Dalil Larangan Acara Kematian
Di antara dalil khusus yang paling sering dikemukakan
adalah tentang larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu
dihidangkan makanan sebagaimana masih banyak diamalkan di masyarakat
dalam bentuk acara peringatan kematian pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
14, 40, 100, setahun (Haul), dan seterusnya.
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanantermasuk daripada meratap” (HR. Ibnu Majah).
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) menganggapberkumpul di keluarga mayit dan membuat makanansetelah penguburannyatermasuk daripada meratap” (HR. Ahmad).
Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut “niyahah”
adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun begitu, bukan
berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis
saat anggota keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw.
saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat
seraya berkata, “Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah
jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati
hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama’/punya sifat rahmat)” (HR.
Bukhari).
Rasulullah Saw. juga menangis saat menjelang wafatnya putra
beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah
seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang
bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam
hadis-hadis shahih (lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).
Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah
menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi
diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju,
memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi
kepala dengan tanah, dan lain sebagainya.
Riwayat atsar shahabat di atas
menyebutkan dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah
penguburan di mana kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para
tamunya tersebut, pada masa shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai
pekerjaan meratap (niyahah).
Kaum Salafi & Wahabi
memahami persamaan ini juga sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga
dalih apapun tidak bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin
mengindikasikan hukumnya yang berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman
harfiyah (tekstual) terhadap dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak menyebutkan hukum haramnya.
Dalam rangka mengharamkannya, terutama kaum Salafi & Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama belakangan (mutaakhir)
yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) yang
terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir kegiatan tersebut.
Padahal
sesungguhnya para ulama yang mereka kutip fatwa-fatwanya itu hanya
meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa bila dikerjakan, berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada ‘illat (benang
merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayit.
Sedangkan bila mereka mengharamkannya, tentu tidak semata-mata
didasarkan pada persamaannya dengan meratap (niyahah)
seperti disebut dalam riwayat di atas karena memang riwayat tersebut
tidak menyebutkan hukum haram, kecuali bila didasarkan pada
faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi terlarang sama sekali.
Mengapa demikian? Karena memang perbuatan meratap (niyahah)
sama sekali berbeda bentuknya dari perbuatan berkumpul di rumah
keluarga mayit lalu dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua
hal tersebutlah yang kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga
status hukum dapat ditetapkan.
Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum
makan “oncom” sama dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang
yang berkata, bahwa dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu
dianggap seperti bangkai? Tentu tidak mungkin mengharamkan oncom kalau
bukan karena oncom tersebut entah mengandung racun, entah hasil curian,
atau entah mengandung najis.
Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin,
juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi & Wahabi Indonesia salah paham
ketika melihat ungkapan Imam Syafi’I atau ulama lain saat mengatakan “akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah”
(bid’ah yang dianggap jelek), sepertinya semua itu mereka pahami
sebagai larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak.
Padahal di
kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan
berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari
hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta’ziyah sampai hari ketiga setelah kematian dan hukum mendo’akan atau bersedekah untuk mayit yang kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.
Bila ungkapan para Mufti empat mazhab (sebagaimana terdapat di dalam I’aanatugh-Thalibiin)
yang dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi Indonesia terkesan begitu
membenci acara kematian seperti tahlilan, di mana berkumpul banyak orang
di rumah keluarga mayit untuk berdo’a lalu dihidangkan makanan, bahkan
terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti itu
benar-benar berpendapat demikian.
Di sinilah terlihat ada tahrif
(distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda
akan melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan
antara penukilan mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam
kitab I’anatuth-Thalibiin.
Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku “Membongkar Kesesatan Tahlilan” (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Mujtahid Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali” (karya H. Mahrus Ali, Laa Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:
“Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
“Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai
ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis
untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat
jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).
Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas, padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu, yaitu:
ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك ( إعانة الطالبين ج: 2 ص: 146)
Jika diterjemahkan, maka bunyinya: “Dan di antara bid’ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram, atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya.” (I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).
Lihatlah penyelewengan itu dengan jelas pada kalimat
yang digaris bawahi, sangat nyata bahwa mereka menyembunyikan maksud
asli dari ungkapan ulama yang terdapat di dalam kitab aslinya. Mereka
memenggal kalimat seenaknya demi tercapai tujuan “pengharaman” agar
terkesan bahwa pendapat atau vonis mereka didukung oleh para ulama.
Itu
belum seberapa, jika anda mau melihat kenekatan H. Mahrus Ali di dalam
buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal.
68-69, anda akan temukan vonis pribadi ditambahkan di dalam terjemah
dalil yang tidak pernah ada di dalam kalimat aslinya, seperti berikut
ini:
“… dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: ‘Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram.”
Subhaanallah! Kenekatan macam apa ini,
berani menipu umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat aslinya
anda dapat lihat pada permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi
vonis-vonis “bodoh”, “kufur”, dan “syirik” yang menghiasi
tuduhan-tuduhan H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi & Wahabi
sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim kebenaran
dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka gembar-gemborkan
sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan seperti ini.
Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab
fiqih dan anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan
berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski
sebenarnya mereka hanya menghukumi “makruh”) sebagaimana termaktub di
dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin juz 2 hal. 145-146, sebenarnya
berangkat dari sumber masalah atau kasus yang ditanyakan kepada mereka
saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu terkesan sangat tidak
wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan. Anda akan
mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang
ditanyakan seperti berikut ini:
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك وصورتهما ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء وحضر معارفه وجيرانه العزاء جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام ويهيئون لهم أطعمة عديدة ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة فهل لو أراد رئيس الحكام بما له من الرفق بالرعية والشفقة على الأهالي بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما حيث قال اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور (إعانة الطالبين، ج. 2، ص. 145)
(Sayid Bakri Syatha’ ad-Dimyathi, penulis I’aanatuth-Thalibiin) berkata:
Dan aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu. Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah “apa pendapat para mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, lalu hadir para penta’ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta’ziyah itu) menunggu makanan, dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para penta’ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam atasnya saat ia berkata: ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far’, apakah (pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?” (lihat I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).
Jika melihat kasus yang digarisbawahi seperti
ungkapan di atas, maka siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para
penta’ziyah itu dalam hal mana“merekamenunggu makanan”
di rumah orang yang sedang mendapat musibah kematian, akal sehatnya
pasti akan menganggap kebiasaan itu sebagai perkara yang sangat tidak
wajar dan sangat pantas untuk diberantas. Terlebih lagi pendapat para
Mufti sekelas Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lainnya.
Wajar saja bila para Mufti tersebut menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid’ah munkarah dan
penguasa yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu,
dengan keluasan ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum “haram”
kecuali bila ada dalil atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.
Mungkin, para Mufti itu akan berkata lain jika
membahasnya dari sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang
ditanyakan di atas), di mana orang-orang datang berta’ziyah kepada
keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau menyabarkan mereka, tetapi
juga memberi bantuan materil berupa uang atau sekedar makanan dan
minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para
penta’ziyah yang datang.
Pada acara tahlilan kematian setelah penguburan si
mayit, orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan
kehendaknya sendiri, melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang
otomatis jika keluarga mayit itu merasa berat, mereka tidak akan merasa
perlu mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang pada
acara tersebut.
Siapakah yang semestinya lebih tahu tentang
“keberatan” dan “beban” keluarga mayit sehingga menjadi alasan untuk
meninggalkan atau melarang kegiatan tersebut, apakah para hadirin yang
diundang ataukah keluarga mayit itu sendiri? Tentunya tidak ada
yang lebih tahu kecuali keluarga si mayit itu sendiri.
Tekad keluarga
mayit mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang ke
rumahnya adalah pertanda bahwa ia sama sekali menginginkannya dan tidak
keberatan, sementara para hadirin yang diundang tidak ada sedikitpun hak
untuk memaksa mereka melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah
mereka benar-benar terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu
bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan
saudara mereka yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa
mereka diundang dan mereka mencoba memenuhi undangan itu.
Akan
sangat menyakitkan hati keluarga si mayit, bila undangannya tidak
dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan tidak dimakan bahkan tidak
disentuh.
Manakah yang lebih utama dalam hal ini, melakukan
amalan yang dianggap “makruh” dengan menghibur dan membuat hati keluarga
mayit senang, atau menghindari yang “makruh” tersebut dengan menyakiti
perasaan keluarga mayit? Tentu, menyenangkan hati orang dengan hal-hal
yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan
menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.
Di satu sisi, keluarga mayit melakukan amal
shaleh dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo’akan si mayit,
bersedekah atas nama si mayit, dan menghormati tamu dengan cara
memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Di sisi lain, para tamu
yang hadir juga melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan,
mendo’akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani (menghibur) keluarga
duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit atau merasa
kehilangan karena kepergiannya.
Manakah dari hal-hal baik tersebut yang
diharamkan di dalam agama??! Jika alasan “berkumpulnya orang akan menambah
kesedihan” membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah orang yang
sedang bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk menambah
kesedihannya? Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga di zaman
ini yang justeru menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga mereka
adalah sebuah “kebaikan” bagi mereka, karena penyakit parahnya yang
menahun selama ini sudah begitu merepotkan mengurusnya, apalagi ditambah
biaya pengobatannya yang sangat banyak? Sungguh, hukum “makruh” yang diletakkan para ulama
untuk adat atau kebiasaan tahlilan kematian itu sudah sangat bijaksana
karena melihat adanya potensi “menambah kesedihan atau beban kerepotan”
meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada.
Namun
begitu, bukan berarti melakukannya sama sekali sia-sia dan tidak
berpahala, karena terbukti banyak hal-hal yang dilakukan di dalam acara
tersebut yang ternyata jelas-jelas diperintahkan di dalam agama,
seperti: Mendo’akan mayit, bersedekah (pahalanya) untuk mayit,
menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir, dan menghibur keluarga
mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.
Adanya kasus-kasus acara kematian yang sangat
membebani dan menyusahkan seperti di kampung-kampung atau pelosok, yang
dilakukan oleh orang-orang awam yang tidak mengerti tentang agama dalam
hal tersebut, tidak bisa dijadikan patokan secara umum untuk menetapkan
hukum haram atau terlarang. Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas
diajarkan atau diberitahu daripada dihukumi.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa kaum Salafi &
Wahabi memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid’ah
meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah
karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah
disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa
mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan. Akibatnya,
“larangan” yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja
diindikasikan maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para
ulama sudah membahas bahwa “larangan” tidak selalu berarti haram, kadang
juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena
kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis
Rasulullah Saw. tentang larangan keras minum sambil berdiri, dibatalkan
hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw. sendiri saat beliau
minum sambil berdiri.
0 komentar:
Posting Komentar