Kita Berhak Marah
Setiap orang berhak marah, sebab kondisi kejiwaan memang menghendaki
ketika mendapatkan ujian kita langsung marah. Ujian itu banyak macam dan
bentuknya. Ada yang berupa kata celaan, gagal dalam mencapai tujuan,
dikecewakan orang lain, harga dirinya terganggu dan berbagai kondisi
lainnya. Jika sudah seperti itu, maka kemarahan seketika meluap dan
seolah memandang semua orang lain salah, hanya dia yang benar. Kemarahan
ini membuat hidupnya penuh keangkuhan dan mengabaikan hak orang lain.
Mengapa seseorang mudah marah memang tak dibaca secara psikologis saja.
Sebab marah sebagai sebuah hak hidup seseorang, dapat ditinjau dari
kehidupan sosial, budaya sebuah bangsa dan ajaran agama. Dalam struktur
kehidupan sosial, perilaku orang yang pemarah dapat berdampak kurang
baik (baca: negatif) sebab menjauhkan seorang manusia dari lingkungan
sosial di sekitarnya. Orang pemarah cenderung dijauhi, sebab banyak
orang khawatir dan takut dengan amarahnya yang mudah meledak setiap
saat. Kemarahan membuatnya sulit mendapatkan teman karena sifatnya yang
temperamental tersebut.
Manusia pemarah juga membuat orang lain segan bergaul dengan
dirinya. Ini disebabkan karakter orang pemarah membuat ketidaknyaman
dalam pergaulan. Jelas sekali, bagaimana mungkin ketika Anda berkumpul
bersama rekan sepermainan, datang sang manusia pemarah yang melarang
anda melakukan pekerjaan yang ada. Ketika anda mengajaknya bercanda
untuk mencairkan suasana, sang pemarah sibuk memarahi dan mencari
kesalahan Anda.
Sungguh kerugian terbesar bagi manusia yang mudah marah
tidak pada tempatnya.
Memang ada marah pada tempatnya? Jawabannya ada, sebab marah, cinta dan
berlaku bencilah engkau karena Allah. Seorang harus marah ketika
identitas keagamaan sebagai sebuah sumber keyakinan dalam kehidupannya
dilecehkan orang lain. Ketika beberapa waktu lalu beredat kartun Nabi
Muhammad SAW sebagai sosok panutan umat Islam digambarkan memegang bom
sebagai symbol perang, ratusan juta muslim di seluruh dunia marah.
Ketika ada Al-Qur’an diinjak tentara AS dalam sebuah perang di negara
muslim, maka seorang muslim layak marah. Tapi tentunya hidup di negara
demokratis, kemarahan disalurkan kepada lembaga penyampaian aspirasi
masyarakat yang legal, formal dan konstitusional.
Dari segi budaya, marah adalah termasuk budaya yang sudah
terbentuk sejak zaman Nabiyullah Adam as. Dalam kisah pembunuhan Habil
dan Qabil jelas terlihat bagaimana amarah mendominasi pikiran, sehingga
sekalipun hati menolak, maka tangan sudah tergerak untuk membunuh
saudaranya.
Peristiwa pembunuhan pertama kali dalam sejarah manusia itu
membuat kita menyadari betapa kemarahan menjadi bagian dari kerusakan
moralitas umat manusia.
Kedua anak Adam itu memberikan pelajaran kepada
kita semua agar selalu berusaha keras menahan amarah.
Serupa, budaya bangsa Indonesia juga dipenuhi amarah baik karena
perebutan sumber daya ekonomi (hara), persaingan kekuasaan (tahta) dan
wanita. Kita melihat secara utuh bagaimana kehancuran kerajaan Indonesia
sejak dahulu. Kisah keris Empu Gandring yang membunuh hingga tujuh
turunan adalah bukti valid bagaimana dendam memicu amarah yang tak
berkesudahan. Akibat hati yang panas, maka keris mampu melayang,
mengambil nyawa seseorang dengan melupakan nilai kemanusiaan dan hak
asasinya untuk hidup.
Pelajaran penting dalam kisah itu, kebudayaan
Indonesia harus mampu santun terhadap orang lain, jujur dalam perkataan
dan perbuatan serta mampu menahan amarahnya dengan baik.
Rasulullah bersabda mengenai keutamaan seorang muslim dalam
menahan amarahnya “barangsiapa yang mampu menahan amarahnya padahal ia
sebenarnya mampu melakukannya, maka kelak Allah memanggilnya diantara
pujian sekalian makhluk, hingga memberikan pilihan kepadanya daripada
para bidadari yang ingin dinikahi sehendak hatinya” HR Abu Dawaud, ibnu
Majah, Tirmidzi dan Ahmad)
Seorang muslim jika marah, maka perbanyaklah istigfar dan
secepatnya mengambil air wudhu. Kemarahan itu bagaikan api yang membara
dan mudah dikalahkan air. Untuk itu perintah berwudhu sangat penting
agar manusia selalu suci hati dan pikiran sehingga tidak mudah terjebak
sikap marah.
Mulai sekarang jika Anda pemarah, tanamkan sikap bahwa
kemarahan sesungguhnya mengajak kita belajar bersabar sambil memperkuat
ikhtiar dan doa. Ikhtiar adalah usaha sederhana dalam mengejar sesuatu
yang sudah menjadi tujuannya. Sedangkan doa adalah senjata orang beriman
dalam proses apa yang diminta sehingga mampu tercapai sesuai keinginan.
0 komentar:
Posting Komentar