Memaafkan Dan Meminta Maaf
Salah satu kekurangan manusia adalah
suka berbuat salah dan dosa. Manusia membutuhkan cara untuk menutupi
kekurangannya itu, khususnya dosa yang terarah kepada sesama manusia.
Saat orang lain berbuat salah dan dosa yang terarah kepada kita, kita
diajari untuk memaafkan. Saat kita berbuat salah dan dosa kepada orang
lain, kita diajari untuk meminta maaf. Tulisan ini akan melakukan kajian
terhadap dua hal di atas, yaitu memaafkan dan meminta maaf.
Sabar dan Memaafkan
Dalam kehidupan sehari-hari ada saja
perbuatan orang lain yang tidak berkenan bahkan menyakitkan hati kita.
Bila kita menyimpannya dalam hati, rasa sakit itu ternyata menimbulkan
berbagai dampak fisik dan psikologis. Sakit hati membahayakan kesehatan
jantung dan sistem peredaran darah (William & William, 1993),
kanker, tekanan darah, tukak lambung, flu, sakit kepala, sakit telinga.1
Sakit hati juga menjadikan hati manusia dipenuhi marah, dendam dan
benci kepada orang lain yang dipersepsi merugikannya. Ini menjadi sumber
stres dan depresi manusia. Hati yang dipenuhi energi negatif, akan
mengarahkan individu untuk berkata-kata yang destruktif, baik dalam
bentuk rerasan, pengungkapan kemarahan di depan publik, maupun hujatan. Dampak lebih jauh adalah kekerasan, termasuk di dalamnya mutilasi.
Bagaimana semestinya kita menyikapi perilaku orang lain yang mengganggu kita? Jawaban pertama adalah kesabaran. Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَىْءٍ مِنَ اْلخَوْفِ وَاْلجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ
”Dan sungguh Kami akan berikan
cobaan kepadamu, dengan ketakutan, kelaparan, kehilangan harta dan jiwa.
Namun, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu
orang yang apabila ditimpa musibah mengucapkan ‘sesungguhnya kami milik
Allah dan kepada-Nyalah kami kembali’ (inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un) (QS al-Baqarah [2]: 155).
Seharusnya yang menjadi kepastian dalam
diri kita adalah apapun yang terjadi, termasuk perilaku orang lain yang
menyakitkan hati kita, terjadi karena Allâh ‘Azza wa Jalla
mengizinkannya. Tidak mungkin suatu peristiwa terjadi kalau Allâh tidak
mengizinkannya. Seekor nyamuk tak akan menyentuh kulit apalagi sampai
menghisap darah kita kalau Allâh tidak mengizinkan. Tidak mungkin ada
tamparan mendarat di muka kita kalau Allâh tidak mengizinkan. Kalau
Allâh menghendaki atau mengizinkan suatu kerugian menimpa kita, pasti
Allâh punya maksud. Maksud utamanya adalah menguji kita dengan cara
memberi cobaan kepada kita. Bila punya cara berpikir ilahiyah
sebagaimana di atas, maka kita akan sampai kepada pemahaman “ Allâh
sedang menguji saya”. Orang yang mampu bersabar, maka Allâh bersamanya. Innallâha ma’a al-Shâbirîn.
Menarik untuk menjadi catatan kita sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sofyan Trenggana.2
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara intensitas puasa
(senin-kamis) dengan kesabaran. Puasa melatih seseorang untuk
merelevankan setiap perilakunya dengan Allâh. Puasa senin dan kamis,
sebagaimana penelitian di atas, dapat mengubah diri seseorang untuk
menjadi lebih sabar. Lebih-lebih kalau puasa itu dilakukan secara
terus-menerus sebagaimana halnya kita lakukan di bulan ramadhan.
Pastilah efek yang ditimbulkannya lebih besar, dalam hal ini adalah
melatih kesabaran seseorang.
Jawaban kedua adalah memaafkan. Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيْثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوْبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُوْنَ اْلكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهِ وَنَسُوْا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوْا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيْلاً مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ (١٣)
“(tetapi) karena mereka melanggar
janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras
membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya dan
mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah
diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat
kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak
berkhianat). Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Mâ’idah [5]: 13).
