5 Langkah Membina Keluarga Bahagia Bertabur Cinta
Sebesar perhatiannya terhadap
keberlangsungan hidup sebuah bangsa, sebesar itu pulalah perhatian Islam
kepada keluarga. Karena tidak akan mungkin sebuah bangsa mampu berdiri
tegak dalam kekokohan tanpa didasari oleh keluarga-keluarga yang juga
kokoh dan berdaya tahan.
Keluarga merupakan unit terkecil yang
menyusun bangunan sebuah negara. Ibarat sebuah cermin, keluarga dapat
menjadi miniatur untuk melihat baik-buruk, kokoh-rapuh, serta
maju-mundurnya setiap negara di mana unit-unit keluarga itu berada.
Keluarga juga merupakan titik tolak, yang menjadi landasan pacu bagi
setiap anggotanya untuk menjadi sebagai apa yang dicita-citakan.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa
orang-orang besar dan berpengaruh lahir dari rahim keluarga-keluarga
harmonis. Sementara orang-orang kerdil dan inferior, kebanyakan berasal
dari keluarga sarat konflik, kering dari nilai ketuhanan dan kasih
sayang.
Setiap orang, pasti mendambakan anak,
istri, suami yang berkepribadian mengagumkan. Mendapat kesuksesan dunia:
fasilitas hidup nyaman, rumah yang luas, kendaraan yang bagus, harta
yang banyak, status social yang tinggi, disenangi kawan, disegani lawan,
dan lain-lain. Juga sukses akhirat: memperoleh ridha Allah, dibebaskan
dari siksa neraka dan masuk ke dalam surga dengan sejahtera.
Namun, sangat disayangkan, banyak orang
dengan dalih ingin meraih keberhasilan dan mengangkat derajat keluarga
seseorang pergi ke tempat-tempat yang jauh dengan menelantarkan
keluarganya. Mengerjakan aktivitas yang tak berkaitan dengan tujuan yang
dicita-citakan, selain isapan jempol dan permainan angan. Mereka
mungkin lupa bahwa sesungguhnya rahasia kesuksesan itu ada di
tengah-tengah keluarga.
….banyak orang dengan dalih ingin mengangkat derajat keluarga pergi ke tempat-tempat jauh dengan menelantarkan keluarganya. Mereka mungkin lupa bahwa sesungguhnya rahasia kesuksesan itu ada di tengah-tengah keluarga….
Untuk itu, setiap suami dan istri,
semestinya memberikan perhatian yang tinggi terhadap keluarga; Menggali
sebab-sebab yang mempengaruhi kemampuan keluarga menghadiahkan
kesuksesan yang kepada semua anggotanya; mengasah ketajamannya; serta
memupuk kesuburannya.
1. ORIENTASI
Tidak semua orang mempunyai orientasi
yang sama dalam membangun keluarganya. Ada yang mendasarinya dengan
orientasi duniawi: kesenangan, kekayaan, kekuasaan, keturunan dan
kecantikan/ketampanan. Ada pula yang melandasi dengan orientasi ukhrawi.
Yang pertama tidak akan mendapat bagian apa-apa di akhirat. Sementara
yang kedua, akan merengkuh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Allah SWT menerangkan, “Barang siapa
yang mengharapkan kehidupan dunia dan perhiasannya maka Kami akan
penuhi keinginan mereka dengan membalas amal itu di dunia untuk mereka
dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang
tidak meraih apa-apa ketika di akhirat melainkan siksa neraka dan
lenyaplah semua amal yang mereka perbuat selama di dunia dan sia-sialah
segala amal usaha mereka” (Qs. Hud 15-16)
Keluarga dengan orientasi ukhrawi adalah
keluarga yang terdiri dari pribadi-pribadi yang tidak menautkan tujuan
di dalam hatinya selain kepada surga dan ridha Allah. Dimulai sejak akan
menikah; ketika memilih pasangan, pada saat melangsungkan pernikahan
hingga setelah terbentuk sebuah rumah tangga; berperan sebagai suami,
istri dan orang tua. Sehingga, segala bentuk pemikiran, kata maupun
perbuatannya adalah wujud dari harapan yang besar akan perjumpaan dengan
Allah.
….Keluarga dengan orientasi ukhrawi adalah keluarga yang terdiri dari pribadi-pribadi yang tidak menautkan tujuan di dalam hatinya selain kepada surga dan ridha Allah….
