anda sudah mati-matian berusaha dan berdo’a. Disamping
itu, kejadian penolakan itu sudah berada dalam catatan takdir Anda yang
dipegang oleh malaikat.
Kalimat ini tidak membawa konsekuensi adanya penafian usaha manusia,
atau saran kepada manusia agar tidak usah berusaha saja, sehingga hamba
bisa bermalas-malasan dalam menghadapi segala sesuatu hanya karena
alasan “toh sudah ditakdirkan.” Tidak…sama sekali bukan begitu. Statemen
ini justru digunakan untuk membuka cakrawala pemikiran seseorang, bahwa
apa yang Allah takdirkan bagi Anda pasti menimpa Anda, tiada pernah
sekejap pun luput dari Anda. Begitu pula sebaliknya, Anda tidak akan
pernah bisa mendapat apa yang Allah tidak takdirkan bagi Anda.
Allah Ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي
أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ
ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ(22) لِكَيْ لاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا
فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ
مُخْتَالٍ فَخُورٍ(23) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ
بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ
الْحَمِيدُ(24)
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian
jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya
kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada
kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia
berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah
Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.” (Qs. Al-Hadid: 22-24)
Manfaat lain iman terhadap Qadha dan Qadar, supaya Anda bisa lebih
bersabar; bersyukur; dan ridha terhadap segala sesuatu yang menimpa diri
Anda. Bukan hanya bisa terlalu bersedih dan dirundung duka ketika ada
musibah datang melanda. Kalau Anda sudah menyadarinya, kenapa pula Anda
harus berduka terhadap sesuatu yang memang sudah ditakdirkan olehNya??
Tidak perlu terlalu risau dan cemas terhadap masa depan Anda, teruslah
berdoa; berusaha; bertawakkal dan bersabar; serta ridha pada segala
ketetapanNya.
Berjuanglah dengan gigih, niscaya Anda akan dipermudah dalam menempuh apa yang Allah takdirkan bagi diri Anda -Insya Allah-
عن أبي الزبيرعن جابر قال جاء سراقة بن مالك بن جعشم قال
يارسول الله بين لنا ديننا كأنا خلقنا الآن فيما العمل اليوم أفيما جفت به
الاقلام وجرت به المقادير ام فيما نستقبل قال لا بل فيما جفت به الاقلام
وجرت به المقادير قال ففيم العمل قال زهير ثم تكلم أبو الزبير بشئ لم افهمه
فسألت ما قال؟ فقال: اعملوا فكل ميسر
Dari Abu Az-Zubair, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Suraqah ibn Malik ibn Ju’syum datang ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah pada kami mengenai
perkara agama kami, seolah-olah kami baru diciptakan saat ini, yaitu
mengenai amal perbuatan kami hari ini, apakah amalan tersebut
berdasarkan pada apa yang tertulis oleh tinta pena yang telah mengering
[1] dan berdasar pada takdir-takdir yang telah ditetapkan, ataukah
berdasarkan apa yang akan kita hadapi?”
Zuhair berkata, “Lalu Abu Az-Zubair berkata sesuatu yang tidak saya mengerti.”, maka saya pun bertanya,”Apa yang Rasulullah ucapkan?”. Kemudian Abu Zubair menjawab, “beramallah! Karena semuanya telah dimudahkan.” (HR.Muslim, no.2648)
3. Bertakwa
Ketakwaan insan, membuahkan manfaat yang sangat banyak. Salah satu
manfaat takwa adalah: Allah akan memberikan jalan keluar untuk
problematika yang dia hadapi, dan Allah akan memberikan rizki baginya
dari arah yang tidak dia sangka.
…وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2)
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ
لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)
“…Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang
tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs.Ath-Thalaq: 2-3)
4. Jadilah mukmin yang kuat imannya dan bermental baja
Dampak penolakan yang dirasakan laki-laki, biasanya lebih ringan dirasa bagi jiwa dibanding penolakan yang dirasakan wanita. Andaikata makhluk yang berjiwa halus (baca: wanita) ini ditolak, seringkali mereka merasa bak sedang terlempar ke dalam palung melankolisme, yang dalamnya tak bisa diungkap lewat untaian kata.
Dampak penolakan yang dirasakan laki-laki, biasanya lebih ringan dirasa bagi jiwa dibanding penolakan yang dirasakan wanita. Andaikata makhluk yang berjiwa halus (baca: wanita) ini ditolak, seringkali mereka merasa bak sedang terlempar ke dalam palung melankolisme, yang dalamnya tak bisa diungkap lewat untaian kata.
Berbagai rasa pun bersatu padu, menghasilkan penyakit “pilu sendu
yang mengharu biru”. Ada sejumput rasa sesak dalam dada; sedih; kecewa;
malu; menjadi rendah diri (minder); bahkan putus asa…Amboi, sungguh
komplit sekali rasanya…-Subhanallah-. Betul-betul perpaduan
emosi negatif yang sempurna! Duhai manusia..andai saja dia bisa bersikap
tegar, tabah, dan tegak berdiri dengan berlapang dada ketika penolakan
itu menimpanya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ
مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا
يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ
فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ
قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ
الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada
mukmin yang lemah. Akan tetapi, keduanya tetaplah memiliki kebaikan.
Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada
Allah, dan jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah,
maka janganlah engkau katakan, ‘Seandainya aku berbuat demikian dan
demikian.’ Akan tetapi hendaklah engkau berkata: ‘Ini sudah menjadi
takdir Allah. Setiap apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena
perkataan “lau” (seandainya) dapat membuka pintu setan.” (HR. Muslim
no.2664, di dalam kitab Al-Qadar)
Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah telah menjelaskan maksud perkataan “mukmin yang kuat” dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin,
المؤمن القوي: يعني في إيمانه وليس المراد القوي في بدنه،
لأن قوة البدن ضرراً على الإنسان إذا استعمل هذه القوة في معصية الله، فقوة
البدن ليست محمودة ولا مذمومة في ذاتها، إن كان الإنسان استعمل هذه القوة
فيما ينفع في الدنيا والآخرة صارت محمودة، وإن استعان بهذه القوة على معصية
الله صارت مذمومة
لكن القوة في قوله صلى الله عليه وسلم المؤمن القوي أي قوي
الإيمان، ولأن كلمة القوي تعود إلى الوصف السابق وهو الإيمان، كما تقول
الرجل القوي: أي في رجولته، كذلك المؤمن القوي يعني في إيمانه، لأن المؤمن
القوي في إيمانه تحمله قوة إيمانه على أن يقوم بما أوجب الله عليه، وعلى أن
يزيد من النوافل ما شاء الله….
“Yang dimaksud dengan mukmin yang kuat adalah kuat imannya, bukanlah
yang kuat badannya. Karena kuatnya badan bisa membahayakan manusia jika
dia menggunakan kekuatannya ini untuk bermaksiat kepada Allah. Kuatnya
badan belum tentu mutlak terpuji ataupun tercela.
Apabila orang tersebut menggunakan kekuatan ini dalam hal yang
bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya, maka kekuatan itu menjadi suatu
hal yang terpuji. Akan tetapi, jika kekuatan ini justru membantu dia
melakukan tindak maksiat terhadap Allah, maka kekuatan ini malah menjadi
tercela.
Akan tetapi, kata kuat yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Mukmin yang kuat” yakni kuatnya iman, karena kata kuat kembali kepada
hal yang disifati sebelumnya, yaitu iman. (kata “kuat” di dalam sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam digunakan untuk menyifati
mukmin, dan kata “mukmin” artinya orang yang beriman, sehingga kata kuat
ini menyifati keimanan yang ada pada diri orang yang beriman. -pen).
Sebagaimana ketika Anda berkata, “Seorang lelaki yang perkasa.” yakni
kuat dalam hal kejantanannya. Begitupula berkenaan dengan kata mukmin
yang kuat, maka kuat yang dimaksud adalah keimanannya, karena seorang
mukmin yang kuat imannya akan mampu melakukan kewajiban yang Allah
limpahkan kepada dirinya, dan dia mampu menambah ibadah sunnahnya sesuai
dengan yang Allah kehendaki bagi dirinya.”
