Selasa, 19 Februari 2013

Jika Lingkungan Buruk, Tetaplah Baik

Tetap Baik Dalam Lingkungan Buruk

”Sulit sekali untuk menjadi pribadi yang baik jika kita tinggal di lingkungan yang buruk. Namun, jika keadaan tidak memungkinkan untuk keluar dari lingkungan itu, kita masih memiliki kesempatan untuk menjadi pribadi yang baik.”

Menyingkir merupakan salah satu solusi ampuh untuk menghindari pengaruh buruk lingkungan. Sayangnya, hal itu tidak selalu praktis untuk dilakukan. Jika rumah kita berada di lingkungan yang kurang harmonis, misalnya. Pindah rumah tidaklah selalu murah. Jika suasana kerja dikantor kita tidak lagi kondusif, pindah kerja juga bukan perkara mudah. Mungkinkah kita bisa tetap memiliki sikap dan perilaku baik jika tetap tinggal di lingkungan sedemikian buruk?

Inilah pertanyaan yang sejak lama mampir di benak saya; “Kenapa, ikan laut tidak ikut menjadi asin?” Meski sepanjang hidupnya ikan itu berendam dalam air asin, namun dagingnya tetap saja tawar. Mungkin ini isyarat yang menunjukkan bahwa – jika mau – kita bisa tetap menjadi pribadi yang baik, meskipun orang-orang disekitar kita pada melakukan keburukan secara berjamaah. Kita, kadang takut tersingkir dari lingkungan jika tidak ikut-ikutan perilaku kebanyakan orang. Jika tidak ‘menyesuaikan’ diri dengan praktek-praktek tak pantas atasan, kita takut karir akan mentok. Jika tidak meniru perilaku tak patut teman-teman, kita akan disisihkan. Hari ini, kita diingatkan kembali bahwa tidak peduli seasin apapun air laut. Seberapa lamapun ikan berendam didalamnya. Daging ikan itu tidak ikut menjadi asin. Dari pelajaran ini kita tahu bahwa; tetap menjadi pribadi yang baik dalam lingkungan yang buruk itu bukanlah sebuah kemustahilan. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar menjaga kebaikan pribadi didalam lingkungan yang buruk, saya ajak memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini:

1. Dari asalnya asing kembali menjadi asing. Guru kehidupan saya mengajarkan bahwa sebelum para Nabi diutus, manusia hidup dalam masa kegelapan. Dimasa itu, kebaikan seolah menjadi barang asing. Itulah sebabnya mengapa ketika para Nabi datang membawa pencerahan; mereka dimusuhi. Ajaran dan ajakannya dinilai tidak relevan dengan keadaan. Dengan kegigihan para utusan itu kemudian manusia berjalan menuju cahaya. Dibawah bimbingan pribadi-pribadi agung itu orang-orang mulai beralih kepada kebaikan, hingga akhirnya keburukan tersisih sedangkan kebaikan menjadi sebuah kebiasaan. Ketika para Nabi dipanggil pulang, nilai-nilai kebaikan mulai terkikis lagi oleh keburukan yang menjanjikan kemudahan dan gelimang kenikmatan. Sampai akhirnya kebaikan yang dahulu asing itu kembali menjadi asing. Maka tidak perlu terlampau heran jika menyaksikan kompakkan sekelompok orang dalam mempertahankan keburukan. Bahkan tidak malu lagi mempertontonkan kepiawaiannya dalam melakukan keburukan itu. Karena, sudah menjadi fitrah bahwa kebaikan itu akan kembali menjadi barang asing. Namun, ada kabar baik bagi mereka yang masih tetap memiliki nilai-nilai kebaikan didalam dirinya. Karena dia langka. Maka nilainya sangat berharga.

2. Memiliki kemampuan yang bisa diandalkan. Salah satu titik lemah kita adalah keadaan dimana kita merasa tidak berdaya. Kita tidak bisa berbuat apa-apa sehingga apa maunya lingkungan ya terpaksa diikuti saja. Penyebab utama keadaan ini adalah karena kita tidak memiliki kemampuan yang bisa diandalkan untuk meraih kecukupan dalam menjalani hidup. Beda sekali dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang bisa diandalkan. Mereka bisa membawa diri dengan sebaik-baiknya sehingga meski lingkungan buruk menuntutnya melakukan sesuatu, mereka masih bisa menjaga kemandirian. Pengaruh buruk lingkungan tidak bisa menjamahnya. Karena dengan kemampuannya yang bisa diandalkan, mereka tidak menggantungkan diri pada lingkungan yang buruk itu. Mungkin sudah saatnya kita belajar memampukan diri sendiri. Semakin kita sadar belum memiliki kemampuan itu, semakin kita terdorong untuk memulai membangunnya saat ini juga. Mungkin hari ini kita masih bergantung pada lingkungan. Namun, besok lusa, mungkin kita sudah bisa lebih berdaya. Beberapa tahun lagi, Insya Allah kita bisa membebaskan diri dari jerat pengaruh buruk lingkungan. Karena beberapa tahun lagi, mungkin kita sudah memiliki kemampuan yang bisa diandalkan. Lama nian? Tidak masalah. Itu jauh lebih baik daripada pasrah saja, mengikuti arus yang kita tahu tidak betul itu. Yuk, terus melatih diri. Agar perlahan tapi pasti, kita bisa mempersiapkan esok yang lebih baik. Dan lebih berkah lagi.

3. Membuang sifat serakah. Kita ini tidak miskin-miskin amat lho. Semua yang kita dapat cukup untuk menjalani hidup. Sayangnya, kita tetap saja merasa tidak cukup. Kita suka bingung kala membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Sehingga kita sering menginginkan segala sesuatu yang tidak kita butuhkan. Bahkan ketika semua kebutuhan hidup sudah terpenuhi, kita masih saja mengumbar keinginan terhadap ini dan itu. Bukan soal keinginannya yang salah, tetapi menyelaraskan keinginan itu dengan kemampuan aktual kita. Penghasilan kita – misalnya – cukup untuk menempuh hidup yang layak dan bermartabat. Namun gaya hidup kita, melampaui kemampuan sebenarnya. Makanya kita sering kepepet. Sedangkan kata ‘kepepet’ memiliki sahabat karib bernama ‘terpaksa’. Jika sudah ‘kepepet’, tiba-tiba saja kita berada pada situasi yang memungkinkan kita melakukan sesuatu karena ‘terpaksa’ itu. Melihat bagaimana cara orang lain mengatasi keterpepetan itu, akhirnya kita terpaksa mengikuti mereka. Padahal, selama gigih berusaha dan berikhtiar; maka hidup kita sudah dijamin. Tuhan yang menjanjikan itu, seperti tertera dalam kitab suciNya. Namun, tidak ada ikhtiar yang bisa memenuhi tembolok yang dibuat dari kantung keserakahan. Maka agar bisa terhindar dari pengaruh buruk lingkungan, kita perlu membuang sifat-sifat serakah yang ada didalam diri kita sendiri.

4. Mengajak anggota keluarga untuk tetap baik. Sungguh tidak mudah untuk menjaga agar orang-orang terdekat kita tetap baik ditengah godaan lingkungan yang buruk. Khususnya terkait godaan hedonisme. Pameran barang mewah. Pertunjukan pelesir kesana kemari. Parade gadget keren dan berganti-ganti. Oh. Seperti serangan bertubi-tubi. Kita sendiri, mungkin bisa menangkisnya karena kita tahu persis sampai sejauh mana kemampuan aktual kita. Tetapi, anggota keluarga kita – istri – suami – anak-anak – sanggupkah mereka untuk kuat seperti kita? Pantas jika kitab suci mewanti-wanti; “Jagalah dirimu dan keluargamu….” Benar firman itu adanya. Buktinya, cukup banyak kan orang hebat yang jatuh karena keluarganya? Bahkan penasihat kehidupan rumah tangga pun belum tentu memiliki resep yang ampuh. Karena tak jarang mereka yang terampil menasihati orang lain pun tidak sanggup menolong dirinya sendiri. Maka kita hanya bisa meraba dan mencoba berbagai cara. Khususnya, cara-cara yang tertera dalam kitab yang dibuat melalui wahyu Ilahi. Semoga.

5.Meyakini adanya hari perhitungan. Hanya dalam film-film kebaikan selalu memenangkan pertempuran melawan keburukan. Dalam dunia nyata, keburukan sering lebih terorganisir, lebih kompak, dan lebih perkasa. Maka dalam dunia nyata, kita sering melihat kebaikan terkapar nyaris sekarat. Sedangkan keburukan berpesta pora diatas singgasana kemegahan berkilau gemerlap. Itulah dunia nyata. Maka ketika memilih untuk menjadi pribadi yang baik, mungkin kita akan berhadapan dengan kenyataan bahwa kebaikan-kebaikan yang kita praktekkan. Maupun nilai-nilai positif yang kita tebarkan. Seolah dikepung oleh kekalahan atas riuh rendahnya keindahan melakukan keburukan. Nikmat dan lezatnya kemunkaran. Nyaman dan menyenangkannya kebatilan. Maka kebaikan pun kalah telak. Itulah dunia nyata. Namun, sungguh beruntung orang-orang yang meyakini adanya hari perhitungan. Karena keyakinan itu memberi kita penghiburan bahwa setiap keburukan yang dilakukan oleh siapapun ada hitung-hitungannya. Demikian pula dengan setiap kebaikan yang ada catatan dan takarannya masing-masing. Maka selama meyakini hari perhitungan itu, hati kita menjadi tenteram. Dan kita tahu, bahwa kebaikan yang kita sedang upayakan ini; tidak membawa kita ke tempat manapun selain pahala yang kelak akan kita peroleh tanpa akhir.

Kantor Anda dipenuhi oleh orang-orang yang memamerkan cara-cara buruk? Lingkungan tempat tinggal Anda didominasi oleh perilaku-perilaku kotor? Tidak usah mengeluhkan itu. Cukuplah berfokus kepada 1 hal ini: meniru bagaimana caranya ikan bisa tetap tawar didalam air laut. Tahukah Anda mengapa ikan itu tetap tawar? Tepat sekali. Dia hidup. Maka selama ikan itu hidup, dia akan terus berjuang agar garam diair laut tidak mencemari tubuhnya. Bagaimana dengan kita? Yuk kita meniru sang ikan; selama kita hidup, kita akan terus berjuang agar pengaruh buruk lingkungan tidak mencemari diri kita. Karena selama ikan itu hidup, dia bisa memfungsikan sel khusus untuk menyaring garam. Sel itu bernama ionocyte. Karena selama kita hidup, kita bisa memfungsikan organ khusus yang menyaring keburukan. Organ itu. Bernama. Qalbu. Semoga.

Ketika keburukan terlihat dominan didalam lingkungan yang kita tinggali, kita memiliki 2 pilihan; mengikutinya. Atau menjadikannya penguat tekad untuk tetap menjadi baik.

Semoga Bermanfaat ....
Silahkan saudara-saudariku yang baik, yang mau share atau co-pas, dengan senang hati. Semoga bermanfaat. Semoga pula Allah Ta'ala berikan pahala kepada yang membaca, yang menulis, yang menyebarkan, yang mengajarkan dan yang mengamalkan… Aamiin, Aamiin, Aamiin ya ALlah ya Rabbal’alamin …

Salam Santun Ukhuwah Karena-NYA

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution