Budaya Malu Sebagai Obat Bangsa
Di sebuah jalan sunyi yang
menghubungkan ibu kota sebuah propinsi dengan kabupaten penunjangnya
kerap dilakukan operasi lalu-lintas. Beredar prasangka bahwa operasi ini
tidak dinaungi aspek legal yang mencukupi. Hingga suatu hari muncul
sebuah kehebohan.
Di tembok rendah pembatas jalan serta di sebuah baliho
iklan real estate yang berukuran cukup besar, terlihat grafiti
bertuliskan, “Bawa pulang uang haram tidak malu, tanya kenapa?” Tulisan
ini rupanya “bertuah”. Sejak itu tidak ada lagi operasi lalu-lintas yang
digelar di sana.
Fenomena ini sungguh menarik untuk
diperdebatkan. Apakah budaya malu masih mendapat tempat dalam proses
penyembuhan bangsa yang tengah sakit? Sebagai gambaran, saat ini bangsa
Indonesia tengah terjebak dalam pusaran arus involutif. Di mana
ciri-ciri kemunduran akhlak telah menggejala dan merasuki hampir semua
proses kehidupan. Perilaku dan budaya instan tidak hanya terjadi di
lembaga-lembaga formal saja melainkan sudah menjalar ke dalam institusi
rumahtangga dan keluarga.
Sebagai makhluk sosial, Allah SWT telah
mengaruniakan kemampuan kepada manusia untuk membangun komunikasi serta
interaksi. Dalam kedua proses tersebut terjalin suatu mekanisme
pendistribusian tanggung jawab. Ada hal-hal yang secara aklamasi
disepakati menjadi bagian tanggung jawab bersama (social obligation).
Dalam konteks agama biasa disebut fardhu kifayah. Social obligation ini
adalah keniscayaan yang dikaruniakan Allah dalam rangka fastabiqul
khairaat, atau berlomba untuk menyebarkan kebajikan bersama. Dan, rasa
malu merupakan salah satu parameter untuk mengukur seberapa besar
kontribusi seseorang dalam menjalankan kewajiban sosialnya.
Peran
seseorang dalam masyarakat dapat ditentukan melalui tingkat
asertifitas, atentifitas dan empatifitasnya. Budaya malu yang bersifat
inter dan transpersonal ini akan menempatkan seseorang untuk
berkontemplasi dan melakukan introspeksi diri, apakah dirinya sudah
cukup berkontribusi? Apakah dirinya sudah cukup kooperatif dan tidak
menjadi ganjalan dalam perputaran roda kehidupan umat? Apakah dirinya
sudah berada dalam posisi yang tidak mempermalukan dirinya sendiri
melalui pengaburan dan pembonsaian potensi? Efektifitas budaya
malu dan penanaman benih rasa malu sebagai bagian dari iman kiranya
tepat dijadikan sebagai salah penangkal budaya korupsi, baik yang
bersifat sistemik-struktural-kultural, maupun yang bersifat
legal-formal.
Adakah korupsi yang legal dan formal? Ada, yaitu
korupsi yang secara syariat benar tetapi diinisiasi oleh niat yang
keliru (tidak lurus). Misalnya, sekelompok eksekutif berkolaborasi
dengan sekelompok legislator untuk menghasilkan regulasi yang bersifat
menguntungkan secara sementara. Keuntungan yang diperoleh sudah ditaksir
dan diperhitungkan akan mendatangkan keuntungan bagi daerah dan
kelompoknya di waktu mereka masih berkuasa serta beberapa waktu
sesudahnya. Hanya itu saja. Niat ini jelas sedari awal sudah
mengelimininasi kemungkinan terciptanya multiplier effect yang akan
bergulir secara perlahan tapi pasti. Bahkan dapat menjamin kesejahteraan
banyak orang secara berkesinambungan (continuity and sustainable).
Upaya konstruktif untuk menghilangkan kesempatan munculnya multiplier
effect yang menguntungkan ini tentu akan dihisab sebagai proses yang
tergolong ke dalam penyakit hati (serakah, rakus, atau tamak). Banyak
kebijakan yang bisa menjadi contoh kasus. Pengenaan biaya yang tinggi
dan proses birokrasi perizinan yang rumit misalnya. Lalu pengenaan
pungutan dan pajak daerah yang hanya berorientasi pada peningkatan
pendapatan daerah tanpa disertai adanya regulasi tata ruang, peruntukan
wilayah dan penyediaan infrastruktur penunjang lainnya.
Bila
terakumulasi, kondisi ini akan melahirkan iklim bisnis tidak kondusif.
Banyak perusahaan akan buka-tutup, dan tidak langgeng dalam menjalankan
poses bisnisnya karena overhead cost yang tinggi. Dampak lanjutannya
adalah tidak terserapnya tenaga kerja lokal dan juga tidak bergulirnya
efek dan dampak mutual benefit dari sebuah lingkungan usaha (business
environment). Pendapatan asli daerah memang akan berkontraksi sesaat, di
mana pendapatan dari sektor pungutan, bea, dan pajak akan meningkat,
tapi setelah itu akan terjadi deselerasi atau perlambatan dalam proses
investasi.
Bila kita masih memiliki budaya malu, maka kebijakan
dan pengkondisian instan seperti ini akan segera kita hindari. Mengapa?
Sebab kita malu karena tidak mensyukuri nikmat Allah berupa akal budi.
Kita pun akan malu bila dikenal sebagai generasi perompak oleh anak
cucu. Generasi yang menguras harta negara yang seharusnya dimiliki
bersama serta dioptimalkan pemanfaatannya secara berkesinambungan. Dalam
kondisi kita memiliki rasa asertif, atentif dan empatif, maaliyah
ijtima’iyah (harta karun sosial) ini akan menjadi kunci pembuka gerbang
makhroja, gerbang yang mengawali sebuah jalan keluar dari berbagai macam
kebuntuan dalam hidup.
Wallaahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar