Untuk Siapa Wanita Bekerja
Haruskah seorang wanita bekerja? Bagaimana jika wanita tersebut telah
menikah, bukankah suami yang seharusnya mencukupi kebutuhannya? Lalu
bagaimana bila suami belum dapat memenuhi semua kebutuhan keluarga? Dan
jika tidak bekerja, lalu buat apa wanita diperbolehkan sekolah hingga ke
perguruan tinggi dan bahkan terkadang prestasinya lebih baik dari
laki-laki?!
Adakah pertanyaan tersebut pernah terbesit dalam benak kita, wahai
saudariku? Dilema yang dihadapi kaum muslimah terutama setelah menikah
dan mempunyai keturunan. Pilihan yang dirasa berat saat harus memilih
antara pekerjaan dan keluarga. Karenanya banyak yang memilih untuk
menjalankan keduanya.
Jika dilakukan survei apakah alasan wanita memilih tetap bekerja
setelah menikah dan memiliki anak, beragam alasan yang muncul. Mungkin
alasan yang terbanyak adalah karena faktor ekonomi. Tingginya kebutuhan
keluarga dan harga yang terus meningkat tidak selalu berjalan searah
dengan peningkatan penghasilan menyebabkan istri dituntut pula untuk
membantu suami dalam mencari nafkah keluarga.
Selain masalah ekonomi, ada juga muslimah yang bekerja karena ingin
mengabdikan ilmu yang telah didapatnya seperti dokter, guru dan lainnya.
Dan mungkin ada juga muslimah yang bekerja untuk dapat meniti karirnya
dibidang tertentu. Namun, selain alasan-alasan diatas, ada pula muslimah
yang memilih tetap bekerja karena merasa bosan dengan pekerjaan
rutinitas mengurus rumah tangga atau karena anggapan bahwa dengan
bekerja pergaulan dan statusnya lebih baik dibanding hanya menjadi ibu
rumah tangga. Islam tidak melarang seorang muslimah untuk bekerja,
bukankah putri Rasulullah Fatimah mendapatkan upah dari hasil menumbuk
gandum. Kisah istri Nabi Ayub yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga ketika Nabi Ayub tengah sakit, juga adalah contoh bagaimana
muslimah mengambil peran dalam turut memenuhi kebutuhan keluarga.
Namun tentunya Islam sebagai agama yang sempurna dan komplit
memberikan petunjuk dan arahan apa dan bagaimana sebaiknya muslimah
bekerja. Dan tidak hanya batasan mengenai pekerjaan apa yang baik, apa
yang harus dihindari, tetapi Islam pun memberikan panduan tentang
penghasilan serta harta seorang muslimah yang bekerja.
Tugas atau peran utama yang harus dijalankan oleh seorang muslimah
yang telah menjadi istri dan ibu adalah mengurus rumah tangga, mendidik
anak, menjaga harta suami, menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah yang
tak kalah beratnya dari pekerjaan suami untuk memenuhi nafkah. Seorang
istri tidak memiliki kewajiban untuk turut mencari nafkah, karena
kewajiban ini telah dibebankan kepada suami.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (Al Baqarah: 233)
“Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang telah
ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka melahirkan.” (Ath-Thalaq: 6)
Suami berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak
seperti yang diperintahkan dalam ayat diatas. Dan kewajiban untuk
memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak berlaku meski suami miskin
atau istri dalam keadaan kaya/berkecukupan.
“Hendaklah orang yang
mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya.Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.” (Ath-Thalaq:7)
Mengenai besaran nafkah yang harus diberikan suami untuk keluarga,
menurut beberapa ulama adalah disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan
kebiasaan yang berlaku dimasyarakat.
Hal ini sesuai dengan hadist; “Ambilah nafkah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR Bukhari)
Standar minimal bagi seorang suami dalam memberikan nafkah kepada
keluarga adalah batas kecukupan. Tidak ada jumlah yang pasti untuk
nafkah karena perbedaan waktu, kebiasaan, murah dan mahalnya barang
kebutuhan. Untuk itu suami harus memperkirakan nafkah secukupnya untuk
istri dan anak-anak, baik itu makanan beserta lauknya, pakaian dan
kebutuhan lainnya.
Batas kecukupan inilah yang terkadang memicu perselisihan, karena
setiap orang/masyarakat mempunyai standar kecukupan terhadap kebutuhan
yang berbeda. Keluarga yang tinggal di desa dengan keluarga yang tinggal
di kota akan berbeda standar kecukupannya, meski sebenarnya kebutuhan
dasarnya adalah sama. Seorang istri yang berasal dari keluarga kaya
tentu memiliki standar kecukupan yang berbeda dengan istri yang berasal
dari keluarga sederhana. Untuk itu fuqaha Syafi’iyah menilai ukuran
kecukupan didasarkan pada ketentuan syariat.
Nafkah yang harus dipenuhi suami kepada istri, antara lain tempat
tinggal, makan dan minum, pakaian, dan biaya kesehatan ketika sakit. Hal
tersebut adalah nafkah yang utama disamping nafkah lainnya yang
mengikuti sesuai dengan kebutuhan. Suami berkewajiban memberikan tempat
tinggal untuk ditempati bersama demi mewujudkan ketenangan dan cinta
kasih diantara keduanya. Tempat tinggal tidak disyaratkan harus hak
milik suami, karena dapat juga sewa atau berupa pinjaman. Mengenai
makanan dan minuman suami memberikan nafkah sesuai dengan kebiasaan yang
berlaku, seperti misalnya suami menyediakan berbagai peralatan dapur
serta memberikan uang belanja agar istri dapat memasak. Suami pun wajib
memberikan pakaian kepada istri dengan yang baik. Dan mengenai pakaian
bagi istri, Islam telah mengatur bagaimana pakaian yang sesuai syariat.
Jika istri terbiasa dengan adanya khadimah, maka suamipun dianjurkan
untuk dapat memenuhinya. Namun hal ini tentu kembali kepada kemampuan
dari suami.
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (Ath-Thalaq:7) “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang miskin menurut kemampuannya (pula).” (Al-Baqarah: 236)
Biaya hidup untuk memenuhi beragam kebutuhan tersebut kian tahun
selalu meningkat. Dan alasan inilah yang menyebabkan banyak muslimah
yang turut membantu suami dalam mencari nafkah.
Jika dulu mungkin pekerjaan yang tersedia untuk para muslimah adalah
pekerjaan-pekerjaan yang tidak jauh dari pekerjaan yang berkaitan dengan
rumah tangga. Sekarang ini seiring dengan akses untuk pendidikan yang
lebih terbuka baik untuk pria maupun wanita, lapangan pekerjaan pun
semakin luas untuk para wanita. Bahkan ada yang mengatakan dengan
disebarluaskannya isu kesetaraan gender, wanita memiliki kesempatan dan
hak yang sama untuk setiap bidang pekerjaan.
Karena hal tersebut juga, sebagian orang berpendapat masuknya wanita
pada pekerjaan di sektor publik mempersempit lapangan kerja bagi lelaki,
sehingga lelaki menjadi sulit mendapat pekerjaan. Banyak industri yang
terutama perusahaan kapitalis lebih memilih pekerja wanita karena
dinilai lebih teliti, lebih tekun dan lebih kecil upahnya atau
kesejahteraan yang harus ditanggungnya.
Entah pendapat tersebut benar atau tidak, perlu dikaji lebih dalam
lagi. Tetapi, ada hal yang perlu menjadi renungan kita bersama wahai
ukti, ketika kita memutuskan untuk bekerja membantu suami memenuhi
nafkah keluarga. Luruskanlah niat kita untuk benar-benar membantu suami
memenuhi nafkah keluarga, bukan karena ingin mengejar karir, kedudukan,
popularitas atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain yang bukan
utama dan hanya karena ingin terlihat lebih baik dimata orang lain.
Di tengah arus informasi yang deras, tidak semua berita dan informasi
benar dan bermanfaat. Ada beberapa pihak yang sengaja memanfaatkan
wanita sebagai objek komersial, seperti propaganda kecantikan dengan
berbagai produk perawatan hingga fashion. Image sebagai wanita modern
yang memiliki karir dan keluarga harmonis menjadi topik di media-media,
bahkan media yang khusus wanita tumbuh pesat. Wanita-wanita sukses
menurut versi media kebanyakan adalah yang memiliki karir di posisi
tinggi pada perusahaan dan memiliki keluarga yang harmonis dimana
anak-anaknya memiliki prestasi akademis atau seni yang baik.
Sebagai muslimah, kita perlu terus memperkaya diri dengan ilmu yang
berasal dari Quran dan Hadist agar dapat memilah dan memilih informasi
yang benar dan bermanfaat bagi diri dan keluarga. Tugas utama manusia
adalah untuk beribadah kepada Allah Swt., dan ini berlaku untuk lelaki
maupun wanita. Dan bagi wanita muslimah ketika telah berkeluarga tugas
utamanya adalah melayani suami, melahirkan dan merawat serta mendidik
anak-anak, dan menjaga rumah, harta dan kehormatan suami. Para ulama
berpendapat bahwa melakukan pekerjaan rumah tidak merupakan kewajiban
bagi istri, tetapi hal itu dianjurkan sebagaimana kebiasaan yang berlaku
dan istri mendapat pahala dengan mengerjakan pekerjaan rumah secara
ikhlas.
Islam tidak melarang seorang wanita untuk bekerja, namun ada beberapa
kekhawatiran seiring dengan semakin banyaknya wanita yang memutuskan
untuk tetap bekerja dan mengejar karir di luar rumah. Beberapa dampak
negatif yang timbul diantaranya keluarga terpecah karena suami istri
sibuk bekerja dan anak-anak menjadi terlantar, istri menjadi terlalu
lelah karena konsentrasi yang terbagi antara beban pekerjaan di luar
rumah dan juga dirumah, banyak penelitian mengungkap salah satu pemicu
angka perceraian meningkat adalah kerena wanita terlalu sibuk di luar
rumah sehingga mengabaikan urusan rumah tangga dan memicu pertikaian,
angka pengangguran lelaki yang meningkat, dan tersebarnya fenomena
kerusakan sosial di masyarakat.
Sebelum memutuskan untuk bekerja di luar rumah, ada baiknya melihat
pada beberapa faktor syar’i yang mendorong seorang muslimah untuk
bekerja di luar rumah antara lain: Suami kesulitan memberi nafkah istri
dan keluarga. Syariat memberi pilihan bagi istri yang suaminya tidak
mampu memberi nafkah antara mengajukan fasakh atau tetap bertahan
sebagai istri, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Istri yang
memilih mempertahankan kehidupan suami istri terpaks harus bekerja untuk
mendapatkan materi sebagai penopang kehidupannya dan juga keluarga. Suami dengan pendapatan terbatas sementara istri tidak bisa bekerja
karena sibuk membangun kehidupan mulia bersama anak-anak. Akhirnya
kondisi ini mendorong istri bekerja untuk mendapatkan materi yang bisa
meningkatkan taraf hidup pribadi dan keluarga atas kerelaan hatinya. Istri memiliki utang yang harus dilunasi sehingga istri terdorong
bekerja demi mendapatkan uang untuk menutup utang tersebut.
Selain itu, bagi seorang muslimah ada kaidah-kaidah syar’i yang perlu
diperhatikan ketika bekerja di luar rumah untuk menghindari berbagai
sisi negatif: Mengenakan pakaian syar’i yang diwajibkan Allah untuk
menutupi aurat serta menjaga kehormatan dan kemuliaan Tempat kerja
tidak membaur dengan kaum lelaki dalam bentuk yang bisa menimbulkan
kerusakan.
Sementara jika berinteraksi dengan kaum lelaki namun tetap
mengindahkan kaidah-kaidah syar’i, hukumnya tidak apa-apa, dengan
catatan si wanita tidak berhadapan langsung dengan lelaki. Pekerjaan
yang dilakukan harus halal dan tidak bertentangan dengan nash-nash
syariat. Misalnya, mereka tidak boleh bekerja di bank-bank ribawi atau
bekerja di tempat-tempat pemicu perbuatan keji, maksiat dan lainnya yang
diharamkan Allah.
Suami tahu si istri bekerja di tempatnya, tidak
boleh keluar meninggalkan tempat kerja tanpa izin suaminya. Hal ini
tidak mesti suami tahu setiap hari, tetapi cukup dengan izi secara umum
sebelumnya. Harus mengindahkan etika-etika Islami dalam berinteraksi
dengan orang lain. Misalnya menjawab salam, menundukkan pandangan, tidak
menggunjing orang lain, menghindari berduaan dengan lelaki yang bukan
mahram, saat bicara harus tegas tanpa dibuat-buat atau dengan tutur kata
lembut saat berbicara dengan lelaki. Bertakwa kepada Allah dalam
melakukan pekerjaa dengan menunaikannya secara baik karena pekerjaan
yang ditugaskan merupakan amanat.
Sebelum keluar meninggalkan rumah
harus memastikan makanan untuk anak-anak dan siapa yang menjaga mereka.
Misalnya, dititipkan pada keluarga atau orang yang dikenal yang bisa
dipastikan anak-anak aman selama si ibu bekerja. Atau dititipkan pada
pembantu dengan catatan si pembantu harus bisa dipercaya dan amanah.
Atau menitipkan ke lembaga pendidikan dan tempat-tempat pengasuhan anak
yang terpercaya. Hal tersebut untuk menghindari apa yang dikatakan
Rasulullah: “Cukuplah dosa bagi seseorang dengan menyia-nyiakan orang
yang menjadi tanggungannya.” Harus mendapatkan izin suami untuk pergi
bekerja. Terlebih ketika suami tergolong kaya dan mampu memberi nafkah.
Lain soal ketika suami miskin dan tidak mampu memberi nafkah, saat itu
suami tidak boleh melarang istrinya bekerja. Harus menunaikan hak suami
di rumah. Bekerja di luar tidak boleh membuat istri lalai dalam
menunaikan hak suami, misalnya tidak pulang dalam jangka waktu lama saat
suami berada di rumah. Khususnya ketika suami sangat memerlukan
keberadaannya.
Jika syarat-syarat yang disebutkan diatas telah terpenuhi, maka
sah-sah saja bekerja di luar rumah tanpa resiko apapun. Ketika seorang
istri bekerja, ia akan memiliki penghasilan sendiri dan penghasilan yang
dimiliki oleh istri adalah hak sepenuhnya istri untuk menggunakannya,
karena kewajiban untuk memberikan nafkah hanya ada pada suami. Namun,
istri yang memberikan penghasilannya untuk keperluan keluarga dan rumah
tangga terhitung sebagai sedekah. Dan jika ada kesepakatan antara suami
istri untuk turut bersama memenuhi kebutuhan keluarga di atas prinsip
kasih sayang adalah solusi yang terbaik.
Sekarang ini, banyak sekali peluang pekerjaan bagi wanita, namun
tidak sedikit pula peluang-peluang bisnis yang dapat dikerjakan di
rumah. Untuk itu, mari sama-sama kembali meluruskan niat ketika harus
meninggalkan keluarga dan bekerja di luar rumah untuk benar-benar
membantu suami dan meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dalam
membangun mahligai rumah tangga.
Melakukan pekerjaan dengan baik karena
itu bentuk dari menjalankan kewajiban untuk menjalankan amanah sesuai
dengan yang Allah dan Rasulullah contohkan, bukan karena ingin
mendapatkan kedudukan/karir yang baik serta penghasilan yang tinggi.
Terus mendukung suami untuk dapat melaksanakan tugasnya dalam memenuhi
nafkah dan aturlah kesepakatan keperluan rumah tangga mana yang dapat
dibantu dari penghasilan istri.
Seperti yang disebutkan dalam surat
Ath-Thalaq (7) “Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan.”
Utamakanlah pemenuhan kebutuhan keluarga dan rumah tangga, bukan
hanya menuntut nafkah kepada suami untuk hal-hal yang sifatnya hanya
pelengkap dan hanya untuk penampilan atau kesenangan semata.
Wallahua’lam.
Sumber : Saat Istri Punya Penghasilan Sendiri, Hannan Abdul Aziz, Penerbit Aqwam
0 komentar:
Posting Komentar