Kekhusyukan dalam hal ini menjadi
teramat urgen. Karena hanya dengan hati yang khusyuk sajalah seseorang
dapat menjaga keistiqamahan dalam berorientasi. Bahkan dalam
kondisi-kondisi ketika dihantam musibah yang mengguncangkan jiwa sekali
pun, orang yang khusyuk senantiasa tetap sadar bahwa orientasi hidupnya
hanyalah Allah SWT.
Firman Allah, “Yaitu, orang –orang yang apabila ditimpa musibah ia mengucapkan: ‘inna lillahi wa innaa ilaihi roojiuun...” (Qs. Al-Baqarah156).
Lalu, bagaimanakah jika kesadaran untuk
menjadikan Allah sebagai orientasi dalam berkeluarga itu muncul setelah
berkeluarga? Mulailah sekarang juga untuk memperbaikinya. Mengikhlaskan
apa saja yang telah berlalu, dan berharap kepada Allah terhadap setiap
hal yang diusahakan untuk keluarga anda.
2. CINTA
Allah telah mengabarkan kepada kita,
bahwa cinta tertinggi setiap mukmin adalah kepada Allah, Rasul dan jihad
di jalan-Nya. Setelah itu, baru cinta kepada orang tua, suami, istri,
anak, saudara seiman dan lain-lain.
Firman Allah, “Katakanlah, jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum kerabat,
harta benda yang kalian miliki, dan perniagaan yang kalian khawatiri
kerugiannya, itu lebih kalian cintai dari pada Allah, Rasul dan berjihad
di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (Qs. At-Taubah 24).
Untuk menghadirkan cinta tertinggi di
lubuk sanubari, setiap pasangan suami-istri harus berusaha menjaga
perasaan cinta di dalam diri dan keluarganya. Mampu menjaga ikatan cinta
di antara mereka dan tahu hal-hal yang dapat kian menumbuhsuburkan
perasaan cinta di dalam hatinya. Karena kekuatan cinta suami istri turut
berperan dalam mengokohkan cinta kepada Allah SWT.
….Setiap pasangan suami-istri harus berusaha menjaga perasaan cinta di dalam diri dan keluarganya, karena kekuatan cinta suami istri turut berperan dalam mengokohkan cinta kepada Allah SWT….
Seorang mantan aktris yang kini aktif di
dunia parenting islami mengungkapkan apa yang menurutnya dapat
menyuburkan cinta suami kepada istri dan sebaliknya, “Setiap suami akan
merasakan cinta kepada istrinya kian menguat bukan karena kelihaian
syahwat, melainkan karena kelapangan hati istri dalam menerima nafkah
dan rezeki, kepandaian menjaga harga diri suami dengan pergaulan yang
suci dan baik –terutama dalam pergaulan dengan lawan jenis– dan karena
keterampilan serta kesabarannya dalam mendidik dan mengasuh buah hati
mereka.”
Sungguh, amat besar pahala yang
dijanjikan kepada istri yang ikhlas dalam mengurus rumah tangga dan
anak-anaknya. Dalam sebuah riwayat Rasul SAW bersabda:
“Siapa di
antara kalian yang ikhlas tinggal di rumah untuk mengurus anak-anak dan
melayani segala urusan suaminya, maka ia akan memperoleh pahala yang
kadarnya sama dengan pahala para mujahidin yang berjuang di jalan Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sementara istri,” lanjutnya, “bertambah
kuat cintanya kepada suami bukan karena jumlah uang belanja yang tak
ada batasan atau pemberian hadiah permata, baju, sepatu, berlian,
zamrud, dan emas tidak berputusan dan berkeliling dunia kapan saja bisa.
Tidak! Banyak ratu-ratu menjalin cinta dengan lelaki biasa bukan karena
pemberian dan jaminan raga, melainkan karena kelembutan hati dan
ketertimangan diri.”
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan ada tiga faktor yang menyebabkan tumbuhnya cinta:
1. Sifat/kelebihan yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia kagum dan jatuh cinta padanya,
2. Perhatian sang kekasih terhadap sifat-sifat tersebut, dan
3. Pertautan antara seseorang yang sedang jatuh cinta dengan orang yang dicintainya.
Di atas semua itu, keshalihan dan
kedekatan dengan Sang Maha Dekat, akan membuat daya “magnet” seorang
suami/istri bertambah kuat. Karena keshalihan dan kedekatan kepada sang
Khaliq akan mengundang cinta-Nya. Dan manakala Allah telah mencintai
kita, maka akan mencintai kita pula segenap makhluk dengan ijin-Nya.
….Cinta seorang istri kepada suaminya, atau suami kepada istrinya, bukan lagi semata karena ikatan perkawinan. Karena cinta yang tidak dibangun di atas pondasi mahabatullah, hanya akan menjerumuskan ke dasar jurang kelalaian dan kenistaan….
Cinta seorang istri kepada suaminya,
atau suami kepada istrinya, bukan lagi semata karena ikatan perkawinan.
Namun, ada dan tidaknya hal-hal yang menjadi sebab datangnya cinta Allah
sebagai alasan. Sehingga, kadar cinta suami/istri akan bertambah dan
berkurang, seiring meningkat dan menurunnya kualitas ibadah dan keimanan
pasangannya. Keduanya senantiasa menyadari, bahwa cinta yang tidak
dibangun di atas pondasi mahabatullah, hanya akan menjerumuskan ke dasar jurang kelalaian dan kenistaan.
3. NAFKAH
Meski bukan segalanya, nafkah berupa
materi tetap menjadi sesuatu yang tidak bisa diremehkan begitu saja.
Dalam sebuah penelitian disertasi doktoral, Jan Andersen menemukan 70%
responden mengakui bahwa keuangan merupakan penyebab perceraian. Karena
keluarga tak mungkin bisa berjalan tanpa ada nafkah yang menggerakkan
roda perekonomiannya. Materi bagi keluarga-keluarga muslim menjadi
sarana pemenuhan tuntutan syariat, menjaga ‘iffah (kemuliaan diri) dari
meminta-minta, serta sebagai pembatas agar tidak dekat kepada kekafiran.
Islam mewajibkan bagi orang yang mampu untuk memberi nafkah. Allah Ta’ala berfirman,
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya.” (Qs. Ath-Thalaq 7).
Bahkan Rasul SAW mengingatkan dalam haditsnya: “Seseorang itu cukup berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang harus diberi belanja.” (HR. Abu Daud dan lain-lain)
Tidak harus banyak, asalkan halal.
Banyak sedikit sangat relatif. Namun, kehalalan nafkah yang diberi,
tidak bisa ditawar-tawar. Mengabaikan kehalalan dapat berakibat sangat
fatal bagi semua pribadi di dalam keluarga: tidak diterima doa dan
ibadahnya, mendorong berperilaku menyimpang, menghalangi ketaatan hingga
menjadi penyebab terlemparnya ke dalam Jahanam.
….Mengabaikan kehalalan nafkah dapat berakibat sangat fatal bagi semua pribadi di dalam keluarga: tidak diterima doa dan ibadahnya, mendorong perilaku menyimpang, menghalangi ketaatan hingga jadi penyebab terlemparnya ke dalam Jahanam….
Menenteramkan sungguh kalimat-kalimat
yang mengalir dari lisan istri-istri sahabat dan generasi salafus shalih
setiap kali mengantarkan suami-suami mereka yang hendak mengais rezeki:
“Suamiku, bertakwallah kepada Allah terhadap apa yang akan engkau
nafkahkan kepada kami. berikanlah kepada kami hanya nafkah yang halal.
Karena perihnya kelaparan dapat kami tahan, sementara panasnya neraka
yang memanggang tak mungkin membuat kami dapat bertahan.”
4. BERBUAT ADIL
Adil berarti menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Lawan adil adalah zalim. Dan ukuran yang paling tepat untuk
menilai adil atau zalimnya seseorang adalah Al-Qur’an. Karena hanya
Al-Qur’an sajalah yang tidak mengandung perselisihan di dalamnya.
Sehingga tidak akan membuat siapa pun bingung harus bersikap seperti
apa. Berbeda sangat jauh dengan hukum/aturan apa pun buatan manusia yang
mudah diinterpretasikan sekehendak hatinya.
Adil tidak terbatas pada suami istri
harus memenuhi setiap kewajibannya sebagai suami terhadap istri maupun
sebagai istri terhadap suami, juga kewajiban keduanya terhadap anak-anak
mereka. Akan tetapi adil, meliputi pemenuhan terhadap semua perintah
dan larangan Allah yang mengenai diri setiap pribadi di dalam keluarga.
Suami yang adil adalah, yang taat kepada
Allah, melaksanakan tugas memimpin, menafkahi dan mendidik istri dan
anak-nya. Istri yang adil adalah yang memenuhi semua perintah Allah SWT
dan larangan-larangannya, taat, menjaga harta, kehormatan diri dan
suaminya, dan mengasuh secara baik anak-anaknya.
Rasul SAW bersabda:
“Sesungguhnya
Allah memiliki hak atas dirimu yang harus engkau tunaikan, dirimu
memiliki hak yang harus engkau tunaikan, dan keluargamu memiliki hak
atas dirimu yang harus engkau tunaikan. Maka tunaikanlah hak-hak
masing-masing dari semua itu.” (HR. Bukhari).
Rasul SAW juga menyebutkan, bahwa ada tiga hal yang dapat menyelamatkan. Di antara ketiga hal itu adalah: “Berbuat adil dalam keadaan ridha (senang) maupun dalam keadaan benci”
….Tidak seorang pun yang tidak memerlukan nasihat orang lain. Suami, membutuhkan nasihat istrinya. Istri mengharapkan bimbingan suaminya….
5. SALING MENASEHATI
Tidak seorang pun yang tidak memerlukan
nasihat orang lain. Suami, membutuhkan nasihat istrinya. Istri
mengharapkan bimbingan suaminya. Anak-anak merindukan untaian lembut
nasihat kedua orang tuannya. Orang tua, terkadang perlu mendengar
pendapat anak-anaknya.
Ingat apa yang dilakukan Ibunda Khadijah
terhadap Rasulullah SAW sesaat setelah turun wahyu yang pertama? Ketika
sekujur tubuh Rasulullah SAW menggigil karena khawatir akan keselamatan
dirinya, wanita agung itu hadir dengan nasihat-nasihat yang
menenteramkan jiwa. “Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah
yang menguasai diriku, “Allah SWT tidak akan mengecewakanmu.
Engkau orang yang sentiasa berusaha untuk menghubungkan tali
persaudaraan, selalu berkata benar, menyantuni anak yatim piatu,
memuliakan tamu dan memberi bantuan kepada setiap orang yang ditimpa
kesusahan.”
Rasul SAW melukiskan kesannya yang mendalam:
“Khadijah
beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku
ketika orang-orang mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku
ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak
darinya dan mengharamkan bagiku anak dari selain dia” (HR. Imam Ahmad).
Nasihat (dengan ijin Allah), dapat
membuat yang lupa menjadi ingat. Yang tersesat kembali selamat. Dan yang
lemah jadi bersemangat.
Demikian indah kiasan yang Allah berikan bagi pasangan suami istri. Dalam surat Al-Baqarah 187 Allah menyebut:
“Mereka (istri-istrimu) itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka!”
Apa saja yang dilakukan oleh pemilik
pakaian terhadap pakaian kesayangannya? Tentu, bukan hanya memakai
secara terus menerus sampai pakaian tersebut usang, bau dan sobek sana
sini. Orang yang bijak, selain memakai ia pun akan berpikir untuk
menjaga agar pakaiannya tidak koyak, senantiasa dalam keadaan halus,
harum dan wangi. Karenanya, setiap kali pakaiannya itu kotor, ia akan
memilihkan detergen yang terbaik untuk mencuci. Setelah kering, pakaian
itu akan diseterika dan diberi wewangian. Lalu, diletakkan di tempat
yang terbaik di dalam lemari.
….Mereka akan selalu saling menasehati untuk menetapi kebenaran dan kesabaran, sebagai wujud kasih sayang dan perhatian yang mendalam….
Maka, demikian pula yang seharusnya
dilakukan seorang suami/istri terhadap pasangannya. Ia akan selalu
menjaga kebersihan jiwa dari segala hal yang mengotorinya. Menghiasi
dengan wangi akhlak yang terpuji. Dan membentengi dari ancaman apa pun
yang dapat merusakkan hati. Mereka akan selalu saling menasehati untuk
menetapi kebenaran dan kesabaran, sebagai wujud kasih sayang dan
perhatian yang mendalam. Sebelum segalanya terlambat, dan taubat pun
tiada lagi bermanfaat.
Semoga keluarga-keluarga kita menjadi
keluarga yang mulia dan dimuliakan. Dipenuhi cahaya iman dan ketakwaan.
Dan ditaburi cinta yang tak berkesudahan.
*) Penulis adalah, Alumni Fakultas Teknik Universitas Cenderawasi Jayapura, dan Kini bekerja di LPMP Papua.
0 komentar:
Posting Komentar