Makna Hijrah Dalam Kehidupan
Tiada ucapan yang layak untuk kita sanjungkan
kepada Allah, kecuali rasa syukur kita yang amat dalam atas segala
nikmat dan karunia yang diberikan oleh Allah kepada kita, sehingga kita
masih diberi-Nya kesempatan untuk menikmati hidup dan kehidupan di tahun
baru ini, tahun 1434 Hijriah. Semoga dalam menapaki hidup dan kehidupan
ini Allah ta’ala akan selalu memberikan kekuatan dan ketabahan kepada
kita sehingga kita dapat memperoleh rida-Nya.
Awwal bulan
Muharram 1434 Hijriah,sebagai awwal tahun baru islam hari yang teramat
mulia , ada baiknya kita melakukan perenungan kembali tentang apa yang
telah kita lakukan selama kita menempuh kehidupan ini. Ada baiknya kita
mengevaluasi sudah seberapa banyak amal yang telah kita lakukan untuk
bekal kehidupan kita di akhirat kelak. Mari kita coba membuat
perhitungan sebelum Allah sendiri nanti yang menghitungnya di Yaumul
Hisab.
Rasulullah pernah bersabda : Tidak akan bergeser
telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat kelak, sehingga ia dapat
mempertanggung jawabkan empat hal :
pertama : tentang umurnya, untuk apa dihabiskan,
kedua : tentang ilmunya, apa yang telah dia sumbangsihkan (dihasilkannya),
ketiga : tentang hartanya, bagaimana ia memper-olehnya dan untuk apa saja ia pergunakan, dan
keempat : fisiknya (jasmaninya), dalam hal apa ia kurbankan.
Sabda Rasulullah tersebut di atas memberikan
petunjuk kepada kita, untuk mengisi hidup dan kehidupan ini, maka segala
potensi yang kita miliki haruslah kita daya gunakan semaksimal mungkin
ke arah hal-hal yang positif sehingga menjadi amal saleh, yang Allah
rida dengannya dan juga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kehidupan masyarakat, termasuk untuk dirinya sendiri. Sebaik-baik
manusia adalah manusia yang mampu memberikan nilai tambah atau
memberikan manfaat buat orang lain. خيركم أنفعهم للناس
Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang
pasti mempunyai motivasi atau niat. Hal ini pernah ditegaskan oleh
Rasulullah, ketika seorang sahabatnya ikut berhijrah dari Makkah ke
Madinah. Beliau berkata : setiap pekerjaan haruslah di dahului dengan
niat, maka siapa saja yang hijrah didorong oleh niat semata-mata karena
Allah, hijrahnya akan dinilai demikian. Akan tetapi siapa saja yang
niatnya hanya didorong oleh keinginan mendapatkan keuntungan duniawi
atau karena ingin mengawini seseorang, maka hijrahnya juga dinilai
sesuai dengan tujuan tersebut.
Ketika Nabi berhijrah bersama-sama sahabatnya,
motivasi utama yang memicu dan mendorong mereka adalah karena ingin
memperoleh ridla Allah. Menjelang hijrah kaum muslimin berada pada
posisi yang lemah dan teraniaya, namun karena keyakinan yang amat dalam
bahwa Allah akan menolong dan membantu mereka, maka tak pernah sirna
dalam sanubari mereka bahwa pertolongan Allah pasti akan datang, dan
mareka pasti akan memperoleh kemenangan. Hal ini disebabkan oleh karena
tebalnya iman yang mereka miliki. Berhijrah bagi mereka adalah sama
halnya dengan berpindah dari suatu keadaan kepada keadaan yang lebih
baik. Masa depan yang gemilang terbayang-bayang di rongga mata,
kehidupan yang lebih baik, damai dan sejahtera telah menunggu mereka.
Jadi hijrah tersebut dapat kita maknai dengan
“berpindah dari suatu keadaan/situasi kepada keadaan/situasi yang lebih
baik, situasi yang lebih menguntungkan, situasi yang lebih kondusif
untuk memaksimalisir pendayagunaan segala potensi diri yang kita miliki,
mendayagunakan umur yang masih tersisa, mendayagunakan harta yang kita
miliki, mendayagunakan ilmu serta ketrampilan yang kita kuasai,
sehingga hidup dan kehidupan kita lebih bermakna dari hari-hari
sebelumnya”.
Allah berfirman :
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad dijalan Allah baik dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih
tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat
kemenangan.
Hijrah Rasulullah saw. telah berlalu empat belas
abad yang lalu, namun dari hijrah dan celah-celah peristiwanya, banyak
sekali pelajaran yang dapat kita petik, beberapa diantaranya adalah:
Ketika Rasulullah menyampaikan kepada Abu Bakar
bahwa Allah swt memerintahkannya untuk berhijrah, dan sekaligus
Rasulullah mengajak sahabatnya itu untuk berhijrah bersama, Abu Bakar
menangis karena kegirangan. Ia bergegas untuk membeli dua ekor unta dan
menyerahkannya kepada Rasulullah untuk memilih yang disukainya.
Terjadilah dialog antara keduanya : Kata Abu Bakar aku tidak akan
mengendarai unta yang bukan milikku, unta ini kuserahkan untukmu. Jawab
Rasulullah, baiklah, tapi aku akan membayar harganya. Abu Bakar tetap
menginginkan agar Rasulullah mau menerima unta pemberiannya itu sebagai
hadiah, namun nabi tetap menolaknya, akhirnya Abu Bakar menyetujui
sikap dan pendirian nabi.
Tentu timbul pertanyaan, mengapa nabi tetap
ngotot untuk membelinya, bukankan Abu Bakar adalah sahabat beliau, dan
bukankah nabi sebelum, bahkan sesudahnya sering menerima hadiah dan
pemberian dari Abu Bakar? Disini terdapat suatu pelajaran yang sangat
berharga.
Rasulullah saw. ingin mengajarkan kepada kita
bahwa untuk mencapai suatu usaha besar, dibutuhkan pengorbanan maksimal
dari setiap orang. Beliau bermaksud berhijrah dengan segala daya dan
potensi yang dimilikinya, tenaga, pikiran dan materi bahkan dengan jiwa
dan raga beliau. Dengan membayar harga unta itu nabi mengajarkan kepada
Abu Bakar dan kepada kita bahwa dalam mengabdi kepada Allah, janganlah
mengabaikan segala kemampuan dan potensi yang kita miliki. Allah
mengingatkan Sesungguhnya kepada Tuhanlah tempat kembali (QS 96: 8).
Peristiwa lain yang menarik dari hijrah Rasulullah
adalah, ketika beliau akan beranghkat ke Madinah beliau memesan
keponakannya Ali bin Abi Thalib agar tidur di tempat pembaringan beliau,
dan berselimut dengan selimut beliau. Hal demikian beliau lakukan
adalah untuk mengelabui kaum musyrik Makkah. Ali pada hakikatnya
mempertaruhkan jiwa raganya demi membela agama Allah. Disini sekali lagi
kita hendak memetik pelajaran dari peristiwa ini, apa sebenarnya arti
hidup ini menurut pandangan agama ?
Hidup bukanlah hanya sekedar menarik dan
menghembuskan nafas. Sebab Al-Quran memberikan i’tibar kepada kita. Ada
orang-orang yang terkubur, tetapi Al-Quran menyebutnya orang yang hidup
dan mendapat rezeki QS 3 : 169. Yang artinya: “Janganlah kamu mengira
bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan orang itu
hidup di sisi tuhannya dengan mendapat rezki” Ali Imran 169.
Demikian juga sebaliknya, ada orang-orang yang menarik dan menghembuskan nafasnya, namun dianggap sebagai orang-orang mati “Tidaklah sama orang-orang yang hidup dan
orang-orang yang mati, sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada
siapa yang di kehendakiNya QS 35:22.
Hidup dalam pandangan agama adalah kesinambungan
antara dunia dan akhirat dalam keadaan berbahagia, kesinambungan yang
melampaui usia dunia ini. Sehingga dengan demikian, tiadalah akan
bermakna hidup seseorang manakala ia tidak menyadari bahwa ia mempunyai
kewajiban-kewajiban yang lebih besar dan yang melebihi
kewajiban-kewajibannya hari ini. Setiap orang beriman wajib mempercayai
dan menyadari bahwa di samping wujudnya masa kini, masih ada lagi wujud
yang lebih kekal dan dapat menjadi lebih jauh dan lebih indah daripada
kehidupan dunia ini.
Firman Allah swt.
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah
sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus
kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih
besar kalau mereka mengetahui.
Oleh sebab itu marilah segala potensi dan
kemampuan yang kita miliki kita dayagunakan semaksimal mungkin, agar
hidup dan kehidupan kita akan lebih bermakna, dan kita di akhirat kelak
akan beroleh kebahagiaan yang lebih hakiki, dan lebih permanen. Kita
berdoa kepada Allah kiranya Allah akan memberikan kekuatan kepada kita
untuk tetap beramal dan mengabdi kepada-Nya, sehingga kita akan
memperoleh Rida-Nya.
Wallahu ‘alamu bishawab.
0 komentar:
Posting Komentar