Tahlilan, Doa Bersama untuk Mayit, tidak dikenal di masa Rasulullah, Para Sahabat dan Para Tabi’in maupun Tabi’ut Tabi’in
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara
ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat
Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama,
berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya,
membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a
tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi
bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali
bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan
istilah “Tahlilan”.
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing
untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat
manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan
inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita
untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki. Telah kita maklumi bersama
bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa
dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari
kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan,
beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an,
dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada
si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil
yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali),
maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan
(terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus
berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan
kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut
diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang
berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tidak lepas pula dalam
acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara
diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif,
tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya
menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang
berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta
kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan,
hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada
yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat
dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi
acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca:
“wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan
ajaib) apabila ditinggalkan.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan
kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu
mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada
Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya
dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah
subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala
telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya. ” (An Nisaa’: 59)
Sejarah Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara
ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut
tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam
Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan
ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu
dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca:
selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama
Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan
mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada
waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara
praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu
dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan
bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam
menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain. Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan paling tidak terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan
disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada
si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian. ” (Al Maidah: 3) Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah
(surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan
kepada kalian semuanya. ” (H. R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku. ” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya. ” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak. ” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya. ”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah pent) berarti dirinya telah menciptakan
hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit). ” (H. R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan
hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama
menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf
yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan
madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia
mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata
dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku
membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent)
meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah
kesedihan dan memberatkan urusan mereka. ” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya
Asy Syaikh Al Albani hal. 211) Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari
madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas
didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah
lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh
murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi)
dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan
tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang
menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban
yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang
perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka. ” (H. R Abu Dawud, At
Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar