Tetap Baik Dalam Lingkungan Buruk
Catatan Kepala:
”Sulit
sekali untuk menjadi pribadi yang baik jika kita tinggal di lingkungan
yang buruk. Namun, jika keadaan tidak memungkinkan untuk keluar dari
lingkungan itu, kita masih memiliki kesempatan untuk menjadi pribadi
yang baik.”
Menyingkir merupakan salah satu solusi ampuh untuk menghindari pengaruh buruk lingkungan. Sayangnya, hal itu tidak selalu praktis untuk dilakukan. Jika rumah kita berada di lingkungan yang kurang harmonis, misalnya. Pindah rumah tidaklah selalu murah. Jika suasana kerja dikantor kita tidak lagi kondusif, pindah kerja juga bukan perkara mudah.
Mungkinkah kita bisa
tetap memiliki sikap dan perilaku baik jika tetap tinggal di lingkungan
sedemikian buruk? Inilah
pertanyaan yang sejak lama mampir di benak saya; “Kenapa, ikan laut
tidak ikut menjadi asin?” Meski sepanjang hidupnya ikan itu berendam
dalam air asin, namun dagingnya tetap saja tawar. Mungkin ini isyarat
yang menunjukkan bahwa jika mau kita bisa tetap menjadi pribadi yang
baik, meskipun orang-orang disekitar kita pada melakukan keburukan
secara berjamaah.
Kita, kadang takut tersingkir dari lingkungan jika
tidak ikut-ikutan perilaku kebanyakan orang. Jika tidak ‘menyesuaikan’
diri dengan praktek-praktek tak pantas atasan, kita takut karir akan
mentok. Jika tidak meniru perilaku tak patut teman-teman, kita akan
disisihkan. Hari ini, kita diingatkan kembali bahwa tidak peduli seasin
apapun air laut. Seberapa lamapun ikan berendam didalamnya.
Daging ikan
itu tidak ikut menjadi asin. Dari pelajaran ini kita tahu bahwa; tetap
menjadi pribadi yang baik dalam lingkungan yang buruk itu bukanlah
sebuah kemustahilan. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar
menjaga kebaikan pribadi didalam lingkungan yang buruk, saya ajak
memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intelligence (NatIn™),
berikut ini:
1. Dari asalnya asing kembali menjadi asing.
1. Dari asalnya asing kembali menjadi asing.
Guru kehidupan saya mengajarkan bahwa sebelum para Nabi diutus, manusia hidup dalam masa kegelapan. Dimasa itu, kebaikan seolah menjadi barang asing. Itulah sebabnya mengapa ketika para Nabi datang membawa pencerahan; mereka dimusuhi. Ajaran dan ajakannya dinilai tidak relevan dengan keadaan. Dengan kegigihan para utusan itu kemudian manusia berjalan menuju cahaya. Dibawah bimbingan pribadi-pribadi agung itu orang-orang mulai beralih kepada kebaikan, hingga akhirnya keburukan tersisih sedangkan kebaikan menjadi sebuah kebiasaan.
Ketika para Nabi dipanggil pulang,
nilai-nilai kebaikan mulai terkikis lagi oleh keburukan yang menjanjikan
kemudahan dan gelimang kenikmatan. Sampai akhirnya kebaikan yang dahulu
asing itu kembali menjadi asing. Maka tidak perlu terlampau heran jika
menyaksikan kompakkan sekelompok orang dalam mempertahankan keburukan.
Bahkan tidak malu lagi mempertontonkan kepiawaiannya dalam melakukan
keburukan itu. Karena, sudah menjadi fitrah bahwa kebaikan itu akan
kembali menjadi barang asing. Namun, ada kabar baik bagi mereka yang
masih tetap memiliki nilai-nilai kebaikan didalam dirinya. Karena dia
langka. Maka nilainya sangat berharga.
2. Memiliki kemampuan yang bisa diandalkan.
2. Memiliki kemampuan yang bisa diandalkan.
Salah satu titik lemah kita adalah keadaan dimana kita merasa tidak berdaya. Kita tidak bisa berbuat apa-apa sehingga apa maunya lingkungan ya terpaksa diikuti saja. Penyebab utama keadaan ini adalah karena kita tidak memiliki kemampuan yang bisa diandalkan untuk meraih kecukupan dalam menjalani hidup. Beda sekali dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang bisa diandalkan. Mereka bisa membawa diri dengan sebaik-baiknya sehingga meski lingkungan buruk menuntutnya melakukan sesuatu, mereka masih bisa menjaga kemandirian. Pengaruh buruk lingkungan tidak bisa menjamahnya. Karena dengan kemampuannya yang bisa diandalkan, mereka tidak menggantungkan diri pada lingkungan yang buruk itu.
Mungkin sudah saatnya kita belajar
memampukan diri sendiri. Semakin kita sadar belum memiliki kemampuan
itu, semakin kita terdorong untuk memulai membangunnya saat ini juga.
Mungkin hari ini kita masih bergantung pada lingkungan. Namun, besok
lusa, mungkin kita sudah bisa lebih berdaya. Beberapa tahun lagi, Insya
Allah kita bisa membebaskan diri dari jerat pengaruh buruk lingkungan.
Karena beberapa tahun lagi, mungkin kita sudah memiliki kemampuan yang
bisa diandalkan. Lama nian? Tidak masalah. Itu jauh lebih baik daripada
pasrah saja, mengikuti arus yang kita tahu tidak betul itu. Yuk, terus
melatih diri. Agar perlahan tapi pasti, kita bisa mempersiapkan esok
yang lebih baik. Dan lebih berkah lagi.
3. Membuang sifat serakah.
Kita ini tidak miskin-miskin amat lho. Semua yang kita dapat cukup untuk menjalani hidup. Sayangnya, kita tetap saja merasa tidak cukup. Kita suka bingung kala membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Sehingga kita sering menginginkan segala sesuatu yang tidak kita butuhkan. Bahkan ketika semua kebutuhan hidup sudah terpenuhi, kita masih saja mengumbar keinginan terhadap ini dan itu. Bukan soal keinginannya yang salah, tetapi menyelaraskan keinginan itu dengan kemampuan aktual kita. Penghasilan kita misalnya cukup untuk menempuh hidup yang layak dan bermartabat.
Namun gaya hidup kita, melampaui kemampuan sebenarnya.
Makanya kita sering kepepet. Sedangkan kata ‘kepepet’ memiliki sahabat
karib bernama ‘terpaksa’. Jika sudah ‘kepepet’, tiba-tiba saja kita
berada pada situasi yang memungkinkan kita melakukan sesuatu karena
‘terpaksa’ itu. Melihat bagaimana cara orang lain mengatasi
keterpepetan itu, akhirnya kita terpaksa mengikuti mereka. Padahal,
selama gigih berusaha dan berikhtiar; maka hidup kita sudah dijamin.
Tuhan yang menjanjikan itu, seperti tertera dalam kitab suciNya. Namun,
tidak ada ikhtiar yang bisa memenuhi tembolok yang dibuat dari kantung
keserakahan. Maka agar bisa terhindar dari pengaruh buruk lingkungan,
kita perlu membuang sifat-sifat serakah yang ada didalam diri kita
sendiri.
4. Mengajak anggota keluarga untuk tetap baik.
4. Mengajak anggota keluarga untuk tetap baik.
Sungguh tidak mudah untuk menjaga agar orang-orang terdekat kita tetap baik ditengah godaan lingkungan yang buruk. Khususnya terkait godaan hedonisme. Pameran barang mewah. Pertunjukan pelesir kesana kemari. Parade gadget keren dan berganti-ganti. Oh. Seperti serangan bertubi-tubi. Kita sendiri, mungkin bisa menangkisnya karena kita tahu persis sampai sejauh mana kemampuan aktual kita.
Tetapi, anggota keluarga kita istri suami
anak-anak sanggupkah mereka untuk kuat seperti kita? Pantas jika kitab
suci mewanti-wanti; “Jagalah dirimu dan keluargamu….” Benar firman itu
adanya. Buktinya, cukup banyak kan orang hebat yang jatuh karena
keluarganya? Bahkan penasihat kehidupan rumah tangga pun belum tentu
memiliki resep yang ampuh. Karena tak jarang mereka yang terampil
menasihati orang lain pun tidak sanggup menolong dirinya sendiri. Maka
kita hanya bisa meraba dan mencoba berbagai cara. Khususnya, cara-cara
yang tertera dalam kitab yang dibuat melalui wahyu Ilahi. Semoga.
5. Meyakini adanya hari perhitungan.
5. Meyakini adanya hari perhitungan.
Hanya dalam film-film kebaikan selalu memenangkan pertempuran melawan keburukan. Dalam dunia nyata, keburukan sering lebih terorganisir, lebih kompak, dan lebih perkasa. Maka dalam dunia nyata, kita sering melihat kebaikan terkapar nyaris sekarat. Sedangkan keburukan berpesta pora diatas singgasana kemegahan berkilau gemerlap. Itulah dunia nyata. Maka ketika memilih untuk menjadi pribadi yang baik, mungkin kita akan berhadapan dengan kenyataan bahwa kebaikan-kebaikan yang kita praktekkan. Maupun nilai-nilai positif yang kita tebarkan. Seolah dikepung oleh kekalahan atas riuh rendahnya keindahan melakukan keburukan.
Nikmat dan lezatnya
kemunkaran. Nyaman dan menyenangkannya kebatilan. Maka kebaikan pun
kalah telak. Itulah dunia nyata. Namun, sungguh beruntung orang-orang
yang meyakini adanya hari perhitungan. Karena keyakinan itu memberi kita
penghiburan bahwa setiap keburukan yang dilakukan oleh siapapun ada
hitung-hitungannya. Demikian pula dengan setiap kebaikan yang ada
catatan dan takarannya masing-masing. Maka selama meyakini hari
perhitungan itu, hati kita menjadi tenteram. Dan kita tahu, bahwa
kebaikan yang kita sedang upayakan ini; tidak membawa kita ke tempat
manapun selain pahala yang kelak akan kita peroleh tanpa akhir.
Kantor Anda dipenuhi oleh orang-orang yang memamerkan cara-cara buruk? Lingkungan tempat tinggal Anda didominasi oleh perilaku-perilaku kotor? Tidak usah mengeluhkan itu. Cukuplah berfokus kepada 1 hal ini: meniru bagaimana caranya ikan bisa tetap tawar didalam air laut. Tahukah Anda mengapa ikan itu tetap tawar? Tepat sekali.
Kantor Anda dipenuhi oleh orang-orang yang memamerkan cara-cara buruk? Lingkungan tempat tinggal Anda didominasi oleh perilaku-perilaku kotor? Tidak usah mengeluhkan itu. Cukuplah berfokus kepada 1 hal ini: meniru bagaimana caranya ikan bisa tetap tawar didalam air laut. Tahukah Anda mengapa ikan itu tetap tawar? Tepat sekali.
Dia hidup. Maka selama ikan itu
hidup, dia akan terus berjuang agar garam diair laut tidak mencemari
tubuhnya. Bagaimana dengan kita? Yuk kita meniru sang ikan; selama kita
hidup, kita akan terus berjuang agar pengaruh buruk lingkungan tidak
mencemari diri kita. Karena selama ikan itu hidup, dia bisa memfungsikan
sel khusus untuk menyaring garam. Sel itu bernama ionocyte. Karena
selama kita hidup, kita bisa memfungsikan organ khusus yang menyaring
keburukan. Organ itu. Bernama. Kalbu. Semoga.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
Catatan Kaki:
Ketika keburukan
terlihat dominan didalam lingkungan yang kita tinggali, kita memiliki 2
pilihan; mengikutinya. Atau menjadikannya penguat tekad untuk tetap
menjadi baik.
0 komentar:
Posting Komentar