Oleh karena itu, buktikan dan tunjukkanlah sikap seorang yang kuat
imannya, “Baiklah, saya memang ditolak….tapi saya berusaha
mengendalikan diri saya untuk tetap tegar, lapang dada, sabar dan ridha !
Saya tetap bisa menjalani hari-hari saya tanpa rasa kecewa Insya Allah.
Saya mukmin yang ingin dicintaiNya dan saya merasa bahagia terhadap
segala yang Allah tetapkan bagi diri saya…karena apapun ketetapanNya,
itulah yang terbaik bagi saya.”
عن صهيب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عَجَبًا
لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ
لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Dari Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang mukmin. Sesungguhnya
semua perkaranya adalah baik dan tidaklah hal ini dimiliki oleh
seorangpun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia diberi kenikmatan/
kesenangan, dia bersyukur maka ini menjadi kebaikan baginya. Sebaliknya
jika dia ditimpa musibah (sesuatu yang tidak menyenangkan), dia
bersabar, maka ini pun menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim no.2999 )
——–
[1] Yang dimaksud dengan “ keringnya pena” ada beberapa keterangan ulama sebagai berikut:
a)
أَيْ مَضَتْ بِهِ الْمَقَادِير ، وَسَبَقَ عِلْم اللَّه
تَعَالَى بِهِ ، وَتَمَّتْ كِتَابَته فِي اللَّوْح الْمَحْفُوظ ، وَجَفَّ
الْقَلَم الَّذِي كُتِبَ بِهِ ، وَامْتَنَعَتْ فِيهِ الزِّيَادَة
وَالنُّقْصَان
“Penetapan takdir seluruh makhluk telah terjadi, pengetahuan Allah
telah mendahuluinya, telah sempurna penulisan takdir di Al-Lauh
Al-Mahfuzh, dan telah kering tinta pena yang digunakan untuk menulis
lembaran takdir, sehingga tidak mungkin mengalami penambahan dan
pengurangan.” (Syarh Muslim li An-Nawawi)
b)
( جَفَّ الْقَلَمُ )
إِشَارَة إِلَى أَنَّ الَّذِي كُتِبَ فِي اللَّوْح الْمَحْفُوظ لَا يَتَغَيَّر حُكْمه ، فَهُوَ كِنَايَة عَنْ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة ؛ لِأَنَّ الصَّحِيفَة حَال كِتَابَتهَا تَكُون رَطْبَةً أَوْ بَعْضهَا وَكَذَلِكَ الْقَلَم فَإِذَا اِنْتَهَتْ الْكِتَابَة جَفَّتْ الْكِتَابَة وَالْقَلَم ، وَقَالَ الطِّيبِيُّ هُوَ مِنْ إِطْلَاق اللَّازِم عَلَى الْمَلْزُوم ؛ لِأَنَّ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة يَسْتَلْزِم جَفَاف الْقَلَم عِنْد مِدَادِهِ . قُلْت : وَفِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنْ كِتَابَةَ ذَلِكَ اِنْقَضَتْ مِنْ أَمَدٍ بَعِيدٍ . وَقَالَ عِيَاض : مَعْنَى جَفَّ الْقَلَم أَيْ لَمْ يَكْتُب بَعْد ذَلِكَ شَيْئًا …
إِشَارَة إِلَى أَنَّ الَّذِي كُتِبَ فِي اللَّوْح الْمَحْفُوظ لَا يَتَغَيَّر حُكْمه ، فَهُوَ كِنَايَة عَنْ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة ؛ لِأَنَّ الصَّحِيفَة حَال كِتَابَتهَا تَكُون رَطْبَةً أَوْ بَعْضهَا وَكَذَلِكَ الْقَلَم فَإِذَا اِنْتَهَتْ الْكِتَابَة جَفَّتْ الْكِتَابَة وَالْقَلَم ، وَقَالَ الطِّيبِيُّ هُوَ مِنْ إِطْلَاق اللَّازِم عَلَى الْمَلْزُوم ؛ لِأَنَّ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة يَسْتَلْزِم جَفَاف الْقَلَم عِنْد مِدَادِهِ . قُلْت : وَفِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنْ كِتَابَةَ ذَلِكَ اِنْقَضَتْ مِنْ أَمَدٍ بَعِيدٍ . وَقَالَ عِيَاض : مَعْنَى جَفَّ الْقَلَم أَيْ لَمْ يَكْتُب بَعْد ذَلِكَ شَيْئًا …
“Mengisyaratkan bahwa hukum segala sesuatu yang telah ditulis di
Al-Lauh Al-Mahfuzh tidak akan berubah. Kalimat ini merupakan ungkapan
yang menunjukkan telah selesainya pencatatan takdir. Karena lembaran
kertas ketika dalam proses ditulisi umumnya masih basah. Demikian pula
tinta pena, ketika penulisan telah selesai maka catatan dan tinta pena
akan mengering. Ath-Thibi berkata, “lafazh “keringya pena” ini berisi
konsekuensi sebab akibat, karena tuntasnya pencatatan takdir pasti
mengakibatkan keringnya tinta pada pena pencatat takdir. Ibn Hajar
berkata, “di dalam lafazh ini terdapat isyarat bahwa pencatatan takdir
telah usai dalam rentang waktu yang lama. ‘Iyadh berkata, “makna
keringnya pena yakni pena tersebut tidak akan lagi digunakan untuk
mencatat lagi takdir apapun.” (Fathul Bari)
-Bersambung Insya Allah-
------------------------------------------------------
Penulis: Fatih Daya Khairani
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Syarh Riyadh Ash-Shalihin min kalam Sayyid Al-Mursalin, Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Prof Abdullah Ath-Thayyar, Darul Wathan, Riyadh-KSA, 1996
2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj, Imam An-Nawawi dengan tahqiq: Syaikh Khalil Ma’mun Syiha, Darul Ma’rifah, Beirut-Libanon,1997
3. Al-Qur’an terjemahan Depag
4. Kupas Tuntas Masalah Takdir, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Pustaka Ibn Katsir, Bogor, 2005
5. Al-Kaba’ir Ma’a Syarh, Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Abu ‘Abdirrahman ‘Adil ibn Sa’ad, Darul Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut-Libanon, 2006
6. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh Shalih ibn Fauzan Al-Fauzan, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh-KSA, 2005
7. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh ‘Abdurrahman ibn Nashir Al-Barrak, dalam format pdf yang diperoleh dari www.islamlight.net
8. Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Al-Hafizh Ibn Hajar Al-’Asqalani dengan tahqiq: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ibn Baz dan tarqim: Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Darul Hadits, Kairo, 2004
Penulis: Fatih Daya Khairani
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Syarh Riyadh Ash-Shalihin min kalam Sayyid Al-Mursalin, Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Prof Abdullah Ath-Thayyar, Darul Wathan, Riyadh-KSA, 1996
2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj, Imam An-Nawawi dengan tahqiq: Syaikh Khalil Ma’mun Syiha, Darul Ma’rifah, Beirut-Libanon,1997
3. Al-Qur’an terjemahan Depag
4. Kupas Tuntas Masalah Takdir, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Pustaka Ibn Katsir, Bogor, 2005
5. Al-Kaba’ir Ma’a Syarh, Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Abu ‘Abdirrahman ‘Adil ibn Sa’ad, Darul Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut-Libanon, 2006
6. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh Shalih ibn Fauzan Al-Fauzan, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh-KSA, 2005
7. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh ‘Abdurrahman ibn Nashir Al-Barrak, dalam format pdf yang diperoleh dari www.islamlight.net
8. Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Al-Hafizh Ibn Hajar Al-’Asqalani dengan tahqiq: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ibn Baz dan tarqim: Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Darul Hadits, Kairo, 2004
0 komentar:
Posting Komentar