Jumat, 18 Maret 2016

Bolehkah Kita Marah

Kita Berhak Marah

Setiap orang berhak marah, sebab kondisi kejiwaan memang menghendaki ketika mendapatkan ujian kita langsung marah. Ujian itu banyak macam dan bentuknya. Ada yang berupa kata celaan, gagal dalam mencapai tujuan, dikecewakan orang lain, harga dirinya terganggu dan berbagai kondisi lainnya. Jika sudah seperti itu, maka kemarahan seketika meluap dan seolah memandang semua orang lain salah, hanya dia yang benar. Kemarahan ini membuat hidupnya penuh keangkuhan dan mengabaikan hak orang lain.

Mengapa seseorang mudah marah memang tak dibaca secara psikologis saja. Sebab marah sebagai sebuah hak hidup seseorang, dapat ditinjau dari kehidupan sosial, budaya sebuah bangsa dan ajaran agama. Dalam struktur kehidupan sosial, perilaku orang yang pemarah dapat berdampak kurang baik (baca: negatif) sebab menjauhkan seorang manusia dari lingkungan sosial di sekitarnya. Orang pemarah cenderung dijauhi, sebab banyak orang khawatir dan takut dengan amarahnya yang mudah meledak setiap saat. Kemarahan membuatnya sulit mendapatkan teman karena sifatnya yang temperamental tersebut. 

Manusia pemarah juga membuat orang lain segan bergaul dengan dirinya. Ini disebabkan karakter orang pemarah membuat ketidaknyaman dalam pergaulan. Jelas sekali, bagaimana mungkin ketika Anda berkumpul bersama rekan sepermainan, datang sang manusia pemarah yang melarang anda melakukan pekerjaan yang ada. Ketika anda mengajaknya bercanda untuk mencairkan suasana, sang pemarah sibuk memarahi dan mencari kesalahan Anda.

Sungguh kerugian terbesar bagi manusia yang mudah marah tidak pada tempatnya. Memang ada marah pada tempatnya? Jawabannya ada, sebab marah, cinta dan berlaku bencilah engkau karena Allah. Seorang harus marah ketika identitas keagamaan sebagai sebuah sumber keyakinan dalam kehidupannya dilecehkan orang lain. Ketika beberapa waktu lalu beredat kartun Nabi Muhammad SAW sebagai sosok panutan umat Islam digambarkan memegang bom sebagai symbol perang, ratusan juta muslim di seluruh dunia marah. Ketika ada Al-Qur’an diinjak tentara AS dalam sebuah perang di negara muslim, maka seorang muslim layak marah. Tapi tentunya hidup di negara demokratis, kemarahan disalurkan kepada lembaga penyampaian aspirasi masyarakat yang legal, formal dan konstitusional.

Dari segi budaya, marah adalah termasuk budaya yang sudah terbentuk sejak zaman Nabiyullah Adam as. Dalam kisah pembunuhan Habil dan Qabil jelas terlihat bagaimana amarah mendominasi pikiran, sehingga sekalipun hati menolak, maka tangan sudah tergerak untuk membunuh saudaranya. 

Peristiwa pembunuhan pertama kali dalam sejarah manusia itu membuat kita menyadari betapa kemarahan menjadi bagian dari kerusakan moralitas umat manusia. 

Kedua anak Adam itu memberikan pelajaran kepada kita semua agar selalu berusaha keras menahan amarah. Serupa, budaya bangsa Indonesia juga dipenuhi amarah baik karena perebutan sumber daya ekonomi (hara), persaingan kekuasaan (tahta) dan wanita. Kita melihat secara utuh bagaimana kehancuran kerajaan Indonesia sejak dahulu. Kisah keris Empu Gandring yang membunuh hingga tujuh turunan adalah bukti valid bagaimana dendam memicu amarah yang tak berkesudahan. Akibat hati yang panas, maka keris mampu melayang, mengambil nyawa seseorang dengan melupakan nilai kemanusiaan dan hak asasinya untuk hidup. 

Pelajaran penting dalam kisah itu, kebudayaan Indonesia harus mampu santun terhadap orang lain, jujur dalam perkataan dan perbuatan serta mampu menahan amarahnya dengan baik. 

Rasulullah bersabda mengenai keutamaan seorang muslim dalam menahan amarahnya “barangsiapa yang mampu menahan amarahnya padahal ia sebenarnya mampu melakukannya, maka kelak Allah memanggilnya diantara pujian sekalian makhluk, hingga memberikan pilihan kepadanya daripada para bidadari yang ingin dinikahi sehendak hatinya” HR Abu Dawaud, ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad) 

Seorang muslim jika marah, maka perbanyaklah istigfar dan secepatnya mengambil air wudhu. Kemarahan itu bagaikan api yang membara dan mudah dikalahkan air. Untuk itu perintah berwudhu sangat penting agar manusia selalu suci hati dan pikiran sehingga tidak mudah terjebak sikap marah. 

Mulai sekarang jika Anda pemarah, tanamkan sikap bahwa kemarahan sesungguhnya mengajak kita belajar bersabar sambil memperkuat ikhtiar dan doa. Ikhtiar adalah usaha sederhana dalam mengejar sesuatu yang sudah menjadi tujuannya. Sedangkan doa adalah senjata orang beriman dalam proses apa yang diminta sehingga mampu tercapai sesuai keinginan.



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution