Hidup Yang Berarti
“Kehidupan adalah nikmat dan cobaan.” 
Begitulah kurang lebih yang bisa kita petik dari kandungan firman Allah 
(yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan 
untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya. Dan
 Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kehidupan ini tentu 
memiliki makna dan hikmah. Sungguh sebuah kesia-siaan jika hidup ini 
hanya datang dan pergi ‘tanpa arti’. Setiap hari kita menghirup nafas, 
membuka mata, melangkahkan kaki, dan mencicipi satu per satu nikmat yang
 Allah berikan kepada kita tanpa henti.
Namun, betapa lalainya kita dari 
menyadari keagungan dan besarnya nilai nikmat itu. Seolah kehidupan 
hanya menjadi saat dan kesempatan untuk membuang energi dan melepas 
segala keinginan tanpa kendali. Sehingga waktu demi waktu kita lalui 
tanpa sedikit pun meresapi hakikat dan makna hidup yang hanya sementara 
ini…
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang banyak orang tertipu karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Seandainya anda mau menuliskan nikmat 
yang Allah berikan kepada anda sejak anda lahir hingga hari ini tentu 
anda tidak akan sanggup meliputi ataupun untuk sekedar mengingatnya 
secara rinci. Meskipun demikian, dengan dua buah nikmat ini sehat dan 
waktu luang seharusnya anda dan kita semua bisa menarik pelajaran dan 
hikmah serta manfaat agar hidup yang kita lewati menuju gerbang 
kematian menjadi semakin berarti.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira dia ditinggalkan dalam keadaan sia-sia begitu saja.” (QS. Al-Insan: 36)
Allah ta’ala
 berfirman (yang artinya), “Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu 
benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, 
beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati 
dalam menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)
Kaum muslimin yang dirahmati Allah,
 apabila dalam hidup ini anda merasakan ada sesuatu yang kurang atau 
hilang, hendaklah anda cermati dan renungi. Apakah gerangan yang luput 
dan pergi itu sesuatu yang bersifat sementara ataukah sesuatu yang 
membawa anda kepada kehidupan yang jauh lebih berarti?
Ketika orang bersedih karena 
kesehatannya yang memburuk. Ketika orang bersedih karena hartanya yang 
menyusut. Lalu, apakah anda tidak merasa sedih tatkala iman yang Allah 
berikan dan tanamkan mengalami krisis dan bahkan mendekati titik 
penghabisan?! Padahal, apalah artinya hidup di dunia tanpa nilai-nilai 
iman dan ketaatan..
Saudaraku yang dimuliakan Allah,
 menjadikan hidup kita lebih berarti tidak hanya berhenti dengan 
menumpuk harta, melanggengkan jabatan, atau memperbanyak relasi dan mata
 air kekayaaan. Betapa meruginya kita, dan betapa malangnya seorang 
hamba, tatkala Allah telah berpaling dan meninggalkannnya. Bukan karena 
Allah aniaya, namun disebabkan hamba itu sendiri yang telah melupakan 
kemaslahatan dan tujuan hidupnya.
Padahal, Allah telah mengingatkan 
dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia 
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Kaum muslimin yang dirahmati Allah;
 mengapa selama ini kita selalu membatasi dan mempersempit makna 
ibadah?! Sehingga kita menganggap bahwa ibadah hanya ada pada satu 
keadaan dan tidak pada keadaan dan situasi yang lain; yang barangkali 
tidak kita sukai atau sedikit selera kita untuk ikut serta di dalamnya. 
Bukankah perasaan dan pikiran itu yang selama ini mengganjal pahala dan 
amal kita? Kita merasa, bahwa ibadah adalah apa yang kita sangka dengan 
otak dan hawa nafsu kita. Kita lupa, bahwa ibadah adalah sebuah 
ketundukan yang mengejar cinta dan ridha-Nya. Kenyatannya, yang kita 
kejar adalah cinta dan ambisi pribadi, hawa nafsu dan 
keinginan-keinginan yang tak berarti.
Lupakah kita akan firman Allah (yang 
artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya,
 hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam 
beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110). 
Amal salih adalah yang ikhlas dan berada di atas Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 bukan amalan yang riya’ atau mengikuti selera nafsu dan kebid’ahan yang
 diada-adakan oleh sebagian manusia. Dimanakah letak keikhlasan? 
Dimanakah letak kesetiaan kepada bimbingan Nabi akhir zaman?
Wahai, hamba Allah!
 Tidakkah anda ingat, bagaimana Allah telah selamatkan anda dari jurang 
kekafiran. Tidakkah anda ingat, bagaimana Allah curahkan hidayah dan 
pertolongan-Nya sehingga anda kembali mengenal ajaran Islam dan menjadi 
salah satu pengikutnya. Tidakkah anda ingat, bagaimana Allah tuntun anda
 sedikit demi sedikit untuk mengenal iman dan mulai memendarkan 
cahayanya. Bukankah Allah yang mengaruniakan kepada anda nikmat takwa 
dan ibadah kepada-Nya?!
Malik bin Dinar rahimahullah
 berkata, “Orang-orang yang malang diantara penduduk dunia. Mereka telah
 keluar darinya dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling baik 
di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu?”. 
Beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza  wa jalla.”
Hasan al-Bashri rahimahullah
 mengingatkan, “Wahai anak Adam! Sesungguhnya engkau ini adalah kumpulan
 perjalanan hari. Setiap hari berlalu maka lenyaplah bagian dari 
dirimu.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu
 mengatakan, “Jadilah kalian anak-anak akhirat, dan janganlah kalian 
menjadi anak-anak dunia. Sesungguhnya hari ini adalah saat untuk beramal
 dan belum ada hisab. Adapun besok, yang ada adalah hisab, dan tidak ada
 lagi kesempatan untuk beramal.”
Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang pun yang memperbanyak mengingat kematian melainkan pasti akan tampak bekasnya di dalam amalnya.”
Allah ta’ala
 berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah 
kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kalian mati 
kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali ‘Imran: 102)
Apabila kehidupan ini masih 
menghampiri, kesempatan masih terbuka, pintu taubat masih lebar 
terbentang di hadapan anda, mengapa anda berhenti dan terpaku seolah 
kiamat telah tegak dan Israfil telah meniupkan sangkakala? Aduhai, 
saudaraku -semoga Allah merahmatimu engkau tentu tahu bahwa kehidupan 
yang engkau jalani hari ini adalah nikmat dari Rabbmu. Kehidupan yang 
kita lewati, pekan demi pekan, bulan demi bulan, tahun demi tahun, 
adalah sebuah program yang menuntut kesabaran kita, yang meminta 
keteguhan dan keikhlasan, yang memberikan kepada anda waktu dan 
kesempatan untuk terus belajar dan belajar; memperbaiki diri dan 
meninggalkan kekeliruan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
 bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari 
untuk menerima taubat pelaku dosa di siang hari. Dan Allah bentangkan 
tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat pelaku dosa di malam 
hari…” (HR. Muslim)
Betapa seringnya kita lalai. Betapa 
banyaknya kita tenggelam dalam kesia-siaan. Seolah kehidupan ini menjadi
 panggung untuk mementaskan maksiat dan kemunafikan, bukan untuk taat 
dan menunjukkan kesyukuran. Manusia berlomba menumpuk dosa. Manusia 
berlomba memupuk bencana. Padahal, Allah ta’ala
 telah memerintahkan (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb 
kalian; yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, 
mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21-22)
Hakikat penghambaan dan ibadah. 
Ketaatan dan tauhid. Ikhlas dan syukur. Seolah tidak ada yang melekat 
dan tersisa dalam pikiran kita. Kita telah terpedaya dan tertipu oleh 
gemerlapnya dunia. Sehingga ibadah dan dakwah seolah menjadi beban berat
 yang tidak melapangkan dada kita. Sehingga ibadah dan ketakwaan menjadi
 ‘sasaran antara’ menuju ambisi, target, dan kepentingan-kepentingan 
dunia.   
Tidakkah kita ingat, kisah tiga orang 
yang pertama kali diadili pada hari kiamat. Seorang yang berjihad. 
Seorang yang bersedekah. Dan seorang yang pandai agama dan lihai membaca
 Kitabullah ‘azza wa jalla. Gara-gara kehilangan ‘hakikat ubudiyah’ dan keikhlasan, mereka pun terseret dan menjadi bahan bakar api neraka, wal ‘iyadzu billah!
 Ini bukan dongeng atau cerita fiksi, inilah realita yang ada di hadapan
 kita…
Kapankah kita bisa menyadarinya, kapankah kita mau sejenak 
mengoreksi sikap dan tingkah laku kita?!
Kaum muslimin yang dirahmati Allah,
 apabila seorang wanita yang telah terbaring karena penyakit lumpuh yang
 dideritanya masih memiliki asa untuk menebarkan manfaat bagi sesama, 
tidakkah anda yang telah Allah berikan kepada anda berbagai bentuk 
nikmat dan kemudahan dari Allah untuk segera bangkit menuju ampunan dan 
surga-Nya?
Allah ta’ala
 berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang tadinya mati [hatinya] 
kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan untuknya cahaya sehingga dia 
berjalan dengannya di tengah-tengah manusia, sama keadaannya dengan 
orang seperti dirinya [dalam kekafiran] di dalam kegelapan-kegelapan dan
 tidak keluar darinya?” (QS. Al-An’am: 122)
Ibnu Taimiyah rahimahullah
 berkata, “Risalah/ajaran rasul adalah kebutuhan yang sangat mendesak 
bagi hamba. Mereka pasti memerlukannya. Kebutuhan mereka terhadapnya 
jauh di atas kebutuhan kepada apapun juga. Risalah adalah ruh alam 
semesta, cahaya dan kehidupan padanya. Lantas, dimanakah letak kebaikan 
alam semesta, jika tidak ada lagi ruh, kehidupan, dan cahaya?” (lihat 
dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 78)
Wallahu a’lam bish shawaab.
 12.32
12.32
 



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
0 komentar:
Posting Komentar