Kamis, 17 Maret 2016

Hijrah

Makna Hijrah Dalam Kehidupan
Tiada ucapan yang layak untuk kita sanjungkan kepada Allah, kecuali rasa syukur kita yang amat dalam atas segala nikmat dan karunia yang diberikan oleh Allah kepada kita, sehingga kita masih diberi-Nya kesempatan untuk menikmati hidup dan kehidupan di tahun baru ini, tahun 1434 Hijriah. Semoga dalam menapaki hidup dan kehidupan ini Allah ta’ala akan selalu memberikan kekuatan dan ketabahan kepada kita sehingga kita dapat memperoleh rida-Nya.


Awwal bulan Muharram 1434 Hijriah,sebagai awwal tahun baru islam hari yang teramat mulia , ada baiknya kita melakukan perenungan kembali tentang apa yang telah kita lakukan selama kita menempuh kehidupan ini. Ada baiknya kita mengevaluasi sudah seberapa banyak amal yang telah kita lakukan untuk bekal kehidupan kita di akhirat kelak. Mari kita coba membuat perhitungan sebelum Allah sendiri nanti yang menghitungnya di Yaumul Hisab.

Rasulullah pernah bersabda : Tidak akan bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat kelak, sehingga ia dapat mempertanggung jawabkan empat hal :  

pertama : tentang umurnya, untuk apa dihabiskan,  
kedua : tentang ilmunya, apa yang telah dia sumbangsihkan (dihasilkannya),  
ketiga : tentang hartanya, bagaimana ia memper-olehnya dan untuk apa saja ia pergunakan, dan 
keempat : fisiknya (jasmaninya), dalam hal apa ia kurbankan.

Sabda Rasulullah tersebut di atas memberikan petunjuk kepada kita, untuk mengisi hidup dan kehidupan ini, maka segala potensi yang kita miliki haruslah kita daya gunakan semaksimal mungkin ke arah hal-hal yang positif sehingga menjadi amal saleh, yang Allah rida dengannya dan juga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakat, termasuk untuk dirinya sendiri. Sebaik-baik manusia adalah manusia yang mampu memberikan nilai tambah atau memberikan manfaat buat orang lain. خيركم أنفعهم للناس

Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai motivasi atau niat. Hal ini pernah ditegaskan oleh Rasulullah, ketika seorang sahabatnya ikut berhijrah dari Makkah ke Madinah. Beliau berkata : setiap pekerjaan harus­lah di dahului dengan niat, maka siapa saja yang hijrah didorong oleh niat semata-mata karena Allah, hijrahnya akan dinilai demikian. Akan tetapi siapa saja yang niatnya hanya didorong oleh keinginan mendapatkan keuntungan duniawi atau karena ingin mengawini seseorang, maka hijrahnya juga dini­lai sesuai dengan tujuan tersebut.

Ketika Nabi berhijrah bersama-sama sahabatnya, motivasi utama yang memicu dan mendorong mereka adalah karena ingin memperoleh ridla Allah. Menjelang hijrah kaum muslimin berada pada posisi yang lemah dan teraniaya, namun karena keyakinan yang amat dalam bahwa Allah akan menolong dan membantu mereka, maka tak pernah sirna dalam sanubari mereka bahwa pertolongan Allah pasti akan datang, dan mareka pasti akan memperoleh kemenangan. Hal ini disebabkan oleh karena tebalnya iman yang mereka miliki. Berhijrah bagi mereka adalah sama halnya dengan berpindah dari suatu keadaan kepada keadaan yang lebih baik. Masa depan yang gemilang terbayang-bayang di rongga mata, kehidupan yang lebih baik, damai dan sejahtera telah menunggu mereka.

Jadi hijrah tersebut dapat kita maknai dengan “berpin­dah dari suatu keadaan/situasi kepada keadaan/situasi yang lebih baik, situasi yang lebih menguntungkan, situasi yang lebih kondusif untuk memaksimalisir pendayagunaan segala potensi diri yang kita miliki, mendayagunakan umur yang masih tersisa, mendayagunakan harta yang kita miliki, menda­yagunakan ilmu serta ketrampilan yang kita kuasai, sehingga hidup dan kehidupan kita lebih bermakna dari hari-hari sebelumnya”.

Allah berfirman :
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dijalan Allah baik dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.

Hijrah Rasulullah saw. telah berlalu empat belas abad yang lalu, namun dari hijrah dan celah-celah peristiwanya, banyak sekali pelajaran yang dapat kita petik, beberapa diantaranya adalah:

Ketika Rasulullah menyampaikan kepada Abu Bakar bahwa Allah swt memerintahkannya untuk berhijrah, dan sekaligus Rasulullah mengajak sahabatnya itu untuk berhijrah bersama, Abu Bakar menangis karena kegirangan. Ia bergegas untuk membeli dua ekor unta dan menyerahkannya kepada Rasulullah untuk memilih yang disukainya. 

Terjadilah dialog antara keduanya : Kata Abu Bakar  aku tidak akan mengendarai unta yang bukan milikku, unta ini kuserahkan untukmu. Jawab Rasulullah, baiklah, tapi aku akan membayar harganya. Abu Bakar tetap menginginkan agar Rasulullah mau mener­ima unta pemberiannya itu sebagai hadiah, namun nabi tetap menolaknya, akhirnya Abu Bakar menyetujui sikap dan pendir­ian nabi.

Tentu timbul pertanyaan, mengapa nabi tetap ngotot untuk membelinya, bukankan Abu Bakar adalah sahabat beliau, dan bukankah nabi sebelum, bahkan sesudahnya sering menerima hadiah dan pemberian dari Abu Bakar? Disini terdapat suatu pelajaran yang sangat berharga.


Rasulullah saw. ingin mengajarkan kepada kita bahwa untuk mencapai suatu usaha besar, dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang. Beliau bermaksud berhijrah dengan segala daya dan potensi yang dimilikinya, tenaga, pikiran dan materi bahkan dengan jiwa dan raga beliau. Dengan membayar harga unta itu nabi mengajarkan kepada Abu Bakar dan kepada kita bahwa dalam mengabdi kepada Allah, janganlah mengabaikan segala kemampuan dan potensi yang kita miliki. Allah mengingatkan Sesungguhnya kepada Tuhanlah tempat kembali (QS 96: 8).

Peristiwa lain yang menarik dari hijrah Rasulullah adalah, ketika beliau akan beranghkat ke Madinah beliau memesan keponakannya Ali bin Abi Thalib agar tidur di tempat pembaringan beliau, dan berselimut dengan selimut beliau. Hal demikian beliau lakukan adalah untuk mengelabui kaum musyrik Makkah. Ali pada hakikatnya mempertaruhkan jiwa raganya demi membela agama Allah. Disini sekali lagi kita hendak memetik pelajaran dari peristiwa ini, apa sebenarnya arti hidup ini menurut pandangan agama ?

Hidup bukanlah hanya sekedar menarik dan menghembuskan nafas. Sebab Al-Quran memberikan i’tibar kepada kita. Ada orang-orang yang terkubur, tetapi Al-Quran menyebutnya orang yang hidup dan mendapat rezeki QS 3 : 169. Yang artinya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan orang itu hidup di sisi tuhannya dengan mendapat rezki” Ali Imran 169.

Demikian juga sebaliknya, ada orang-orang yang menarik dan menghem­buskan nafasnya, namun dianggap sebagai orang-orang mati “Tidaklah sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati, sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang di kehendakiNya QS 35:22.

Hidup dalam pandangan agama adalah kesinambungan antara dunia dan akhirat dalam keadaan berbahagia, kesinambungan yang melampaui usia dunia ini. Sehingga dengan demikian, tiadalah akan bermakna hidup seseorang manakala ia tidak menyadari bahwa ia mempunyai kewajiban-kewajiban yang lebih besar dan yang melebihi kewajiban-kewajibannya hari ini. Setiap orang beriman wajib mempercayai dan menyadari bahwa di samping wujudnya masa kini, masih ada lagi wujud yang lebih kekal dan dapat menjadi lebih jauh dan lebih indah daripada kehidupan dunia ini.

Firman Allah swt.
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar kalau mereka mengetahui. 

Oleh sebab itu marilah segala potensi dan kemampuan yang kita miliki kita dayagunakan semaksimal mungkin, agar hidup dan kehidupan kita akan lebih bermakna, dan kita di akhirat kelak akan beroleh kebahagiaan yang lebih hakiki, dan lebih permanen. Kita berdoa kepada Allah kiranya Allah akan memberikan kekuatan kepada kita untuk tetap beramal dan mengabdi kepada-Nya, sehingga kita akan memperoleh Rida-Nya.


Wallahu ‘alamu bishawab.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution