Selasa, 22 Januari 2013

Aku Jadi Anak Sepasang Bintang

Anak Sepasang Bintang

“Bunda , jadah itu artinya apa?”
Bunda tersentak waktu itu. Tak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari sela bibir mungilku. Gadis kecilnya yang baru berumur lima tahun saat itu.

“Kenapa Sayang?” Bunda bertanya sambil mendekapku di dadanya.

"Orang-orang menyebutku seperti itu,” jawabku dengan sangat polos. Memeluk Bunda semakin erat dan merasakan perlindungannya.

Kudengar Bunda menarik nafasnya berkali-kali. Barangkali sibuk merumuskan jawaban yang tepat untuk pertanyaanku yang tak diduganya sama sekali.

“Nanti kalau sudah besar kau akan tahu sendiri jawabannya!” demikianlah akhirnya suara itu yang kudengar sebagai jawaban.

Kalau mau jujur tentu aku tidak puas dengan kalimat itu. Tapi aku tidak pernah tega untuk menyakiti Bunda. Kupikir waktu itu mungkin memang Bunda tak tahu tentang apa makna dari kata-kata itu. Di waktu lainnya aku ajukan pertanyaan lain padanya.

“Bunda , apa saya punya Ayah?” tanyaku. Bunda baru saja selesai mendongeng padaku waktu itu. Bunda tertegun begitu lama.

“Kenapa?” Bunda bertanya sambil memandangku dengan matanya yang indah.

“Orang-orang itu bilang saya tak punya Ayah,” jawabku murung sambil menundukkan kepala.

“Ada!” tegas Bunda meyakinkanku.

Di mana? Kenapa aku tak bisa menemuinya? Tangan mungil ini kemudian digenggamnya. Bunda membimbingku bangkit dari tempat tidur kayu berkepinding. Mengajakku melangkah keluar rumah. Berjalan ke halaman tanpa penerangan.

“Kau lihat langit di atas sana?” Bunda bertanya tanpa melepas genggamannya. Aku mengangguk mengiyakan.

“Ayahmu ada di sana!” jawab Bunda meyakinkan.

Aku tidak melihat apa-apa. Selain langit hitam dan taburan berjuta bintang tidak ada gambar wajah manusia terlihat di sana. Tapi aku tidak ingin bertanya lagi. Rasanya aku telah mendapatkan jawabannya. Barangkali ayahku adalah satu diantara kerlip bintang-bintang itu. Aku tidak merasa sedih lagi. Besok jika anak-anak itu menggodaku lagi dan mengatakan aku tidak punya ayah aku sudah punya jawabannya. Aku akan mengatakan pada mereka bahwa aku adalah anak sebuah bintang!

Sejak kecil aku cuma punya Bunda, perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga. Perempuan yang miskin tanpa harta tapi penuh cinta. Yang selalu menyediakan dadanya untuk menyerap luka-luka. Dengan upah seadaanya sebagai tukang cuci pakaian pada beberapa keluarga Bunda selalu menabung. Katanya aku harus sekolah setinggi mungkin dan jadi orang pandai. Agar tidak bodoh dan melarat seperti dirinya.

Bunda lewati seluruh kehidupan berat sendiri. Mengasuh anak yang terus tumbuh tanpa pendamping di sisi. Tidak mudah memang. Tapi tidak sekalipun aku melihatnya berduka. Kecuali sekali pada suatu malam aku terbangun dan melihatnya mengisak di atas sehelai sajadah. Bagiku Bunda telah memberi segalanya padaku. Kecuali satu hal, kepastian tentang siapa orang yang harus kusebut sebagai ayah. Dulu waktu aku kecil aku bisa saja mengatakan aku adalah anak sebuah bintang. Tapi seiring perjalanan waktu dan aku menjadi semakin dewasa, tentu saja ucapan itu tak lagi memadai.

Seiring dengan pertambahan usia aku kian mengerti bahwa setiap orang lahir dari hubungan antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Jelas aku adalah anak seorang manusia. Bukan anak sebuah bintang seperti yang selama ini kutafsirkan. Beban inilah yang terus kusandang. Pertanyaan tentang siapa lelaki yang mesti kupanggil Ayah yang tak pernah menemukan jawab. Perlahan menjelma jadi sebuah kutukan yang mengiringi perjalanan usiaku.

Setiap kali aku menanyakan hal itu pada Bunda, cuma air matalah yang kemudian menjadi jawabannya. Seperti menguak luka yang tak pernah kering sama sekali. Lalu aku jadi tak pernah tega memaksa Bunda untuk menjawabnya. Sebab Bunda terlalu mulia untuk terluka. Aku sendiri akhirnya berusaha melupakan semua persoalan itu sendiri. Menyimpan pertanyaan dan seribu keluh di udara. Membiarkannya berkelana mencari jawab hingga ke tempat bintang-bintang terjauh.

Aku tidak ingin mengecewakan Bunda. Perjuangannya tidak boleh sia-sia. Keinginannya melihatku sekolah setinggi mungkin memacu semangatku untuk belajar dengan giat. Dan hasilnya tidak memalukan. Aku selalu berhasil mencapai gelar juara sejak duduk di bangku SD hingga SMU. Bahkan setiap tahun Bunda tidak perlu repot mencarikan aku biaya karena aku aku selalu meraih beasiswa.

Lalu kemudian aku terpaksa berpisah dengan Bunda. Aku diterima masuk tanpa test di salah satu perguruan tinggi terkemuka di kota Pontianak. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan Bunda sendiri dalam usianya yang semakin senja. Tapi Bunda bersikeras memaksa.

“Kau harus pergi. Sekolah setinggi-tingginya seperti impian Bunda!”

Maka pergilah aku meninggalkannya sendiri. Bertahun-tahun sudah aku tinggal di kota ini. Pendidikanku telah kuselesaikan dengan memuaskan. Sekarang aku bahkan telah diterima bekerja di salah satu Bank Syariah terkemuka yang baru berdiri.

Aku ingin menjemput Bunda. Mengajaknya pindah ke kota ini. Tapi Bunda menolak. Ia ingin tinggal di sana selamanya sampai kematian menjemputnya nanti. Aku sendiri tak bisa mencegahnya. Akhirnya aku tinggal di kota ini. Mengontrak rumah dengan seorang teman untuk mengirit biaya.

Kukira dengan meninggalkan tempat kelahiran aku akan bisa hidup dengan tenang. Semua mimpi buruk masa kecil tentang siapa ayahku tidak akan memburuku sampai ke kota ini. Tapi tidak. Sepertinya ia menjelma jadi kutukan yang mengikuti kemana pergi.

Aku telah dewasa kini. Telah siap untuk menikah dan berkeluarga. Sudah tiga orang lelaki shaleh yang datang mengajukan lamaran padaku. Tapi sudah tiga kali pula aku terpaksa menolaknya.

“Kamu kenapa sih? Lelaki shaleh sudah langka, lho ,” tanya Asti. Teman serumahku. Cuma padanya aku bisa cerita. Asti benar. Tapi beban berat ini

“Kau takut mereka bertanya tentang keluargamu?” ia bertanya sambil menatap mataku dalam-dalam. Persis seperti Bunda.

Aku mengangguk. Memang ini hal paling menakutkan bagi diriku. Aku sudah dewasa kini. Tak mungkin lagi mengemukakan jawaban seperti ketika aku masih kecil dulu. Aku tak mungkin mengatakan bahwa aku anak sebuah bintang.

“Jangan simpan prasangka pada Bunda. Ndak baik,”

Aku tahu. Tapi perasaan itu memburuku. Aku menduga Bunda menyembunyikan sesuatu yang buruk di masa lalunya dariku, anak satu-satunya. Dan itu terkait dengan keberadaan seorang lelaki yang harusnya kupanggil Ayah. Seorang lelaki yang tak kuketahui meski hanya selembar gambar.

Rabbi , aku hanya ingin tahu siapa lelaki yang menjadi ayahku. Hanya itu. Apa aku durhaka pada Bunda?

“Sejelek apa pun kenyataannya, Bunda tetaplah Bunda!“ Aku tertegun mendengarnya. Kulihat Asti mengeluarkan sebuah kalung dengan mata berbentuk hati dari dalam kotak perhiasannya.

“Kenang-kenangan dari ibuku,” jawabnya seperti paham dengan pertanyaan yang tak kuutarakan. Lama ia menimang perhiasan tersebut sebelum memasukkannya kembali ke kotak perhiasan.

“Di mana ibumu sekarang? Ia menggelengkan kepala dan mengangkat bahunya.

“Aku bahkan tak tahu siapa namanya. Ia meninggalkanku di depan sebuah panti asuhan yang kemudian menjadi rumah bagiku.” Aku tertegun mendengarnya. Baru kali ini ia menceritakan kisah hidupnya.

“Maaf !” Kulihat ia tersenyum.

“Tak apa. Kau beruntung, Sahabat. Meski tak punya seorang ayah kau masih punya Bunda. Perempuan yang katamu tercipta dari seribu kuntum bunga. Aku sendiri tak punya keduanya,” jawabnya tanpa melepas senyum di bibirnya.

Aku insyaf kini. Aku masih sangat beruntung mempunyai Bunda. Dalam sujudku malam itu aku menangis. Mohon kesempatan pada Allah untuk membahagiakan Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga.

Berita itu sampai lewat seorang tamu. Salah seorang tetangga kami di kampung dulu. Sengaja datang untuk mengunjungiku. Padaku ia cerita Bunda sedang sakit.

“Sebenarnya ia sakit sejak lama. Tapi tak mau cerita. Bunda bilang tak mau kalau pekerjaanmu terganggu. Tapi aku pikir kau memang perlu tahu!”

Aku jadi sangat cemas karenanya. Asti menyarankan agar aku sebaiknya meminta izin untuk pulang kampung menjenguk Bunda. Mulanya aku ragu. Sebagai seorang karyawan yang belum lama bekerja belum tentu aku mendapat izin. Tapi mereka mengerti dan aku mendapat izin untuk pulang selama dua hari.

Di rumah aku lihat Bunda terbaring di tempat tidurnya. Tempat tidur yang sama seperti masa kecilku dulu. Tempat Bunda biasa mendekap, mendongeng dan berdoa sebelum lelap menyergapku.

“Kenapa Bunda tidak memberitahuku?” tanyaku setelah mencium tangannya.

“Bunda tak mau pikiranmu terganggu,” jawabnya sambil tetap mengukir senyum di wajahnya. Tapi aku melihatnya semakin lemah saja.

“Bunda ingin mengatakan sesuatu tentang ayahmu, ia ,

“Tidak perlu, Bunda,” potongku cepat. “Jangan katakan apa-apa. Tidak ada yang perlu Bunda jelaskan tentang masa lalu. Bunda tetaplah Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga!

Aku memang sudah tidak lagi perduli. Bunda manusia biasa. Mungkin pernah khilaf di masa lalunya. Tapi bagiku kini Bunda adalah anugerah Allah terbesar dalam hidup ini.

Dua hari kemudian Bunda berpulang ke Rahmatullah. Aku harus menelpon Asti dan meminta perpanjangan izin di kantor. Tiga hari setelah pemakaman Bunda baru aku kembali ke kota.  Malam itu kembali aku menatap langit. Seperti waktu kecil dulu saat aku bertanya pada Bunda di mana ayahku. Bunda akan menunjuk ke arah langit. Tempat kegelapan malam dihiasi pendar jutaan bintang.

Bunda kini telah pergi. Menyusul ayahku di tempat yang abadi. Dan aku tahu kini. Jika seorang lelaki shaleh datang untuk melamar dan bertanya tentang keluargaku, aku akan mengatakan bahwa aku adalah anak sepasang bintang!


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution