Jumat, 05 Februari 2016

Satukan Kapas-Kapas Itu!

Kumpulkan Kembali Kapas-Kapas Itu!

Berhati-hatilah menjaga lidah karena ketajamannya bisa melebihi pedang, bahkan bisa mematikan kehidupan seseorang sedangkan nyawa masih melekat di badan. Fitnah yang ditimbulkan lidah adalah lebih kejam dari pembunuhan, hal ini sudah sering kali kita dengar.
Dan kultum yang aku ikuti di masjid Asy- Syifa bada’ sholat Dzuhur siang itu kembali menyadarkanku, bukan saja dasyatnya efek yang ditimbulkan fitnah, tapi juga betapa sulitnya menebus kesalahan, memulihkan nama baik dan hak-hak kehidupan mereka yang menjadi korban.
 
Adalah si Fulan, yang karena rasa iri dan dengkinya kepada seorang tokoh terkemuka, kemudian tega menfitnah sang tokoh. Dalam waktu sekejap, fitnah terhadap sang tokoh menyebar hingga ke pelosok desa, bersambung dari mulut warga yang satu ke warga yang lainnya. Terlebih orang yang menjadi korban fitnah ini adalah orang yang selama ini terpandang, memilki pengaruh di masyarakatnya.

Kabar fitnah yang menghebohkan akhirnya sampai ke telinga sang tokoh, termasuk siapa yang pertama kali menyebarkan berita tidak benar ini. Tidak terpancing emosi, sebaliknya sang tokoh tenang-tenang saja menanggapi berita miring tentang dirinya yang kini menjadi perbincangan hampir seluruh warga di setiap tempat dan pertemuan. Ia yakin bahwa kebenaran akan menemukan jalannya, siapa yang berdusta akan terbongkar kedoknya, hanya tinggal menunggu waktunya saja.

Keyakinan sang tokoh terbukti. Beberapa hari setelah fitnah menyebar ke seluruh masyarakat tanpa sedikitpun membuat sang tokoh tersulut emosinya, datanglah si fulan ke rumah sang tokoh. Dengan berurai air mata, ia mengakui semua kejahatannya, sengaja menyebarkan berita dusta kepada masyarakat. Sang tokoh yang sudah tahu sebelum si fulan mengaku, hanya tersenyum dan mengabulkan permohonan maaf sang fulan.

“Apa yang harus saya lakukan untuk menebus kesalahan? Apa tidak terlalu ringan jika anda hanya memaafkan tanpa member saya hukuman?” Si fulan masih belum yakin dengan pemberian maaf sang tokoh. Menurutnya, akan lebih tenang batinnya apabila selain memohon maaf, ia melakukan sesuatu sebagai bukti bahwa ia benar-benar menyesal dan sang tokoh memaafkan tanpa rasa dendam sedikitpun. Bekerja tanpa dibayar sekalipun akan fulan sanggupi bila memang itu yang sang tokoh kehendaki.

“Aku sudah memaafkan dirimu, sebelum dirimu datang dan meminta maaf padaku. Hanya saja, jika kau kau meminta hukuman agar tenang hatimu, aku hanya ingin besok engkau datang lagi kesini dengan membawa sekarung kapas” jawab sang tokoh tenang.

“Baik! Besok saya akan datang dengan sekarung kapas yang engkau minta” fulan senang bukan kepalang. Betapa gampang ia mendapatkan maaf, bahkan tebusan kesalahannyapun hanya sekarung kapas. Dengan mudah ia bisa mendapatkan kapas dari pohon randu yang banyak tumbuh di pekarangannya. Apalagi saat ini pohon randu itu sedang berbunga. Barangkali sang tokoh yang pernah ia fitnah ini sedang menginginkan bantal kapas yang benar-benar empuk. Kalau tahu hanya akan diminta sekarung kapas, tak perlu ia ketakutan begitu rupa membayangkan sang tokoh tidak mau memaafkan bahkan akan memberikan hukuman yang berat, begitu pikir fulan.

Sehari berikutnya, dengan wajah sumringah si fulan kembali mendatangi rumah sang tokoh dengan sekarung kapas yang dimintanya. Seberapa berat sih kapas sekarung, cukup dengan satu tangan si fulan bisa membawanya tanpa harus mengeluarkan tenaga yang berarti.

“Letakkan kapas itu di tengah halaman” sang tokoh memberikan instruksi pada si fulan. “Nanti, ketika angin bertiup kencang, buka ikatan karungnya” sang tokoh menambahkan.

Semula fulan berpikir sang tokoh ingin melihat apakah kapas yang dibawanya benar-benar sudah kering dan berkualitas bagus. Tapi membuka ikatan karung saat angin bertiup kencang sungguh tak fulan mengerti apa yang sang tokoh inginkan.

“Ah, peduli amat apa yang ia inginkan. Yang penting aku sudah membawakan kapas yang ia minta. Paling-paling nanti setelah karung aku buka dan kapas terbang terbawa angin, aku hanya diminta membersihkan halaman dari kapas-kapas yang berserakan. Sangat mudah! Apalagi kalau anginnya kencang, otomatis halaman rumah ini akan bersih dengan sendirinya. Sungguh aneh sang tokoh ini. Begitu mudah ia memaafkan, bahkan memberi hukuman saja seperti mainan” pikir si fulan.

Begitu angin bertiup kencang, dengan santainya si fulan membuka ikatan karung yang berisi kapas di tengah halaman. Bahkan ia sengaja membuka karung itu lebar-lebar agar kapas dalam karung itu cepat habis terbawa angin dan selesai sudah hukumannya.

“Kapasnya sudah habis terbawa angin, bahkan tak satupun yang tersisa di halaman. Masih adakah yang harus saya kerjakan?” tanya fulan dengan senyum lega di bibirnya.

“Engkau ingin benar-benar kesalahanmu menfitnah terhapus ?” tanya sang tokoh tenang. Ada sesuatu yang sama sekali tak diduga oleh si fulan. Senyum di bibirnya nyata sekali menunjukan bahwa dia merasa semua urusannya selesai sudah.

“Ya, tentu saja. Katakan apa lagi yang harus saya lakukan? Saya akan segera lakukan dan setelah itu saya akan segera pulang, anak dan istri saya sudah menunggu di rumah” jawab si fulan tak sabar. Ia ingin segera terbebas dari semua rasa bersalahnya pada sang tokoh.

“Baiklah kalau kau menyanggupinya. Sekarang, kamu ambil karung itu dan kumpulkan kembali semua kapas-kapas tadi, jangan ada yang tercecer sedikitpun” jawab sang tokoh.

“Mengumpulkan kembali kapas-kapas yang sudah menyebar terbawa angin? Mana mungkin?!” si fulan benar-benar terkejut. Jika bukan karena kesalahan yang telah ia lakukan, ingin sekali rasanya dia marah. Ia putus asa. Ia telah menyanggupi apapun yang akan diminta sang tokoh, tapi kini tak mungkin baginya mengumpulkan kembali kapas-kapas yang sudah terbawa angin, terbang entah kemana.

Sang tokoh sudah menduga bahwa si fulan tidak akan mampu melakukan apa yang ia minta. Dengan tenang ia menghampiri fulan. “Begitulah ketika fitnah kau sebarkan. Bagai kapas yang diterbangkan angin, menyebar ke seluruh arah. Sulit dikendalikan, bersambung dari mulut yang satu ke mulut yang lainnya, hingga seluruh masayarakat tahu dan percaya akan berita dusta yang kau sampaikan. Aku hanya manusia, tak pantas berlaku angkuh dan tak memaafkanmu. Tapi, apakah dengan permohonan maafmu lantas semua pandangan negatif orang tentang diriku berubah seketika? Dalam benak mereka sudah terekam berita palsu tentang diriku. Sekarang berapa banyak orang yang termakan fitnahanmu, kau sendiri tidak bisa memastikan. Meskipun kau datangi mereka satu persatu, tak bisa mengembalikan keadaan seperti semula sebelum mereka termakan dustamu” tenang sang tokoh menjelaskan.

Si fulan terkulai lemas, air matanya jatuh tak tertahan lagi. Ia menangis dan menyesali. Betapa dasyat fitnah yang telah ia ciptakan. Dan ia lebih menangis karena karena betapa sulit baginya untuk mengembalikan keadaan, membersihkan nama baik sang tokoh dan mengembalikan hak-hak hidupnya seperti semula. Benar kata sang tokoh bahwa ia tak tahu pasti berapa banyak orang yang sudah termakan fitnahannya. Tidak mudah menghentikan berita yang terlanjur menyebar. Tidak gampang mengubah opini dan menghapus image buruk masyarakat terhadap sang tokoh. Si fulan terus menangis, dan tangisannya tak mampu mengembalikan keadaan.

Satu pelajaran berharga dari kisah si fulan di atas. Merinding aku membayangkan betapa dasyat dampak yang diakibatkan oleh sebuah fitnah. Fitnah lebih kejam dari pembunuhan kiranya bukan sebatas ungkapan saja, tapi nyata adanya. Bagaimana tidak, seseorang yang menjadi korban fitnah akan kehilangan nama baiknya, kehilangan hak-haknya, kehilangan kehidupannya sementara nyawa masih berada dalam tubuhnya. Juga, betapa sulit untuk mencabut, meralat fitnahan yang sudah terlanjur menyebar. Bersambung, berpindah dari satu mulut ke mulut lainnya. Tak terkendali seberapa jauh ia akan menyebar, seberapa banyak orang yang akan termakan dan akhirnya turut menyebarkan fintah itu.

Ngeri rasanya membayangkan jadi korban fitnah, apalagi menjadi penyebar fitnah. Astaghfirulloh! Betapa sulit menebus kesalahan yang terlanjur dilakukan meskipun sang korban telah memaafkan namun tidak berarti selesai semua urusan. Masih ada keharusan membersihkan nama baik korban, mengembalikan semua hak-hak yang terampas, membalikan opini masyarakat yang terlanjur terbentuk. Sungguh sangat tidak mudah, apalagi apabila si korban sudah terlanjur meniggal sementara maaf belum didapatkan. Astaghfirulloh! Nau’zubillah!

Berhati-hati dalam memberikan tanggapan ataupun penilaian, barangkali bisa dijadikan salah satu solusi untuk membentengi diri dari menciptakan fitnah. Bukan tidak mungkin, tanpa kita sadari prasangka, pernyataan yang kita sampaikan adalah fintah bagi pihak lain. 

Astaghfirulloh! Menyampaikan pendapat atau dugaan pribadi tentang seseorang tanpa konfirmasi akan kebenarannya, kemudian mengatakan seolah hal itu adalah benar hingga kemudian orang mempercayainya, apakah termasuk juga fitnah? Bagaimana menurut anda? Ya Allah, lindungi hamba dan keluarga hamba dari kejamnya fitnah dunia yang selalu mengintai dari depan dan belakang, kiri dan juga kanan. Juga lindungi, bimbing dan jauhkan kami dari membuat dan atau menyebarkan fitnah yang membinasakan.  



Amin ya robbal ‘alamin.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution