Fitnah Terhadap Aisyah
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallaahu 'anha bahwa ketika orang-orang
menuduhnya berbuat serong, kemudian Allah membersihkan tuduhan tersebut
melalui wahyuNya. Az-Zuhri berkata, "Masing-masing mereka menyampaikan
hadits kepadaku tentang hadits Aisyah ini, hanya saja sebagian ada yang
lebih berbobot, kemudian saya mencari hadits yang paling kuat tentang
kisah ini, sekalipun antara hadits yang satu dengan yang lain saling
menguatkan, mereka yakin bahwa Aisyah berkata, 'Biasanya apabila
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak melakukan suatu
perjalanan jauh, beliau mengadakan undian di antara para istri beliau.
Siapa di antara mereka yang terpilih dalam undian tersebut dialah yang
akan turut serta mendampingi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pada suatu ketika, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengundi kami untuk ikut mendampingi beliau dalam suatu peperangan yang dipimpin beliau sendiri. Aku beruntung karena akulah yang keluar sebagai pemenang. Maka akulah yang berhak pergi bersama beliau. Peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat hijab (menutup muka) lalu aku dinaikkan ke dalam sebuah sekedup dan diturunkan dalam setiap perhentian.
Setelah selesai perang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan rombongan pulang kembali ke Madinah. Hampir sampai di Madinah, beliau memberi izin seluruh pasukan untuk istirahat malam. Ketika istirahat itu, aku keluar dari sekedup dan berjalan menjauhi pasukan untuk buang hajat.
Setelah selesai buang hajat, aku segera kembali ke pasukan. Ketika aku meraba dadaku, terasa kalungku yang terbuat dari permata zhafar telah putus. Karena itu aku kembali mencari kalungku sehingga aku terlambat pulang ke pasukan.
Para pengawal yang bertugas menjagaku selama dalam perjalanan telah mengangkat sekedupku dan menaikkannya ke punggung unta yang kukendarai (tanpa memeriksa lebih dahulu apakah aku ada di dalam atau tidak) lalu mereka berangkat. Mereka menyangka bahwa aku berada dalam sekedup. Ketika itu, berat badan kaum wanita sangat ringan, tidak gemuk atau bertumpuk lemak, karena hanya sedikit makan. Sehingga kalaupun aku berada di dalam sekedup, para pengawal tidak akan merasa lebih berat bila mengangkat sekedup itu. Dan ketika itu aku masih merupakan wanita muda usia. Mereka terus berjalan menggiring untaku (tanpa aku).
Aku mendapatkan kalungku kembali setelah pasukan ber-jalan agak jauh. Ketika aku tiba di tempat peristirahatan, aku dapati di sana telah sepi. Aku memutuskan untuk tetap menunggu di tempatku semula.
Karena aku berpendapat, bila rombongan tidak menemukanku tentu mereka akan kembali mencariku.
Ketika aku duduk menunggu mereka di tempat itu, aku mengantuk dan tertidur. Kebetulan Shafwan bin Mu’aththal as Sulami Zakwani yang berjalan di belakang pasukan sampai di tempatku menunggu.
Ketika itu, dia melihat sosok tubuh yang sedang tidur, dia menghampiri dan mengenaliku. Dia memang sudah pernah melihatku sebelum ayat hijab turun. Aku terbangun ketika dia dengan terkejut mengucapkan kalimah istirja’ (Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un). Dia segera menyuruh untanya merunduk, dan aku disilahkannya menaiki kendaraan itu. Sedangkan dia sendiri berjalan kaki menuntun unta sampai dapat menyusul pasukan yang di depan, sesudah mereka berhenti istirahat dari terik panas tengah hari.
Tetapi sungguh celaka, orang yang sengaja membuat fitnah terhadap diriku mengenai berita bohong itu, yang diprakarsai oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.
Setelah kami sampai di Madinah, aku jatuh sakit selama sebulan. Sementara itu dalam masyarakat telah meluas kabar bohong mengenai diriku. Tetapi ada satu hal yang membuat aku bimbang ialah sikap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak memperlihatkan kasih sayang seperti biasanya kalau aku sedang sakit. Beliau hanya datang menengokku, setelah memberi salam beliau ber-tanya, 'Bagaimana keadaanmu?'Aku tidak mengetahui sama sekali berita heboh mengenai diriku, sampai pada suatu hari setelah aku agak sembuh, aku pergi bersama Ummu Misthah ke suatu tempat untuk buang hajat. Dan kami tidak pergi ke sana kecuali hanya malam hari saja. Yang demikian itu ialah sebelum kami membuat tempat tertutup di sekitar rumah kami.
Memang sudah menjadi kebiasaan orang Arab pada masa lalu, kalau buang hajat pergi ke suatu tempat yang lapang.
Kemudian aku pulang dengan berjalan kaki bersama Ummu Misthah binti Abu Ruhm, tiba-tiba ia tersandung sandalnya, lalu menyumpahi dirinya, 'Celaka si Misthah!' Maka aku menegur, 'Alangkah jeleknya perkataanmu, Apakah engkau memaki orang yang turut serta dalam perang Badar?' Dia berkata, 'Alangkah bodohnya engkau, apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan mereka?'
Kemudian dia menceritakan kepadaku (omongan tukang-tukang fitnah yang memburuk-burukkan diriku). Semenjak itu, sakitku bertambah parah. Setelah aku sampai di rumahku, Rasulullah masuk ke kamar dan memberi salam sambil bertanya, 'Bagaimana keadaanmu?' Kemudian aku meminta kepada beliau, 'Izinkan aku pulang ke rumah orang tuaku.'
Ketika itu, aku ingin menanyakan kepada kedua orang tuaku mengenai kebenaran berita. Ternyata Rasulullah mengizinkanku. Lalu aku pulang ke rumah orang tuaku dan menanyakan kepada ibuku berita yang dipercakapkan orang mengenai diriku?
Ibuku menjawab, 'Wahai anakku! Janganlah engkau pedulikan hal itu. Demi Allah sesungguhnya tidak ada perempuan cantik di samping laki-laki yang mengasihinya dan ia mempunyai banyak madu melainkan akan diomongi orang. Aku mengucapkan, 'Subhanallah! Kalau begitu memang benarlah kiranya banyak orang membicarakan hal ini!' ujarku. Malam itu, aku menginap di sana dan air mataku mengalir tak dapat ditahan dan aku tak dapat tidur karenanya hingga subuh.
Sementara itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid karena waktu itu wahyu terhenti, untuk bermusyawah mengenai perpisahannya dengan istrinya. Adapun Usamah menyatakan bahwa dia tahu benar para istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka semuanya mencintainya. Usamah berkata, 'Para istri anda wahai Rasulullah, kami yakin benar bahwa semuanya adalah para istri yang baik.'
Sedangkan Ali bin Abi Thalib berkata, 'Wahai Rasulullah, Allah tidak akan mempersulit anda. Masih banyak wanita selain dia, jika anda menghendaki seorang gadis, tidak seorangpun yang akan menolak anda.'
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Barirah -pembantu rumah tangga Aisyah-, lalu beliau bertanya, 'Hai Barirah, adakah engkau melihat sesuatu yang mencurigakan pada Aisyah?' Barirah menjawab, 'Tidak, demi Allah yang mengutusmu dengan agama yang benar. Sungguh aku tidak melihat sedikitpun yang mencemarkan dirinya, selain hanya dia itu seorang wanita muda yang manja, yang pergi tidur meninggalkan adonan roti lalu datang hewan peliharaannya memakan adonan itu.'
Hari itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri berkhutbah, menyatakan keberatannya terhadap tuduhan yang diprakarsai Abdullah bin Ubbay bin Salul.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Siapakah di antara kalian yang setuju dengan penolakanku atas tuduhan yang telah mencemarkan nama baik keluargaku? Demi Allah! Aku yakin keluargaku bersih dari tuduhan kotor yang tidak benar itu. Mereka juga telah menyebut-nyebut seorang lelaki yang aku yakin bahwa orang itu baik. Dia tidak pernah masuk ke rumahku kecuali bersamaku.'
Maka Sa’ad bin Muadz berdiri lalu berkata, 'Wahai Rasulullah! Demi Allah, saya membela anda dalam masalah ini. Jika tuduhan itu datang dari Suku Aus, kami penggal lehernya. Dan jika datangnya dari saudara-saudara kami suku Khazraj, kami menunggu perintah anda, apa yang anda perintahkan, segera kami laksanakan.'
Sa’ad bin Ubadah lalu berdiri. Dia pemimpin Khazraj dan orang shalih tetapi diperdayakan oleh rasa kesukuan. Lalu dia berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz, 'Demi Allah! Engkau bohong! Engkau tidak boleh membunuhnya dan engkau memang tidak sanggup melakukannya.'
Usaid bin Hudhair berdiri dan berkata, 'Demi Allah, engkaulah yang bohong, kapan saja dan di mana saja kami sanggup membunuhnya. Sebenarnya engkau munafik karena membela orang-orang munafik.'
Pertengkaran antara dua suku Aus dan Khazraj itu menjadi hangat, sehingga hampir terjadi perkelahian antara mereka. Tetapi Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam yang ketika itu berada di atas mimbar, turun untuk menenangkan mereka, sehingga mereka diam dan Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam pun diam.
Aisyah berkata, 'Seharian kerjaku menangis, air mataku tidak putus-putusnya dan aku tidak pernah bisa tidur. Pagi harinya ibu bapakku berada di sisiku. Sementara aku telah menangis sehari dua malam, hingga seakan-akan tangisku itu mengiris hatiku. Ketika keduanya sedang duduk di sisiku, sementara aku terus menangis, tiba-tiba datang perempuan Anshar minta izin masuk, lalu aku izinkan. Iapun duduk sambil menangis bersamaku.
Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk dan duduk. Semenjak berita bohong itu tersiar, beliau tidak pernah duduk di sampingku. Dan sudah satu bulan, beliau tidak menerima wahyu mengenai keadaanku.
Nabi mengucapkan syahadat kemudian beliau bersabda, 'Wahai Aisyah! Telah sampai kepadaku berita mengenai dirimu begini, begini. Kalau engkau bersih dari tuduhan itu, maka Allah Ta'ala akan membebaskanmu. Tetapi kalau engkau berbuat dosa maka mohonlah ampunan kepada Allah dan tobatlah kepada-Nya. Karena apabila seorang hamba sadar mengakui dosanya, kemudian ia bertaubat, niscaya Allah menerima taubatnya.'
Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai mengucapkan kata-kata itu, keringlah air mataku hingga tiada terasa setetespun. Aku berkata kepada ayahku, 'Ayah, tolong ayah menjawab pertanyaan Rasulullah.' Ayahku menjawab, 'Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian aku meminta kepada Ibuku agar berkenan menjawab. Ibuku menjawab, 'Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.'
Maka terpaksa aku sendiri yang harus menjawabnya, 'Aku ini seorang wanita yang masih muda yang belum banyak mengetahui isi al-Qur’an. Demi Allah, sekarang aku telah tahu bahwa anda telah mendengar apa yang diperbincangkan orang banyak dan telah merasuk ke dalam hati anda, dan tampaknya anda seperti membenarkan berita itu. Walaupun aku mengatakan kepada anda bahwa aku bersih dari tuduhan itu. Demi Allah, hanya Allah saja Yang Mahatahu bahwa aku memang bersih, anda tentu tidak akan mempercayaiku juga. Dan seandainya aku mengatakan bahwa aku telah bersalah dan berbuat dosa, demi Allah, Dia jugalah Yang Maha Mengetahui bahwa aku bersih, tentu anda akan mempercayainya. Demi Allah, aku tidak memperoleh sebuah contoh pun yang paling tepat mengenai peristiwa ini, selain perkataan yang diucapkan oleh Nabi Ya’qub ayah Nabi Yusuf, dia berkata, 'Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kamu ceritakan.' (Yusuf :18).
Kemudian aku berpaling dan pindah ke tempat tidurku, sambil mengharapkan pertolongan dari Allah. Tetapi demi Allah, saya benar-benar tidak mengira bahwa akan turun wahyu mengenai permasalahanku. Hal ini, karena kasus itu sangat cemar (aib) terasa olehku untuk disebutkan dalam al-Qur’an. Tetapi aku hanya berharap, semoga Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam melihat dalam mimpi beliau di mana Allah ta'ala memperlihatkan kepada beliau bahwa aku sungguh-sungguh bersih.
Maka, demi Allah, belum lagi Rasulullah meninggalkan tempat duduk beliau, dan belum ada seorangpun yang keluar dari rumah, Allah menurunkan wahyu. Terlihat Nabi seperti orang yang keberatan memikul beban yang sangat berat, sebagaimana biasanya apabila wahyu sedang diturunkan kepada beliau, sehingga beliau bersimbah peluh.
Ketika wahyu telah selesai turun kepada Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam, beliau tertawa. Kalimat yang mula-mula diucapkan beliau kepada saya adalah, 'Wahai Aisyah, bersyukurlah kepada Allah, sesungguhnya Dia telah membebaskanmu dari tuduhan itu.' Ibuku berkata kepadaku, 'Berdirilah engkau dan mintalah maaf kepada Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam! Jawabku, 'Tidak, demi Allah, aku tidak perlu meminta maaf kepada beliau. Aku hanya akan memuji Allah. Kemudian Allah menurunkan ayat, artinya, 'Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga.' (An-Nur: 11).
Setelah Allah menurunkan wahyu tentang terbebasnya aku dari tuduhan itu, Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, -Ketika itu beliau biasa memberi nafkah kepada Misthah bin Utsatsah, sebagai keluarga dekatnya- 'Demi Allah, aku tidak akan lagi memberikan bantuan kepada Misthah selama-lamanya. Karena Misthah salah satu orang yang suka membeberkan masalah ini.' Maka turun pula wahyu yang melarang penghentian bantuan tersebut, artinya, 'Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.' (An-Nur: 22).
Kemudian Abu bakar berkata, 'Ya, demi Allah, aku lebih senang sekiranya Allah mengampuniku.' Lalu Abu Bakar kembali memberi uang belanja kepada Misthah sebagaimana biasanya.
Begitu juga, ketika itu Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam menanyakan permasalahanku ini kepada Zainab binti Jahsy. Beliau bersabda, 'Wahai Zainab, apa yang engkau ketahui selama ini tentang Aisyah?' Zainab menjawab, 'Aku pelihara pendengaran dan penglihatanku, demi Allah, aku tidak mengetahuinya, selain ia adalah wanita yang baik.'
Dialah wanita yang meninggikan derajatku, sehingga Allah melimpahkan karunia sifat wara’ kepadanya.
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK:
1. Anjuran untuk menggilir istri bagi seorang suami yang memiliki beberapa orang istri.
2. Diperbolehkan menceritakan keutamaan atau kelebihan seseorang
sekalipun nanti ada yang memuji atau mencelanya. Hal ini dimaksudkan
untuk menghilangkan praduga yang bersifat buruk pada seseorang jika
pada dasarnya ia memang orang yang baik dan untuk menasehati orang yang
menyangsikan kebaikannya.
3. Diperbolehkan menyusun persiapan ucapan sebelum berlangsung pembicaraan jika memang diperlukan.
4. Sekedup berfungsi sebagaimana rumah yang dapat digunakan seorang wanita untuk menutupi auratnya.
5. Diperbolehkan seorang wanita berada dalam sekedup di atas unta sekalipun mempersulit dan melelahkannya.
6. Diperbolehkan orang yang bukan mahram bagi seorang wanita untuk membantunya dari balik hijab.
7. Seorang wanita diperbolehkan berhijab tidak dengan sesuatu yang harus menempel dengan badannya.
8. Diperbolehkan seorang wanita keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya seorang diri dan tanpa izin secara khusus dari suaminya tetapi dengan berdasarkan izin suami yang secara umum karena kebiasaan yang berlaku.
9. Seorang wanita dalam perjalanan dibolehkan memakai perhiasan seperti kalung dan lainnya, atau menyimpan/mem-bawa uang sekalipun sedikit supaya tidak menghambur-ham-burkan uang
10. Keburukan yang ditimbulkan sifat tamak dalam harta kekayaan, sebab sekiranya Aisyah tidak menghabiskan waktu yang cukup lama dalam mencari kalungnya yang hilang tentu akan cepat kembali setelah menunaikan hajatnya.
11. Diperbolehkan pasukan tentara menghentikan perjalanan atas izin pemimpinnya.
12. Pembagian tugas pasukan perang; ada yang bertugas sebagai penjaga keamanan, membantu dan mengangkat orang lemah, meneliti barang yang hilang atau jatuh di perjalanan.
13. Anjuran mengucapkan Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un pada saat ditimpa musibah.
14. Anjuran seorang wanita agar menutup wajahnya dari pandangan lelaki yang bukan mahram.
15. Anjuran untuk menolong seseorang yang didzalimi, memberi makan orang yang kehabisan bekal, membantu orang yang kehilangan barang, menghormati orang yang mulia dan mempunyai kedudukan di masyarakat, mempersilahkan orang lain ikut serta naik dalam kendaraannya dan menanggung penderitaan orang lain.
16. Memperlakukan wanita dengan baik sekalipun bukan mahramnya terlebih lagi saat berkhalwat.
17. Bersikap lemah lembut terhadap istri, menggaulinya dengan baik, dan memberi maaf atas kekurangannya dan hendaknya tidak menyebar luaskan rahasia kehidupan rumah tangganya.
18. Hendaknya seorang wanita jika ingin keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya ditemani salah seorang keluarganya yang dirasa mampu menjaga kehormatannya.
19. Hendaknya seorang muslim membela muslim lainnya terutama kepada orang-orang yang mempunyai keutamaan, dan hendaknya menghalangi orang-orang yang akan menyakiti mereka.
20. Menerangkan keutamaan orang-orang yang ikut serta dalam perang Badar.
21. Larangan mencela orang lain, atau menyumpahinya atau mencelakakannya dengan ucapan.
22. Bertabayyun terhadap kabar buruk.
23. Anjuran untuk bertasbih saat mendengar suatu yang dianggap sebagai kebohongan.
24. Keterikatan seorang wanita jika ingin keluar rumah yakni setelah mendapat izin suaminya, sekalipun ke rumah kedua orangtuanya.
25. Anjuran untuk meminta pendapat kepada orang-orang yang memahami suatu urusan dalam lingkungan keluarganya.
26. Ketika memberikan rekomendasi (tazkiyah) kepada seseorang hendaknya menggunakan kalimat, 'Kami tidak mengetahuinya kecuali selalu baik.'
27. Harus mantap saat memberikan kesaksian.
28. Ta’ashub dengan kelompok yang batil tidak termasuk usaha mendamaikan yang bersengketa.
29. Hendaknya menyudahi/mengakhiri suatu petengkaran dan memupus tersebarnya fitnah.
30. Anjuran untuk menjauhi seseorang yang nyata-nyata menentang Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam sekalipun dia termasuk keluarga dekat kita.
31. Barangsiapa menyakiti Nabi shallallohu 'alaihi wasallam dengan ucapan maupun perbuatan maka ia berhak untuk dibunuh.
32. Memulai pembicaraan dengan Tasyahud, Tahmid dan memuji-muji Allah dan diakhiri dengan ucapan, Amma ba’du.
33. Anjuran untuk bertaubat. Taubat seseorang yang tulus dan mengakui kesalahannya pasti diijabah.
34. Anjuran untuk mendahulukan orang tua untuk berbicara
35. Anjuran kepada orang yang baru saja mendapat nikmat atau dicabut musibahnya untuk menceritakan kepada orang lain.
36. Anjuran bertasbih saat takjub atau mendengar sesuatu yang berat.
37. Larangan berghibah maupun mendengarkannya dan memperingatkan orang yang senang tenggelam di dalam ghibah tersebut.
38. Anjuran untuk menunda jatuhnya suatu sangsi jika diragukan keterlibatannya.
39. Memperlakukan wanita secara adil.
0 komentar:
Posting Komentar