Rabu, 30 Januari 2013

Sulit Untuk Menyatakan Kebenaran

Menjadi Minoritas

Imam Ahmad bin Hanbal, dalam bukunya Az-Zuhud, meriwayatkan bahwa suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab berjalan di sebuah pasar. Saat melintas, dia mendengar seorang laki-laki sedang berdoa.

Dalam pandangan Umar, orang itu berdoa dengan aneh dan tak biasa. Orang itu berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang yang sedikit.”

Merasa aneh dengan cara berdoa orang itu, Umar mendatanginya seraya bertanya, “Wahai hamba Allah, siapa yang engkau maksud dengan golongan orang yang sedikit itu? Dan, dari mana engkau mendapatkan doa yang demikian itu?”

Lelaki itu menjawab, “Aku mendengar Allah berfirman, ‘Dan, tidaklah beriman bersamanya (Nuh), kecuali sedikit.’ (QS Hud [11]: 40). Kemudian pada ayat lain, aku mendengar Allah berfirman, ‘Dan, hanya sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.’” (QS Saba [34]: 13). Mendengar jawaban cerdas dari lelaki itu, Umar berkata, “Setiap orang lebih faqih (ahli) daripada Umar.”

Banyak di antara kita pada zaman ini selalu larut dan hanyut dalam logika mayoritas. Kita merasa asing jika melakukan sesuatu yang mungkin dianggap melawan arus, melawan mainstream.
Kita merasa asing dan terkucilkan jika masih bertahan dengan idealisme kita, cita-cita luhur kita. Kita merasa tidak nyaman jika harus berbeda dengan orang-orang sekitar yang larut dan terbenam dalam kesalahan kolektif yang dilegalkan, korupsi kolektif kolegial, korupsi berjamaah.

Bahkan, untuk menyatakan kebenaran yang mungkin selama ini kita yakini, lidah kita menjadi kelu. Kerongkongan menjadi tersumbat. Karena, kita khawatir dan tidak ingin dicap melawan arus besar yang sedang menggusur secara masif pilar-pilar idealisme yang telah kita bangun.

Kita menjadi bisu dan tuli tatkala ada kejanggalan yang disaksikan di depan mata. Kepekaan sosial, budaya, dan politik kita menjadi tumpul dan lumpuh karena kita mengidap penyakit promayoritas. Padahal, kelompok mayoritas itu sedang berada dalam pusaran kezaliman.

Anehnya, kita juga tak lagi gusar melihat kemungkaran dipamerkan di depan mata. Mereka begitu pongah dan sombongnya mempertontonkan segala macam bentuk kemaksiatan.

Lelaki dalam kisah di atas mengajarkan pada kita bahwa kegigihan untuk bertahan di tengah arus besar pandangan dan sikap manusia itu bukanlah suatu hal yang mudah. Butuh akar iman yang menghunjam dan energi Islam yang kuat agar kita bisa melawan arus besar yang tidak sesuai dengan norma dan ajaran Islam itu.

Dan, perlu kita sadari bahwa orang yang siap untuk melakukan demikian itu sangatlah sedikit. Maka, tak ada salahnya apabila kita berdoa dengan cara yang sama seperti laki-laki itu. “Allahumma ij’alni min ‘ibadika al-qaliil. (Ya Allah, jadikanlah aku bagian dari hamba-hamba-Mu yang sedikit).” Amin.

Wallahu a’lam bis shawab.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution