Senin, 24 Juni 2013

Mudahkah Bersyukur itu

Jangan-jangan bersyukur itu terlalu mudah

Maka tanyakanlah kepada sebuah keluarga kecil, yang hidup seadanya. Berminggu-minggu, dua anak perempuan mereka, yang berusia 9 dan 13 tahun, selalu bilang ingin mencicipi sepiring kentang goreng dan sepotong ayam crispy di sebuah restoran fast food. Tiga bulan berlalu, keinginan itu tercapai. Si sulung menangis saat menghabiskan makanannya, karena dia tahu persis, orang tuanya yang hanya buruh kasar, menyisihkan begitu banyak keperluan lain demi kemewahan sekejap itu. Sungguh dia amat berterimakasih.


Maka tanyakanlah kepada seorang anak kecil, Agus namanya, kelas enam SD. Bertahun-tahun hanya punya sepasang sepatu butut, jahitan ada di mana-mana mencegah sepatu semakin robek. Kalau hujan, jalan ke sekolah becek, Agus melepas sepatunya, rela kakinya kotor, sampai sekolah kaki dicuci, baru dipakai sepatunya, biar sepatunya awet bertahun-tahun ke depan. Agus tertawa lebar, nyengir saat akhirnya dibelikan sepatu baru. Aduhai, indah sekali senyumnya. Sungguh dia amat berterimakasih.

Maka tanyakanlah kepada Nenek Fatimah, usianya lebih 65 tahun. Tinggal sendirian di rumah kecil, hidup dari pensiunan suaminya yang telah duluan meninggal. Anak-anaknya sibuk di lain kota, hidup mereka juga tidak terlalu beruntung, jadi bagaimanalah hendak membantu Ibu mereka. Lima tahun Nenek Fatimah hanya punya satu mukena, sudah kusam warnanya, jarang dicuci, agar tidak jadi lebih cepat rusak. Disayang-sayang, kadang Nenek Fatimah merasa malu, menghadap Tuhan dengan pakaian seadanya. Sungguh, meski sudah keriput, wajah tua itu terlihat begitu terharu saat akhirnya bisa membeli mukena baru, disisihkan dari uang pensiunnya. Satu gumpal air mata mengalir di ujung matanya, Nenek Fatimah mencium mukena barunya. Sungguh dia amat berterimakasih.

Maka tanyakanlah pada bapak Wahid. Namanya memang wahid, nomor satu, tapi seolah dia selalu terakhir dalam urusan lainnya. Bertahun-tahun hanya tinggal di kolong jembatan, digusur, diusir kamtib. Pindah ke bantaran kali, digusur, diusir kamtib pula. Pindah ke tanah kosong, digusur, digebukin preman suruhan pemilik tanah. Keluarganya tidak punya rumah bertahun-tahun, saat akhirnya mereka bisa menyicil rumah, alangkah bahagianya mereka. Sujud syukur berkali-kali. Padahal, kecil saja rumah itu, hanya ukuran 21 meter persegi sudah dapur, ruang tamu, kamar, toilet mepet, sempit satu sama lain, kalah telak bahkan dibanding kamar hotel berbintang yang ukuran paling kecilnya 28 meter persegi ada yg 28 meter persegi itu toiletnya saja. Tidak mengapa, bapak Wahid sudah amat bahagia. Sungguh dia amat berterimakasih.

Maka tanyakanlah pada kita, diri sendiri. Apakah makanan kita seperti dua anak perempuan itu? Apa sepatu kita seperti adik agus? Apakah mukena, kain, peralatan beribadah kita seperti Nenek Fatimah? atau apakah rumah tempat tinggal kita sekarang seperti bapak Wahid? Aduhai, apakah kita lebih susah dibanding hidup mereka? Jika tidak, mengapa kita tidak lebih dari mereka soal urusan bersyukur. Lihatlah, mereka bahkan sampai menangis menyatakan perasaan terima kasih pada yang maha pemilik dunia dan semesta. Lantas kita? bagaimana kita menyatakan semua terimakasih itu?

Saya khawatir, jangan-jangan ‘bersyukur’ itu, bagi sebagian dari kita terlalu mudah, saking mudahnya, kita jadi menyepelekannya. Menggampangkannya. Tidak penting. Semoga tidak demikian. Ya Rabb, semoga kami semua senantiasa berada dalam golongan orang-orang yang pandai bersyukur, secara lisan, dan juga secara perbuatan. Allah sungguh sayang pada hambanya yang bersyukur.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution