Asal-Muasal Perayaan Maulid Nabi
Bismillah,
Kami hadirkan tulisan ini semata-mata bukan untuk memecah belah
sebagian kaum muslimin yang memang merayakannya, namun agar kita semua
setidaknya aware dengan sejarah di balik perayaan ini, siapakah
penggagasnya dan seperti apa ‘aqidah mereka. Silahkan disimak.
Ibnu Rajab al Hanbali
Abdullah ibn Abdul Aziz at-Tuwaijiri
Abdullah ibn Abdul Aziz at-Tuwaijiri
Terjemah : Syafar Abu Difa
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
Asal-muasal Perayaan Maulid Nabi
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
Asal-muasal Perayaan Maulid Nabi
Tidak diragukan bahwa para sahabat adalah orang yang paling mencintai
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam paling peduli dalam
meneladaninya dan paling mengetahui sunah Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam Mereka diridoi Allah atas kepedulian dan kecintaan yang sangat
kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Tidak ada berita sama
sekali bahwa salah seorang dari mereka merayakan hari kelahiran Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam, demikian pula tiga kurun pertama. Tidak
terekam satupun berita yang tertulis di dalam kitab sejarah akan adanya
perayaan itu pada kurun tersebut.
Ini membuktikan bahwa perayaan Maulid Nabi ada setelah masa generasi utama. Pencetus bid’ah perayaan Maulid Nabi adalah sekte Batiniah. Lebih
spesifik kaum yang merupakan peletak dasar dakwah batiniah yang disebut
dengan Bani al-Qodâh. Mereka menyebut diri mereka dengan Fâtimiyîn,
menisbatkan diri secara culas kepada putri Ali ibn Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu. Kakek mereka bernama Maimûn ibn Disôn al-Qodâh yang
merupakan budak laki-laki dari Ja’far ibn Muhammad Shâdiq. Maimûn berasal dari al-Ahwâz. Dia adalah pelopor mazhab Batiniah yang
arogan di Irak. Kemudian pindah ke Magrib dan menasabkan diri kepada
Uqoil ibn Abu Thalib dan mengklaim bahwa dia berasal dari keturunannya.
Ketika orang-orang Ghulat Râfidhah (Syi’ah ekstrim) menyambut seruan
ajarannya, dia mengaku sebagai putra dari Muhammad ibn Ismail ibn Ja’far
ash-Shâdiq. Orang-orang Syi’ah itupun menerimanya, dengan persepsi
bahwa Muhammad ibn Ismail bin Ja’far ash-Shâdiq wafat tanpa memiliki
keturunan. Diantara yang mengikuti ajaran ibn Dishân al-Qodâh seorang
lelaki yang disebut dengan Hamdân Qirmith dan kepadanyalah nantinya
dinasabkan sekte al-Qorômithoh.
Hari demi hari bergulir, mereka yang familier dengan Maimun
mengenalnya sebagai Sa’id bin al-Husain ibn Abdullah ibn Maimun ibn
Dishân al-Qodâh, sehingga diapun merubah nama dan nasabnya. Dia
mengatakan kepada pengikutnya: “Aku adalah Ubaidillah ibn al-Hasan ibn
Muhammad ibn Ismâîl ibn Ja’far ash-Shâdiq, yang seterusnya menyebarlah
ajaran sesatnya di Magrib.
Ibnu Khalkân berkata dalam kitab al-Wafiyât al-A’yân:
“Para pakar sejarah ilmu nasab (silsilah keturunan) dari para
peneliti mengingkari klaim nasab Maimun (kepada keturuan Ali
radhiyallahu ‘anhu).”
Pada tahun 402 H sekumpulan ulama, para hakim , intelektual, para
tokoh, orang-orang soleh, ahli fiqih dan ahli hadits menulis tema
ceramah mereka yang isinya celaan dan ketidakbenaran akan nasab
Fatimiyah yang diklaim oleh al-Ubaydiyin. Seluruhnya bersaksi bahwa
hakim di Mesir, yaitu Manshur ibn Nazâr yang bergelar ‘al-Hâkim’ -semoga
Allah hukum dia dengan kebinasaan, kehinaan dan kehancuran- putra dari
Mu’ad ibn Ismâîl ibn Abdullah ibn Sa’îd –semoga Allah tidak memberinya
kebahagiaan- ketika sampai di Magrib menamakan diri dengan Ubaidillah
dan menggelari diri dengan al-Mahdi. Klaim-klaim serupa dari orang-orang
sebelumnya dilakukan oleh mereka yang berseberangan dengan khilafah
Islamiah di masanya.
Tidak ada tali keturunan sama sekali dari silsilah Ali ibn Abu
Thalilb radhiyallahu ‘anhu. Klaim kosong tanpa bukti. Ali radhiyallahu
‘anhu beserta keturunannya berlepas diri dari mereka yang merupakan
klaim batil dan tipu daya. Tidak ada satupun dari ahlu bait keturunan
Ali ibn Abu Thalib yang berhenti mencela dan menggelari mereka yang
mengaku-aku itu sebagai kelompok penentang Khilafah Islamiah lagi
pendusta.
Pengingkaran terhadap kebatilan mereka ini amat jelas di dua negeri
haram (Mekah dan Madinah) dan pada awal kedatangan mereka di Magrib.
Tersebar sehingga tidak ada seorangpun yang dapat menutup-nutupinya atau
membenarkan apa yang mereka klaimkan. Hakim Mesir tersebut serta
mereka yang semisalnya sebelumnya- adalah orang-orang kafir, fasik,
pelaku dosa besar, mulhid, zindik, pengingkar sifat Allah dan memusuhi
Islam, sedangkan mazhabnya meyakini majusi penyembah berhala dan patung.
Mereka telah melampaui batas, menghalalkan perzinaan, khamar,
menumpahkan darah, mencela para nabi, melaknat generasi pertama dan
utama Islam serta mengklaim ketuhanan.
Tema ceramah ini ditulis dalam banyak khotbah oleh banyak orang. selesai perkataannya Yang pertama kali melontarkan bid’ah Maulid Nabi adalah sekte batiniah
yang ingin merubah agama ini, dengan cara mengadakan sesuatu yang bukan
darinya, untuk menjauhkan pemeluknya dari ajaran agama yang sebenarnya.
Jalan paling mudah membunuh sunnah dan menjauhkan syariat Allah yang
penuh toleransi serta sunah Rasulullah yang suci adalah dengan
Menyibukkan ummat dalam bid’ah. Al-Ubaidiyin masuk Mesir pada tahun 362 H, hari kelima bulan
Ramadhan. Bid’ah perayaan hari kelahiran secara umum dan Maulid Nabi
secara khusus muncul pada masa al-Ubaidiyin. Belum ada dari umat ini
yang melakukan hal itu sebelumnya.
Al-Muqrizi berkata: “Momentum yang dijadikan oleh penguasa Fatimiyun sebagai hari perayaan dalam setahun:
1. Perayaan akhir tahun.
2. Perayaan tahun baru.
3. Hari Asyuro
4. Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
5. Maulid Ali ibn Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu.
6. Maulid al-Hasan radhiyallahu ‘anhu.
7. Maulid al-Husain radhiyallahu ‘anhu.
8. Maulid Fatimah az-Zahroh radhiyallahu ‘anha.
9. Maulid Khalifah al-Hâdir.
10. Malam pertama bulan Rajab.
11. Malam pertengahan bulan Rajab.
12. Malam pertama bulan Sya’ban.
13. Malam pertengahan bulan Sya’ban.
14. Malam Ramadhan.
15. Pertengahan Ramadhan.
16. Samât Ramadhan.
17. Penutupan Ramadhan.
18. Idul Fitri.
19. Idul Adha.
20. Idul Ghadîr (18 Zulhijah).
21. Perayaan musim dingin.
22. Perayaan musim panas.
23. Perayaan Fathul Khâlij (penaklukan jazirah arab).
24. Hari Nairuz.
25. Hari Ghithas.
26. Hari lahir (ulang tahun).
27. Khamîs ‘Adas.
28. Hari-hari Rukubât.
2. Perayaan tahun baru.
3. Hari Asyuro
4. Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
5. Maulid Ali ibn Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu.
6. Maulid al-Hasan radhiyallahu ‘anhu.
7. Maulid al-Husain radhiyallahu ‘anhu.
8. Maulid Fatimah az-Zahroh radhiyallahu ‘anha.
9. Maulid Khalifah al-Hâdir.
10. Malam pertama bulan Rajab.
11. Malam pertengahan bulan Rajab.
12. Malam pertama bulan Sya’ban.
13. Malam pertengahan bulan Sya’ban.
14. Malam Ramadhan.
15. Pertengahan Ramadhan.
16. Samât Ramadhan.
17. Penutupan Ramadhan.
18. Idul Fitri.
19. Idul Adha.
20. Idul Ghadîr (18 Zulhijah).
21. Perayaan musim dingin.
22. Perayaan musim panas.
23. Perayaan Fathul Khâlij (penaklukan jazirah arab).
24. Hari Nairuz.
25. Hari Ghithas.
26. Hari lahir (ulang tahun).
27. Khamîs ‘Adas.
28. Hari-hari Rukubât.
Al-Muqrizi kemudian menjelaskan satu persatu perayaan-perayaan tersebut dan gambaran pelaksanaannya.
Ini adalah pernyataan yang jelas dari al-Muqrizi bahwa al-Ubaidiyin
adalah penyebab musibah yang menimpa kaum muslimin. Merekalah yang telah
membuka keran perayaan-perayaan bid’ah ke khalayak. Sampai-sampai
mereka juga merayakan perayaan kaum Majusi dan Nasrani. Ini adalah bukti
atas jauhnya mereka dari Islam dan justru memeranginya, sekalipun
mereka tidak mengatakan dan menampakkannya.
Hal itu juga membuktikan bahwa enam perayaan maulid yang disebutkan
di atas di antaranya maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bukanlah
karena kecintaan mereka kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seperti
yang diklaim dan dipertontonkan kepada khalayak dan orang-orang yang
tidak bisa dijadikan teladan. Tujuan mereka adalah untuk menyebarkan
karakteristik mazhab mereka yaitu Isma’iliy Batiniy serta aqidah sesat
lain di tengah khalayak. Bertujuan menjauhkan kaum muslimin dari ajaran
agama yang benar dan aqidah yang lurus dengan memunculkan
perayaan-perayaan tersebut, memerintahkan menghidupkannya, menyemangati
dan menyumbangkan harta yang banyak untuk merealisasikannya.
Sikap Ahlussunnah Wal Jamaah Terhadap Bid’ah Maulid
Sikap Ahlussunnah Wal Jamaah Terhadap Bid’ah Maulid
Ulama Salafussoleh -semoga Allah merahmati mereka- sepakat bahwa
perayaan Maulid Nabi dan perayaan-perayaan lain tidak sesuai dengan
syari’at. Ia merupakan perkara yang diada-adakan, yang disusupkan ke
dalam agama ini. Tidak ada contoh dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
para sahabatnya, Tabî’ut Tâbi’în, tidak pula ulama terkemuka dari imam
yang empat atau selain mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata:
“Adapun mengadakan perayaan selain perayaan yang telah
disyari’atkan, seperti malam Rabiulawal, disebut juga malam maulid,
malam-malam di bulan Rajab, 8 Zulhijah, Jumat pertama Rajab dan 8 Syawal
yang dinamakan dengan Idul Abror merupakan bid’ah yang tidak disukai
oleh salaf (generasi awal) dan tidak pernah mereka lakukan.
Wallahu ta’ala a’lam
Ibnu Taimiyah juga menyebutkan di dalam kitabnya Iqtidhô as-Shirâtal Mustaqim:
“Pasal: Yang termasuk kemungkaran dalam bab ini adalah: seluruh perayaan-perayaan dan musim yang diada-adakan. Ia termasuk kemungkaran yang makruh (dibenci). Sama saja apakah kemakruhannya sampai ke derajat haram atau belum.
“Pasal: Yang termasuk kemungkaran dalam bab ini adalah: seluruh perayaan-perayaan dan musim yang diada-adakan. Ia termasuk kemungkaran yang makruh (dibenci). Sama saja apakah kemakruhannya sampai ke derajat haram atau belum.
Perayaan ahli kitab dan a’jam (orang asing) terlarang karena dua sebab:
Pertama: unsur tasyabuh (menyerupai) orang-orang kafir.
Kedua: ia merupakan bid’ah dalam agama. Segala perayaan dan
musim yang diada-adakan adalah mungkar sekalipun tidak menyerupai ahli
kitab.
Beliau rahimahullah- menyebutkan penjelasan hal itu dengan ungkapannya:
“Yang demikian masuk kategori bid’ah dan muhdatsah (ajaran yang diada-adakan). Masuk dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam sahihnya dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika berkhotbah matanya memerah, meninggi suara dan temperamennya, bahkan seakan tengah mengomando pasukan perang, dengan mengatakan sobâhakum wa masâ akum (waspadalah setiap saat!) seraya berkata:
“Yang demikian masuk kategori bid’ah dan muhdatsah (ajaran yang diada-adakan). Masuk dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam sahihnya dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika berkhotbah matanya memerah, meninggi suara dan temperamennya, bahkan seakan tengah mengomando pasukan perang, dengan mengatakan sobâhakum wa masâ akum (waspadalah setiap saat!) seraya berkata:
قال رسول الله : (( بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ ))
“Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat seperti ini –beliaupun merapatkan jari telunjuk dan tengahnya- lalu melanjutkan:
(( أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ
الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ))
“Adapun selanjutnya: sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah firman
Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sedangkan
perkara yang paling buruk adalah bid’ah (sesuatu yang dibuat-buat dalam
agama) dan setiap bid’ah (yang dibuat-buat dalam agama) adalah sesat.”
Dalam hadits riwayat an-Nasai:
(( وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ ))
“Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.”
“Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.”
Beliaupun menjelaskan bahwa waktu terbagi menjadi tiga, termasuk di antaranya perayaan terkait suatu tempat dan aktivitas:
Pertama: hari yang tidak di agungkan sama sekali oleh syari’at
Islam dan tidak disinggung oleh generasi salaf, tidak pula ada sesuatu
yang mengharuskan untuk mengagungkannya, seperti Kamis dan Jumat pertama
bulan Rajab, yang dinamakan dengan ar-Raqôib.
Kedua: berlangsungnya suatu peristiwa yang peristiwa itu juga
berlangsung pada waktu yang lain, tanpa ada hal apapun yang
mewajibkannya untuk dirayakan dan generasi salaf tidak ada yang
mengagungkannya, seperti hari ke-18 Zulhijah, saat Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam berkhotbah di tempat yang bernama Ghadir kham sepulang
dari haji wada’.
Termasuk juga segala yang dibuat-buat oleh sebagian orang; bisa dalam bentuk menyaingi kaum Nasrani dalam memperingati hari kelahiran Nabi Isa –alaihi salam- atau karena kecintaan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam Allah membenarkan kecintaan mereka, tetapi tidak dengan bid’ah yang dilakukan. Siapa yang menjadikan hari kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai hari perayaan, maka perbuatannya itu tidak pernah dilakukan oleh generasi salaf (generasi awal) meskipun mereka juga mencintai Nabi dan tidak ada penghalang untuk juga melakukannya jika itu memang baik. Jika perayaan maulid murni kebaikan atau rajih (asumsi kuat) tentunya generasi salaf radhiallahu ‘anhum lebih berhak merayakannya dari pada kita.
Jika kesangatan para sahabat dalam
mencintai dan mengagungkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
melebihi kita, tentu mereka lebih peduli jika ada kebaikan. Akan tetapi
ternyata kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam adalah dengan meneladani, menaati, menjalankan
perintahnya, menghidupkan sunah-sunahnya baik yang lahiriah maupun
batiniah, menyebarkan ajarannya dengan berjihad menggunakan hati, tangan
(kekuasaan) dan lisan. Demikianlah toriqoh (jalan) sabikin al-awalin
(generasi pendahulu) dari kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang
yang mengikuti jejak mereka.
Kebanyakan engkau dapati mereka yang peduli dengan bid’ah-bid’ah
seperti ini lemah dalam menjalankan ajaran Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam yang telah diperintahkan untuk melaksanakannya. Mereka
hanya sebatas menghias masjid tetapi tidak shalat di dalamnya atau
jarang sekali. Sebatas orang yang menenteng-nenteng tasbih dan sajadah
yang berhias. Hiasan-hiasan semacam ini menjadi konsentrasi, disertai
riya (mengharap pujian), kibr (kesombongan) dan menyibukannya dari
perkara-perkara yang memang disyaratkan sehingga merusak keadaan
pelakunya.
Sumber:
- Kitab Lathâif al-Ma’ârif fî mâ Li Mawâsimil Âm Minal Wadzâif, Ibnu Rajab.
- Kitab al-Bida’ al-Hauliah, Abdullah ibn Abdul Aziz at-Tuwaijiri.
- Kitab Lathâif al-Ma’ârif fî mâ Li Mawâsimil Âm Minal Wadzâif, Ibnu Rajab.
- Kitab al-Bida’ al-Hauliah, Abdullah ibn Abdul Aziz at-Tuwaijiri.
0 komentar:
Posting Komentar