Cokelat itu aslinya pahit. Coba saja kalian makan cokelat asli, pahit,
karena mengandung alkoloid. Nah, yang membuatnya jadi manis setelah
diolah, dimasukkan teknologi pangan di dalamnya–baik itu teknologi
simpel atau rumit. Ditambahkan gula, pemanis, susu, dsbgnya. Semua orang
tertipu besar2an sejak kecil, hingga uzur, kalau menyangka cokelat itu
manis dari sananya.
Kopi? Nah, semua orang tahu kalau kopi itu pahit. Pun teh, juga
pahit. Tapi ketika dicampurkan dengan gula, krim, pemanis, diseduh
dengan air hangat, maka dia berubah menjadi minuman yang enak bagi
banyak orang.
Kenapa kita membahas tentang cokelat, kopi dan teh ini? Karena saya
teringat nasehat2 orang tua. Mereka pernah bilang, “Hidup ini boleh jadi
pahit, anakku, seperti kopi, tapi coba kau tambahkan sesendok gula,
maka dia bisa berubah menjadi lezat menyenangkan. Apa itu gula dalam
kehidupan? Tidak lain adalah perasaan tulus, selalu bersyukur. Kau
selalu bisa membuat minuman kehidupan yang lezat dengan resep gula
tersebut.”
Well yeah, saya terbengong2 mendengarnya. Orang tua yang kenyang
dengan pengalaman hidup, sungguh kalimatnya lebih puitis dibanding
pujangga amatiran seperti saya.
Atau yang lain lagi, kita kasih misal. Saya berlari-lari karena
hujan, bergegas melintasi jalanan yang juga sedang sibuk oleh orang2
yang kabur dari hujan. Akhirnya tiba di rumah yang hendak dikunjungi.
Naik tangga, mengucap salam, orang tua yang dimaksud, tempat saya akan
belajar hari ini sedang duduk santai di kursi rotan beranda rumah,
menatap jalanan. Nah, setelah menjawab salam, dia bertanya, “Kau
kehujanan?”
Saya mengangguk, “Lupa bawa payung.”
Dia tertawa, menggeleng, “Anakku, yang membuat kau kehujanan, bukan
karena lupa bawa payung. Yang membuat kau kehujanan karena kau melintasi
hujan. Coba kalau ditunggu, berteduh. Tidak akan kehujanan. Atau
seperti aku sekarang, duduk di rumah, tidak akan pernah kehujanan. Mau
badai, petir, angin kencang, mau seperti apa hebatnya di luar sana,
kalau kau memilih berteduh, dia tidak akan pernah berhasil membuat kita
basah. Tapi sekali kau keluar, mencemplungkan diri, cukup gerimis kecil,
pasti basahlah badan. Hidup ini selalu begitu.”
Saya menyeka rambut, tidak berselera menanggapi panjang lebar–karena
nasehat orang tua selalu lebih baik dipikirkan, tidak akan menang
bersilat lidah melawan mereka yang sudah makan asam garam kehidupan.
Aih, saya barusaja menyebut sebuah frase yang menawan: “makan asam
garam kehidupan”. Kenapa dibilang begitu? Simpel saja, karena orang2
yang lebih tua dibanding kita, tentu makan lebih banyak. Kalau misalnya
sehari kita makan 3x, maka orang yang lebih tua setahun dibanding kita,
jelas rata2 1000 kali lebih banyak makan dibanding kita. Kalau mereka
usianya 10 tahun lebih tua dibanding kita, maka jelas secara rata2
10.000 kali lebih banyak makan dibanding kita. Mereka lebih banyak
“makan asam garam kehidupan”. Itu istilah, jadi kalau kalian ternyata
makanan pokoknya asam dan garam, sehari makan 1kg asam dan garam, ya
secara istilah tetap lebih banyak mereka.
Nah, sebagai penutup, memiliki teman yang lebih tua dibanding kita
boleh jadi menarik, loh. Dengarkan orang-orang yang sudah pensiun, mau
pensiun. Dengarkan kakek-nenek kita, dengarkan cerita-cerita mereka. Kita bisa
belajar banyak hal dari mereka. Jangan sebaliknya, mendengarkan nasehat
orang tua kandung sendiri ogah. Mendengarkan nasehat dari kakak kandung
sendiri pun malasnya tidak ketulungan. Hei, mereka makan asam garam
lebih banyak dibanding kita.
0 komentar:
Posting Komentar