MENJAGA SHALAT
Identitas seorang muslim
tidak terlepas dari amaliyah ibadah shalat, karena shalat merupakan
ciri yang membedakan antara pribadi muslim dengan orang kafir. Orang
muslim yang Islamnya benar, pasti melakukan ibadah shalat penuh dengan
kesungguhan dan kekhusyu’an seraya berjamaah.
Sedangkan bagi mereka
yang Islamnya hanya pengakuan saja, shalat hanya sekedar lambang atau
keinginan untuk mendapatkan pengakuan. Padahal, shalat bukanlah
sekumpulan gerakan dan bacaan yang kosong dari makna dan tujuan, tetapi
ia adalah ibadah yang mengandung arti yang dalam dan berisi pelajaran
yang berharga.
Shalat
adalah kunci diterima atau tidaknya semua amal manusia. Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Amal yang pertama kali dihisab
dari amalan seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya, maka jika
shalatnya baik, berbahagialah dia, dan jika shalatnya rusak, rugilah
dia dan sia-sialah usahanya.” (HR. Thabrani)
Imam Ahmad dalam sebuah nasihat kepada putranya Abdullah pernah
berkata; “Hai anakku, Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam telah menegaskan:
“Tidak ada keberuntungan sama sekali dalam Islam untuk orang yang
meninggalkan shalat.”
Lebih lanjut Iman Ahmad
berkata, Umar bin Khaththab pernah mengirim surat peringatan kepada
semua wali negeri (gubernur), di dalamnya beliau berkata: “Hai para
wali, sesungguhnya tugas yang aku pandang paling penting adalah shalat.
Maka barangsiapa memelihara shalat, niscaya dia telah memelihara
agamanya. Orang yang menyia-nyiakan shalat, maka ibadah lainnya pasti
lebih dia sia-siakan. Tidak ada bagian apa-apa dalam Islam bagi orang
yang meninggalkan shalat.” Karena itu, hai Abdullah, orang yang
menyia-nyiakan shalat dan meremehkannya berarti ia menyia-nyiakan dan
meremehkan Islam. Keberuntungan seorang hamba dalam Islam adalah
menurut keberuntungan yang ia peroleh dalam shalat, kesenangan mereka
kepada Islam, adalah menurut kesenangannya kepada shalat.”
Ingatlah akan dirimu hai Abdullah dan waspadalah, jangan sampai kamu
menjumpai Allah dalam keadaan tidak menghargai Islam. Kadar penghargaan
yang diberikan seseorang kepada Islam adalah sekedar harga shalat
dalam jiwanya.”
Nasihat Imam Ahmad kepada
anaknya di atas hakekatnya ditujukan kepada umat Islam umumnya.
Bagaimana selaku orang beriman tidak menyia-nyiakan ibadah shalat yang
juga sebagai ciri—rukun Islam—dari keberadaan kita sebagai muslim.
Peringatan itu juga menunjukan begitu tingginya kedudukan shalat dalam
syariat Islam, oleh karenanya tidak ada alasan bagi seorang muslim
untuk tidak melaksanakan dan menjaganya dengan baik.
Di antara menjaga shalat yang baik adalah melaksanakannya secara khusyu’ dan berjama’ah.
Shalat yang Khusyu’
Menurut kebanyakan ulama yang dimaksud dengan khusyu’ adalah,
“Menundukkan menenangkan hati serta anggota badan kepada Allah Suhanahu
Wa Ta’ala.”
Jadi, shalat seseorang dapat
dikatakan khusyu’ manakala selama shalat tersebut hati dan pikirannya
senantiasa tertuju kepada Allah Ta’ala. Rasulullah Shalalahu Alaihi
Wasallam bersabda: “Bahwasanya seorang hamba sungguh mengerjakan
shalat, padahal tidak ditulis baginya kecuali setengahnya,
sepertiganya, seperempatnya, seperlimanya sampai sepersepuluhnya.
Sesungguhnya yang ditulis untuk seseorang dari shalatnya hanyalah
sekedar yang dapat ia pahami dari padanya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud
dari Amar bin Yasir)
Adapun cara untuk
mengkhusyu’kan shalat antara lain; Ihsan, yaitu merasa diawasi Allah
yang Maha Kuasa. Memahami makna bacaan Qur’an dan dzikir-dzikir yang
dibaca dan menghayati kandungannya. Memanjangkan ruku’ dan sujudnya.
Muhammad Al-Bahry berkata, “Di antara pekerjaan yang menghasilkan
khusyu’ adalah memanjangkan ruku’ dan sujudnya.”
Jangan memain-mainkan anggota badan. Hendaknya memandang ketempat
sujud walaupun bermata buta atau shalat di samping Ka’bah. Berupaya
menjauhkan diri dari segala hal yang membimbangkan hati. Karena itu
jangan shalat di atas tikar atau sajadah yang bergambar dan jangan
shalat sambil menahan buang air besar atau kecil.
Dengan upaya-upaya di atas, diharapkan shalat yang dilaksanakan lebih
mendekatkan kepada kekusyu’an dalam shalat. Sehingga ibadah shalat yang
dikerjakan minimal lima kali dalam sehari ini tidak menjadikan kita
orang-orang merugi.
Shalat Berjamaah
Begitu tinggi nilai yang Allah berikan kepada orang mukmin yang shalat
dengan berjamaah, sehingga Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam pun
bersabda: “Shalat berjama’ah itu lebih utama dari pada shalat sendirian
sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu
Umar ra.)
Tak heran jika Islam sangat menuntut
agar muslimin melaksanakan shalat bejamaah di setiap masjid. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah:
34)
Menurut catatan kaki “Al-Qur’an dan
terjemahnya” Departemen Agama RI, yang dimaksud dengan kalimat
“ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ adalah shalat berjamaah.
Pada ayat lain Allah berfirman, “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid
Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali
kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk
orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-taubah: 18)
Dari kedua firman Allah di atas, bisa disimpulkan shalat berjama’ah
itu wajib bagi setiap mukmin laki-laki, tidak ada keringanan untuk
meninggalkannya kecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama).
Hadis-hadis yang merupakan dalil tentang hukum ini sangat banyak, di
antaranya:
Hadis shahih dari Abu Hurairah ra. Ia
berkata, “Telah datang kepada Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam
seorang lelaki buta, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak
punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada
Rasulullah agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.’ Maka
Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk
pulang, beliau (Rasulullah) memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah
engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’
Beliau bersabda, ‘Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)’”. (HR.
Muslim)
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa pergi
ke masjid baik pagi atau sore hari, maka Allah akan menyediakan satu
tempat tingal di surga setiap kali dia pergi.” (Muttafaq Alaih)
Ibnu Mas’ud berkata: “Barangsiapa ingin berjumpa dengan Allah sebagai
seorang muslim, hendaklah benar-benar menjaga shalat pada waktunya
ketika mendengar suara adzan. Sesungguhnya Allah telah menganjurkan
kepada Nabimu langkah-langkah untuk mendapatkan kebaikan yaitu, shalat
berjama’ah di masjid yang diserukan adzan di dalamnya. Seandainya kamu
shalat di rumahmu…maka berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu.
Jika kamu meninggalkan sunnah Nabimu, maka sesatlah kamu.”
Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Barangsiapa dari tetangga masjid
mendengar seruan adzan lalu dia tidak memenuhinya sedang dia dalam
keadaan sehat, tidak ada udzur (halangan), maka tidak ada shalat
baginya.”Diriwayatkan, suatu saat Khalifah Umar
bin Khathab mendapati beberapa kelompok yang tidak shalat berjamaah.
Maka beliau bertanya: “Apa sebabnya orang-orang itu tidak datang?
Hendaknya mereka datang ke masjid atau saya kirimkan kepada mereka
orang-orang yang akan menebas batang leher mereka.” Kemudian Umar
berseru dengan suara yang lantang, “Datanglah ke shalat jamaah,
datanglah ke shalat jamaah, datanglah ke shalat jamaah!”
Ibnu Abas berkata: “Barangsiapa mendengar seseorang yang adzan, dan
tidak memenuhinya, maka jelas orang itu tidak dikehendaki Allah menjadi
orang baik dan tidak pula menghendaki adanya kebaikan untuk dirinya.”
Demikianlah firman Allah, hadis Nabi dan komentar para tokoh sahabat
tentang pentingnya shalat berjamaah di masjid. Sedangkan ulama sesudah
mereka, khususnya para imam-imam madzhab walaupun berbeda pendapat
dalam menentukan hukumnya, namun mereka bersepakat meninggalkan shalat
berjamaah tanpa ada udzur adalah perbuatan yang sangat tercela. Para
ulama madzhab Hanafi dan Maliki bahkan menetapkan bahwa meninggalkan
shalat berjamaah adalah berdosa, walaupun mereka menghukuminya sebagai
sunnah muakkad.
Adapun udzur yang di bolehkan
untuk meniggalkan shalat berjamaah ialah: sakit atau bepergian.
Mengerjakan hal yang sangat perlu, misalnya sangat lapar, perlu makan
dahulu. Takut kehilangan harta, atau takut terhadap suatu gangguan,
atau sedang sangat mengantuk. Takut akan gangguan hujan, Lumpur,
banjir, angin topan, dan keadaan sangat gelap gulita.
Bila kita renungkan uraian di atas, ternyata shalat berjamaah harus
dilaksanakan di masjid, yang suara adzan sampai pada rumahnya, kecuali
jika ada udzur yang dibolehkan, maka barulah dilaksanakan di rumah,
namun tidak bagi kaum muslimat. Bagi mereka, shalat di rumah lebih
utama daripada shalat di masjid. Ini berdasarkan larangan Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi Wasallam kepada suami atau wali agar tidak
menghalangi kaum muslimat mengikuti shalat berjamaah di masjid.
Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu menghalangi para wanita keluar ke
masjid, sedang rumah-rumah mereka lebih baik baginya.” (HR. Abu Daud
dari Ibnu Umar)
Dalam hadis lain “Jangan kamu
menghalangi hamba-hamba Allah (para wanita) pergi ke masjid Allah. Dan
hendaklah mereka keluar ke masjid dengan tanpa wewangian.” (HR. Abi
Daud dari Abu Hurairah)
Terkait hal di atas,
Prof. Dr. Hasbi Ash Shiddiqy setelah mengedepankan hadis-hadis tentang
larangan “mencegah kaum wanita pergi ke masjid” dan hadis yang
menerangkan “kaum wanita lebih utama shalat di masjid” berkomentar
sebagai berikut;
“Apabila hadis-hadis dalam
masalah ini dikumpulkan semuanya dan di artikan satu per satu condong
kepada pendapat Ibnu Harun, yakni: ‘Bukanlah yang lebih utama bagi
wanita shalat di rumahnya melainkan lebih utama bagi mereka shalat
dengan berjamaah di masjid (dekat rumahnya). Hadis yang menerangkan
bahwa para wanita lebih baik shalat di rumahnya, tak ada yang terlepas
catatan atau dipermasalahkan keshahihannya. Andaikata kita pandang
shahih, maka dia berlawanan dengan hadis yang nyata-nyata keshahihannya
dan perintah nabi sendiri supaya wanita pergi ke tanah lapang pada
hari Ied. Sekirannya para wanita lebih baik shalat di rumah, tentulah
para wanita sahabat tidak bersusah payah keluar di malam hari dan di
waktu pagi hari untuk shalat berjamaah bersama Nabi di masjid. Seluruh
ahli ilmu menetapkan bahwa Nabi tidak pernah melarang para wanita
menghadiri shalat berjamaah di masjid. Juga para Khulafaur Rasyyidin
tidak pernah mengeluarkan larangan untuk itu. Jika demikian, nyatalah
bahwa perginya para wanita ke masjid adalah suatu “amalul ghoiri” suatu
amal kebajikan dan kebaikan. Jika tidak, tentulah Nabi tidak akan
membiarkan para wanita pergi ke masjid.”
0 komentar:
Posting Komentar