Wahai Pasutri, Jangan Saling Menghina
Menghina adalah menyebut aib, cacat, keburukan dan kejelakan orang
lain di depannya, di belakangnya mengghibah, bila aib tersebut tidak ada
padanya maka itu memfitnah.
Suami atau istri Anda adalah orang yang paling dekat dengan Anda,
terlepas bagaimana dulu Anda menikahinya, pilihan sendiri atau
dipilihkan, suka rela atau terpaksa, sebagaimana manusia tidak ada suami
atau istri sempurna, dia pasti memiliki kekurangan, termasuk diri Anda
juga sama, karena itu jangan menghinanya dengan kekurangannya itu,
karena dia juga bisa melakukan hal yang sama, apa jadinya bila suami
istri saling menghina?
Kata orang, luka di tubuh bisa diobati, tetapi luka di hati sulit
dicari kesembuhannya. Benar, karena hati ibarat kaca, jika ia pecah maka
tidak bisa ditambal. Menghina dan mencela melukai hati, sekali pun
orang yang dihina dan dicela karena sesuatu memang demikian, namun dia
akan tetap merasa sakit dan hal itu bukan merupakan pembenaran bagi
orang lain untuk mencela dan menghinanya.
Dalam batas-batas tertentu orang cenderung mengacuhkan hinaan dari
orang lain, karena bisa jadi dirinya memang seperti yang dikatakan oleh
orang lain itu, bisa pula dirinya merasa tidak mempunyai urusan dengan
orang lain tersebut, apa pedulinya. Bodoh amat. Namun hal ini akan
berbeda manakala hinaan dan celaan datang dari orang yang ada di samping
kita, orang yang paling kita sayangi, suami atau istri. Sudah barang
tentu hal ini akan lebih menyakitkan hati, rasa kecewa yang dipikul pun
lebih berat. Bayangkan orang yang kita sayangi dan kita cintai justru
malah berani menghina dan mencela. Sakit bukan? Kalau sudah demikian
lalu bagaimana? Apa pun, penulis yakin hal ini mengganggu kebahagiaan
Anda.
Ini dari sisi korban hinaan dan celaan. Kalau dari sisi pelaku maka
penulis katakan bahwa mencela atau menghina merupakan perilaku tercela
dan terhina, tidak ada manusia termasuk istri atau suami Anda bahkan
Anda sendiri yang merasa nyaman dicela dan dihina, jika demikian maka
Anda tidak patut melakukannya, lebih-lebih kepada orang yang selalu
mendampingi Anda. Satu hal yang jarang disadari oleh seorang pencela
atau penghina, bahwa celaan dan hinaan yang berasal darinya merupakan
indikasi dari apa yang bercokol di dalam jiwanya. Mencela dan menghina
bersumber dari jiwa yang hina dan cela, layaknya air keruh yang berawal
dari mata air yang keruh pula. Kalau sebuah jiwa itu bersih maka yang
keluar darinya adalah kata-kata dan sikap yang bersih, ibarat mata air
yang jernih mengalirkan air yang bening dan menyejukkan. Dari sini maka
orang yang mencela dan menghina, lebih-lebih jika celaan dan hinaan
dialamatkan kepada suami atau istri, lebih berhak dan lebih layak
mendapatkan hinaan dan celaan tersebut, dirinya lebih patut untuk dia
cela, karena dengan mencela menunjukkan bahwa dirinya busuk.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala manakala Dia melarang kaum
muslimin, termasuk kaum muslimat, saling mengejek di antara mereka. Dia
berfirman, artinya,“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu
kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang
diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok dan jangan
pula wanita-wanita mengolok-olok wanita-wanita yang lain, karena bisa
jadi wanita-wanita yang diperolok-olok itu lebih baik daripada
wanita-wanita yang memperolok-olok.” (QS. al-Hujurat: 11).
Dalam ayat di atas Allah menyatakan bahwa pihak yang diejek bisa jadi
lebih baik, ini menunjukkan bahwa dengan mengejek, seseorang telah
meletakkan dirinya pada posisi yang lebih rendah daripada orang yang dia
ejek. Kalau suami menghina atau mencela istri, berarti secara tidak
langsung dia memposisikan diri lebih rendah, konsekuensinya adalah bahwa
dirinyalah yang lebih berhak mendapatkan hinaan yang dia katakan itu.
Kata orang, ketika kamu menunjuk kepada seseorang, maka satu jari
mengarah kepadanya dan empat jari mengarah kepada dirimu sendiri.
Saat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Apa hak istri salah seorang di antara kita atasnya?” Beliau menjawab, “…Wa la tuqabbih… (HR.
oleh Abu Dawud, an-Nasa`i, Ibnu Majah dan Ahmad, dishahihkan oleh
al-Hakim dan Ibnu Hibban). Maksudnya jangan berkata-kata buruk
kepadanya, jangan mencacinya, menghinanya dan berkata, “Semoga Allah memburukkanmu.”
Pertimbangan lain, bukanlah saat pertama menikah Anda tahu minimal
secara global bahwa calon istri atau suami Anda memiliki kekurangan?
Secara umum jawaban dari pertanyaan ini adalah ya, bila demikian lalu
mengapa sekarang kekurangan tersebut menjadi bahan hinaan dan
olok-olokan padahal sebelumnya sudah diketahui? Kehidupan rumah tangga
yang baik adalah hubungan yang saling menghargai dan hal ini tidak
terwujud manakala Anda justru menghina pasangan Anda sendiri. Kalau
suami atau istri sendiri saja direndahkan, lalu bagaimana dengan orang
lain.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar