Menilai Buruk Orang Lain
Catatan
Kepala:
”Jika Anda menemukan orang-orang yang kurang menyukai Anda.
Atau memperlakukan Anda dengan cara yang kurang pantas. Mungkin mereka
bukan membenci Anda. Mereka hanya belum mengenal siapa Anda.”
Ada ungkapan tak kenal maka tak sayang. Ada benarnya juga sih, meskipun kadang kita suka merasa ‘sayang’ kepada orang yang tidak kita kenal, ya kan? Perkenalan kita dengan orang lain, bisa berdampak baik. Bisa juga berdampak buruk. Bergantung dengan siapa kita berkenalan. Sampai batas mana tingkat perkenalan kita. Dan, bagaimana kita bersikap terhadap perkenalan yang sudah kita bangun.
Dalam interaksi kita dengan orang lain, kita sering
mengalami pasang surut. Kadang senang, kadang sedih. Bisa benci, cinta,
sayang, sebal. Apapun. Namun, dari sekian banyak dinamika itu; kita
sering terjebak untuk memberikan penilaian buruk kepada orang lain. Atau
sebaliknya, orang lain yang menilai kita buruk. Padahal, belum tentu
penilaian itu benar.
Ketika membawakan sesi training in-house di perusahaan yang meng-hire saya, saya sering mengalami peristiwa seru juga. Kadang ada saja orang yang ‘menilai’ bahwa keberadaan dirinya di ruangan itu sama sekali tidak ada gunanya. Atau, mungkin juga sebenarnya beliau menilai keberadaan saya di ruangan itu yang justru tidak ada gunanya.
Hal itu terpancar dari
sikapnya. Cara berbicaranya. Bahkan dari caranya memandang kearah saya.
Seakan hendak mengatakan; “who do yo think a hell you are!” Di akhir training biasanya orang-orang seperti itu datang menyalami bahkan ada yang memeluk; “Maafkan saya Pak….” Bisiknya.
Saya sendiri percaya bahwa tidak ada yang harus dimaafkan. Tidak ada
yang salah kok. Tetapi, kadang saya mendengar ucapan tulus yang mengakui
jika sebelumnya beliau salah sangka atau under-estimate pada saya.
Soal
ini, mungkin kita semua pernah melakukannya. Saya dan Anda pun bisa
jadi pernah demikian. Namun, kesadaran seperti inilah yang justru bisa
menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Bagi Anda yang tertarik
menemani saya belajar menjadi pribadi yang lebih baik melalui interaksi
dengan orang lain, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang
Natural Intelligence berikut ini:
1. Setiap orang memiliki sisi baik.
1. Setiap orang memiliki sisi baik.
Sesebel-sebelnya kita kepada seseorang, hal itu tidak menjamin jika diri kita lebih baik dari orang itu. Jika tidak keberatan, silakan ingat-ingat; siapa orang yang paling tidak Anda sukai? Anda tentu mempunyai alasan untuk membencinya. Tetapi, sebaiknya sesekali Anda berkaca kembali kedalam diri; apakah diri kita tidak memiliki sesuatu yang bisa menjadi alasan bagi orang lain membenci kita juga? Jika sampai sekarang semua orang masih menyukai Anda, bukan berarti Anda sempurna. Mungkin karena mereka belum pernah Anda kecewakan.
Mungkin diantara Anda ada orang yang pernah saya
kecewakan. Saya yakin orang itu tidak menyukai saya. Tetapi, saya yakin
benar jika sebagian besar orang yang membaca tulisan ini tidak membenci
saya. Mengapa? Karena saya baik? Bukan. Itu karena mereka belum
‘merasakan’ efek dari keburukan saya. Kepada saya, mungkin ada yang
benci. Tapi, ada juga yang sayang. Yang sekarang sayang pun, besok bisa
ikut membenci; jika dia tahu ‘belangnya’ saya.
Selain menunjukkan bahwa
kita ini sama tidak sempurnanya dengan mereka yang kita benci, juga
menujukkan bahwa diantara keburukan setiap orang; selalu terselip
kebaikan mereka. Maka tantangannya adalah; bagaimana kita bisa semakin
mengasah dan mengkilapkan sisi baik itu, sehingga sisi buruk kita
semakin meredup. Kabar baiknya, itu adalah proses. Jadi kita bisa
melakukannya terus menerus.
2. Memahami sebelum memvonis.
2. Memahami sebelum memvonis.
Apa yang Anda lakukan jika ada orang lain yang salah sangka kepada Anda? Orang itu keliru menilai Anda. Tentu Anda akan berusaha untuk memberikan penjelasan atau mengklarifikasinya, bukan? Kita semua akan berusaha meluruskan penilaian orang lain yang keliru tentang diri kita. Begitu pula halnya dengan orang lain yang kita nilai buruk, akan berusaha untuk membuat penilaian kita berubah menjadi baik. Mengapa? Karena tidak seorang pun dimuka bumi ini yang rela dinilai buruk.
Kita memiliki kebutuhan intrinsic untuk
dinilai baik, dan diterima oleh lingkungan secara baik-baik. Apa yang
terjadi ketika Anda menjelaskan ‘yang sebenarnya’? Orang lain akan
memahami Anda. Apa yang terjadi ketika orang lain menjelaskan ‘duduk
perkaranya’? Anda akan memahami mereka. Lalu, jika sudah ada pemahaman
yang tepat itu apakah Anda masih akan menvonis orang lain sebagai orang
yang buruk? Ah, tentu tidak. Karena sekarang Anda sudah memahami ‘apa
yang sebenarnya’.
Bahkan kepada seseorang yang nyata-nyata berbuat
kesalahan pun kita bisa memakluminya jika kita memahami ‘mengapa’ mereka
sampai melakukannya kan? Kita memaafkannya, meski dengan catatan;
‘jangan mengulanginya lagi’. Atau ‘lain kali kamu minta izin dulu dong…’. Atau, ‘kenapa kamu tidak terus terang sih sama saya?’ Maka mulai sekarang, kita perlu mendahulukan proses ‘memahami’, supaya tidak sembarangan ‘memvonis’ orang lain.
3. Waspada terhadap perilaku yang membahayakan.
3. Waspada terhadap perilaku yang membahayakan.
Meski kita percaya bahwa setiap orang memiliki sisi baik, namun kadang-kadang orang bertemu dengan kita dalam keadaan ‘buruk mode on’. Kalau sekedar buruk perilaku, mungkin kita bisa memakluminya. Tetapi, kalau buruknya bisa membahayakan, ya tentu kita harus bisa melindungi diri. Maka kewaspadaan tetap menjadi piranti yang sangat penting. Justru berbahaya sekali jika kita tidak waspada. Bukan curiga loh, tapi waspada. Bahkan terhadap teman sekalipun. Bukankah banyak kejadian yang membahayakan justru datang dari orang-orang terdekat kita? Istri waspada pada suami yang ringan tangan juga bagus.
Atau, suami yang waspada pada istri yang
tingkahnya aneh. Kepada teman yang terlalu royal, Anda juga perlu
waspada. Karena kewaspadaan bisa mencegah terjadinya sesuatu yang tidak
baik. Konon katanya, para pencopet pun tidak berani mengusik orang yang
waspada. Ya, kira-kira begitu jugalah untuk keburukan-keburukan lain
yang bisa saja dilakukan oleh orang lain kepada kita. Dengan kewaspadaan
itu, kita tidak memandang buruk orang lain. Tetapi juga tidak lengah
terhadap kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
4. Keburukan bisa menjadi guru kebaikan.
4. Keburukan bisa menjadi guru kebaikan.
Jika seseorang melalukan perbuatan buruk, bukan kepada Anda; apa yang Anda lakukan? Teman saya misalnya, sangat benci sekali kepada seseorang. ‘Emangnya apa yang sudah dia lakukan sama elu?’ begitu saya bertanya. “Enggak ada.” Katanya. Lho? Aneh ya? Kita membenci orang lain yang tidak melakukan apapun pada kita. “Gue semek aja sama kelakuannya,” katanya lagi. Kita sering membenci pribadi seseorang bukan karena mereka mengusik diri kita. Apa urusan kita, kan? Anda boleh memberi perlawaan kepada orang-orang yang memperlakukan Anda buruk. Tetapi pada orang yang tidak mengusik Anda? Jikapun orang itu perilakunya buruk kepada orang lain, maka cukuplah kita jadikan hal itu sebagai guru untuk meningkatkan nilai kebaikan kita.
Misalnya, jika Anda tidak suka perilaku buruk tertentu
teman Anda, maka Anda punya cermin agar jangan sampai melakukan
keburukan yang sama. Coba perhatikan orang-orang disekitar Anda. Banyak
yang perilakunya kurang baik. Menggunakan BB untuk merayu istri orang.
Meminjam uang tapi ogah bayar. Mencedrai kepercayaan pasangannya.
Mengambil yang bukan haknya. Kita tidak perlu ikut membenci pribadi
mereka. Tetapi, kita bisa jadikan keburukan-keburukan yang mereka
lakukan sebagai pelajaran dan energy yang menguatkan kita untuk
istikomah atau teguh dalam nilai-nilai kebaikan.
5. Bukan kita yang berhak menilai.
5. Bukan kita yang berhak menilai.
Bahkan para penyidik dan jaksa pun bisa salah dalam menilai orang lain. Apalagi yang memang sengaja dibuat salah atau diputarbalikkan faktanya. Kita? Lebih bisa salah lagi dalam menilai. Faktanya kita tidak memiliki kemampuan untuk menilai secara obyektif dan akurat, kok. Makanya, kita tidak diberi hak untuk menilai orang lain. Jika bukan kita yang menilai lantas siapa yang mengontrol perilaku orang? Kenapa pusing. Sudah ada staff khusus yang ditugaskan Tuhan untuk melakukan pengawasan melekat atas perilaku, tindak tanduk, dan tingkah polah setiap pribadi.
Tuh, disebelah kanan
Anda; Ada petugas pencatat amal baik. Dan disebelah kiri Anda? Ada
petugas yang tanpa kompromi menulis keburukan apapun yang Anda lakukan.
Mereka tidak pernah lengah. Bahkan disaat semua orang sedang pada tidur.
Jadi, jika kita merasa bisa menunggu orang lain lengah baru melakukan
tindakan buruk, kita salah besar. Jika kita merasa bisa menyembunyikan
barang bukti, kita keliru. Oh, betapa petugas yang Tuhan pilih itu tidak
pernah henti mengawasi gerak-gerik kita.
Hal ini memberi kita 2
kesadaran.
Pertama, betapa kita tidak memiliki ruang untuk berbuat buruk
tanpa ketahuan.
Kedua, betapa kita tidak memiliki hak untuk menilai
baik buruknya orang lain. Maka, jika orang lain buruk, tak perlu pusing;
dia akan mempertanggungjawabkan keburukannya. Dan jika kita yang buruk?
Ehm, orang lain mungkin tidak tahu. Tapi petugas jaga Tuhan?
Menyaksikan hingga setiap detailnya.
Bagaimanapun juga, interaksi kita dengan orang lain merupakan sebuah proses yang berjalan dua arah. Karenanya, sebuah hubungan yang baik tidak bisa dibangun hanya oleh salah satu pihak. Jika Anda menemukan orang-orang yang kurang menyukai Anda. Atau memperlakukan Anda dengan cara yang kurang pantas. Mungkin mereka bukan membenci Anda. Mereka hanya belum mengenal siapa Anda. Maka, menunjukkan nilai-nilai positif didalam diri Anda merupakan sebuah kebutuhan.
Bagaimanapun juga, interaksi kita dengan orang lain merupakan sebuah proses yang berjalan dua arah. Karenanya, sebuah hubungan yang baik tidak bisa dibangun hanya oleh salah satu pihak. Jika Anda menemukan orang-orang yang kurang menyukai Anda. Atau memperlakukan Anda dengan cara yang kurang pantas. Mungkin mereka bukan membenci Anda. Mereka hanya belum mengenal siapa Anda. Maka, menunjukkan nilai-nilai positif didalam diri Anda merupakan sebuah kebutuhan.
Oleh karenanya, kita perlu belajar mendorong diri kita
sendiri untuk terus memperlihatkan sisi baik yang kita miliki. Bukan
untuk menyembunyikan sisi buruk, melainkan untuk selalu berusaha
mengambil pilihan-pilihan yang baik, meski sesungguhnya kita
berkesempatan untuk melakukan hal buruk. Semoga, dengan begitu kita bisa
menjadi pribadi yang tetap baik. Sekalipun kita semua memiliki sisi
buruk.
Dengan demikian, kita memiliki kesempatan untuk mendapati buku
catatan amal kita lebih banyak berisi kebaikan daripada keburukan.
Catatan Kaki:
Apakah seseorang itu baik, atau terlihat baik? Bukan kita yang tahu. Melainkan yang Maha Tahu.
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
Trainer of Natural Intelligence Leadership Training
0 komentar:
Posting Komentar