Memaafkan adalah proses untuk menghentikan perasaan dendam, jengkel, atau marah karena merasa disakiti atau dizhalimi. Pemaafan (forgiveness) sendiri, menurut ahli psikologi Robert D. Enright,3
adalah kesediaan seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian
negatif, dan perilaku acuh-tidak-acuh terhadap orang lain yang telah
menyakitinya secara tidak adil. Melengkapi pandangan Enright di atas,
Thompson4
mendefinisikan pemaafan sebagai upaya untuk menempatkan peristiwa
pelanggaran yang dirasakan sedemikian hingga respon seseorang terhadap
pelaku, peristiwa, dan akibat dari peristiwa yang dialami diubah dari
negatif menjadi netral atau positif.
Memaafkan memang tidak mudah. Butuh
proses dan perjuangan untuk melakukannya. Adanya kebaikan bagi diri kita
dan bagi orang lain akan menjadikan memaafkan menjadi sesuatu yang
mungkin dilakukan. Seorang ahli psikologi dari Universitas Stanford
California, Frederic Luskin,5
pernah melakukan eksperimen memaafkan pada sejumlah orang. Hasil
penelitian Luskin menunjukkan bahwa memaafkan akan menjadikan seseorang:
(a) Jauh lebih tenang kehidupannya. Mereka juga (b) Tidak mudah marah,
tidak mudah tersinggung, dan dapat membina hubungan lebih baik dengan
sesama. Dan yang pasti, mereka (c) Semakin jarang mengalami konflik
dengan orang lain.
Para ahli psikologi mempercayai bahwa memaafkan memiliki efek yang sangat positif bagi kesehatan. Pemaafan (forgiveness)
merupakan salah satu karakter positif yang membantu individu mencapai
tingkatan optimal dalam hal kesehatan fisik, psikologis, dan spiritual.
Pada beberapa tahun belakangan, pemaafan semakin populer sebagai
psikoterapi atau sebagai suatu cara untuk menerima dan membebaskan emosi
negatif seperti marah, depresi, rasa bersalah akibat ketidakadilan,
memfasilitasi penyembuhan, perbaikan diri, dan perbaikan hubungan
interpersonal dengan berbagai situasi permasalahan.6
Pemaafan selanjutnya secara langsung mempengaruhi ketahanan dan
kesehatan fisik dengan mengurangi tingkat permusuhan, meningkatkan
sistem kekebalan pada sel dan neuro-endokrin, membebaskan antibodi, dan
mempengaruhi proses dalam sistem saraf pusat.7
Pada saat berpuasa, kesediaan kita untuk
memaafkan juga tinggi. Kita memiliki semangat yang tinggi untuk
memperoleh pahala dan menguras dosa-dosa kita. Maka, saat lebaran
datang, kita bahkan mengobral pemaafan. Semoga pemaafan tidak hanya di
bibir, tapi sampai di hati. Allâh ‘Azza wa Jalla melalui al-Qur’ân memberikan resep agar pemaafan tuntas, yakni memohonkan ampunan bagi mereka serta bermusyawarah.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى اْلأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلمَتَوَكِّلِيْنَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali ‘Imron [3]: 159)
Termasuk pengertian
memohonkan ampun bagi mereka adalah mendoakan kebaikan bagi mereka,
mengusahakan kebaikan bagi mereka, dan sebagainya. Melalui ayat
tersebut, Allah juga memerintahkan manusia agar luka yang pernah ada
jangan sampai semakin menganga dikarenakan munculnya sebab kemarahan,
yaitu dengan bermusyawarah. Oleh karena itu, bermusyawarahlah
sebagaimana disampaikan ayat di atas dimaksudkan agar dua orang atau
lebih yang pernah konflik hendaknya membuat kesepakatan-kesepakatan
sebelum bekerjasama lagi agar peristiwa yang menyakitkan hati tidak lagi
terulang.
Meminta Maaf
Dalam kehidupan sehari-hari begitu
banyak perkataan kita sampaikan ke orang lain dan begitu banyak
perbuatan yang kita tunjukkan ke orang lain. Di antara puluhan hingga
ratusan kata dan perbuatan itu, sangat mungkin sebagian di antaranya
menyebabkan orang lain marah.
Dalam al-Qur’an, sebagaimana diungkapkan
ahli tafsir terkemuka di Indonesia, Prof. Dr. Quraish Shihab, tidak
ditemukan perintah untuk meminta maaf. Namun, dalam al-Hadits ditemukan
perintah untuk berusaha dihalalkan dosa-dosa kita kepada saudara kita,
yang berarti kita diminta untuk meminta maaf atau dimaafkan. Hal ini
sebagaimana diungkapkan sebuah hadis Nabi saw. Abu Hurairah berkata,
telah bersabda Rasulullah saw, “Barangsiapa pernah melakukan
kedzaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau
sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini,
sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika
dia memiliki amal shaleh, akan diambil darinya seukuran kedzalimannya.
Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari
keburukan saudara (yang dizalimi) kemudian dibenankan kepadanya. (HR al-Bukhari).
Salah satu pengetahuan yang sudah lama
kita simpan berkaitan dengan masalah ini adalah dosa orang tidak
dimaafkan kecuali korban atau orang yang dirugikan memberi maaf. Memang
ada kemungkinan orang yang menjadi korban dari perbuatan dzalim kita
akan memberi maaf. Namun, ada kemungkinan juga dia tidak memberikan
maaf. Dia simpan kebencian dan kemarahan dalam hatinya. Kalau itu yang
terjadi, dosa tetap tersandang dalam diri kita.
Karenanya, pilihan yang lebih proaktif,
yaitu meminta maaf, menjadi pilihan yang lebih menjamin kepastian
dihapuskannya dosa-dosa. Meminta maaf jelas merupakan salah satu bentuk
kerendahhatian (tawadhu’) pribadi dan tentu juga merupakan salah satu bentuk keberanian manusia.
Salah satu berita bersejarah di
Indonesia adalah pemintaan maaf Kapolri Bambang Hendarso Danuri kepada
keluarga almarhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid. Permintaan maaf ini
diajukan Kapolri karena di depan Komisi III DPR RI Kapolri mengaitkan
almarhum Nurcholish Madjid dengan dua pimpinan non-aktif KPK.8 Apa yang dilakukan oleh Kapolri merupakan perilaku seorang gentleman.
Sikap rendah hati beberapa
waktu berselang juga ditunjukkan oleh Kevin Rudd (PM Australia). Rudd
meminta maaf kepada warga Australia yang terlupakan (Forgotten Australians),
yaitu anak-anak dari keluarga tidak mampu dari Inggris yang dibawa ke
Australia dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi,
yang terjadi malah sebaliknya. Mereka dititipkan di tempat penampungan
di Australia itu umumnya mengalami penyiksaan fisik, pelecehan, dan juga
ditelantarkan.9
Bangsa-bangsa di dunia ini menyikapi
kesalahan kepada orang lain yang dilakukannya dengan cara yang
berbeda-beda. Orang-orang Eropa dan Amerika banyak yang tampil gentle. Gentleman adalah
laki-laki yang memiliki budi pekerti atau perilaku dengan standar
tinggi. Salah satu ciri penting yang mereka miliki adalah kesediaan
untuk meminta maaf. Mereka segera meminta maaf begitu kesalahan itu
mereka lakukan.
Menteri Kehakiman Inggris, Jack Straw,
secara terbuka meminta maaf atas pernyataan kontroversialnya tentang
burka (baca: cadar -editor) beberapa tahun lalu, dalam pertemuannya
dengan muslim yang menjadi konstituen partainya di Blackburn, Inggris.
Sebelumnya, tepatnya pada Oktober 2006, Straw pernah meminta konstituen
perempuan muslim untuk membuka burka atau cadar mereka selama pertemuan.
Ia berdalih merasa kurang nyaman berbicara dengan orang yang wajahnya
tertutup, karena tidak bisa melihatnya. Kini, ia menyesali tindakannya
itu, yang telah menimbulkan opini negatif publik berkepanjangan hingga
tudingan rasis pada dirinya. “Saya menyesal telah menimbulkan masalah,
dan saya minta maaf untuk itu.”10
Beberapa waktu lalu, seorang pemain sepakbola Birmingham City (Martin Taylor) melakukan tackling
maut kepada Eduardo da Silva, pemain Arsenal. Tackling ini menyebabkan
Edu harus istirahat bermain bola selama 8 bulan. Taylor segera meminta
maaf. Dengan cepat Edu pun memberi maaf: “Saya memaafkan Martin
(Taylor). Saya tahu ia tak sengaja melakukannya,” tutur Edu. Selain itu,
pemain Wolfsburg, Grafite (yang tahun 2009 mengantarkan Wolfsburg
menjadi juara Bundesliga-Jerman) meminta maaf kepada pendukung Wolfsburg
karena dirinya bersikap tak pantas saat ia diganti oleh pemain lain.
Striker Wolfsburg Grafite menyatakan permintaan maaf melalui ungkapan
lisannya dan melalui sebuah aksi sosial. Grafite merogoh koceknya
sebesar 10 ribu euro atau sekitar 138 juta rupiah untuk didonasikan
untuk yayasan sosial yang membantu anak-anak kecil.
Kita percaya bahwa sekalipun suatu
perbuatan salah atau memalukan kita lakukan, tetap ada jalan bagi
seseorang untuk memperbaiki diri. Jalan untuk menghapus perbuatan yang
memalukan atau perbuatan salah adalah menghapus kesalahan dengan jalan
sosial (meminta maaf kepada orang lain) dan spiritual (bertaubat kepada
Tuhan) dan melakukan perbuatan yang baik dengan jalan sosial (berbuat
positif kepada sesama) dan spiritual (berbuat baik kepada Allâh).
Satu hal positif yang semestinya
dilakukan untuk menghapus perbuatan salah adalah meminta maaf. Kalau
perbuatan salah itu terarah kepada seseorang, pemintaan maaf mestinya
diarahkan kepada seseorang atau keluarga yang menjadi korban. Bila
kesalahan itu tertuju kepada banyak orang, maka permintaan maaf itu
semestinya dilakukan secara terbuka, melalui pers. Sebagai contoh, Sri
Sultan Hamengkubuwono X meminta maaf kepada warga Yogyakarta, karena
beliau tidak berhasil menyukseskan mandat masyarakat Yogya agar beliau
menjadi RI-1.
Selain itu, permintaan maaf sesungguhnya
punya manfaat agar orang-orang yang menjadi objek dari perbuatan salah
tidak melakukan tindakan yang destruktif dan agresif.11
Sebagaimana kita ketahui, seringkali orang yang menjadi objek
kezhaliman melakukan pembalasan dengan cara yang lebih keras. Temuan
dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa agresivitas lebih sering
didasari oleh alasan membalas perkataan atau perbuatan agresif orang
lain. Dalam hal ini yang jadi permasalahan adalah balasan itu umumnya
lebih keras dibanding rasa sakit yang diterima seseorang.
Permintaan maaf ini berguna untuk
meredam amarah yang ada dalam diri orang yang dizhalimi. Penyesalan atas
kata-kata atau perbuatan di masa lalu serta janji untuk tidak
mengulangi perbuatan salah berfungsi untuk meredam amarah yang
bergejolak dalam diri seseorang yang disakiti. Apa yang dilakukan
Kapolri pada saat ini merupakan langkah yang tepat, karena sikap
masyarakat terhadap Polri saat ini, lebih-lebih setelah berlangsungnya
episode cicak versus buaya, boleh dibilang kurang bersimpati. Akan lebih
terasa lagi kekuatan permintaan maaf itu bila Kapolri melakukannya di
hadapan Komisi III DPR RI, arena di mana Kapolri melontarkan tokoh
berinisial N terlibat dalam kasus Bibit-Chandra.
Sikap yang ditunjukkan Kapolri jauh
lebih positif dibanding sikap yang ditunjukkan sejumlah nama yang muncul
dalam rekaman KPK berkaitan dengan episode cicak versus buaya. Ketika
nama seseorang disebut-sebut bersalah oleh masyarakat, banyak di antara
mereka yang sibuk menyewa pengacara untuk memperkuat alibi tidak
bersalah. Mereka juga sibuk berbicara di media massa bahwa mereka tidak
terlibat. Saya rasa akan lebih gentle bila mereka mengatakan minta maaf dan siap untuk diproses secara hukum. Demikian.
Bagaimana menurut Anda?
MARÂJI’
Al-Munzhiri, Z.D. 2002. Ringkasan Shahih Muslim. Bandung: Penerbit Mizan
Baron, R.A. & Byrne, D. 2004. Social Psychology: Undersatnding Human Interaction. Boston: Allyn and Bacon.
Enright, R.D. (20 Martin, Anthony Dio. 2003. Emotional Quality Management: Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Penerbit Arga.
Martin, A.D. 2003. Emotional Quality Management: Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Penerbit Arga.
Pennebaker, J.W. 2002. Ketika Diam Bukan Emas. Bandung: Mizan.
Ramadan, T. 2007. Muhammad Rasul Zaman Kita. Jakarta: Penerbit Serambi.
Shihab, M.Q. 2001. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan Media Utama.
Thompson, L.Y., Snyder, C.R., Hoffman,
L., Michael, S.T., Rasmussen, H.N., Billings, L.S., Heinze, L., Neufeld,
J.E., Shorey, H.S., Roberts, J.C., & Robert, D.E., 2005.
Dispositional Fogiveness of Self, Other, and Situation. Journal of Social and Personality Psychology, 73 (2), 313-359.
Tim Pnerjemah Depag. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departeman Agama R.I.
Trenggana, S. 2008. Hubungan antara Intensitas Puasa Senin Kamis dan Kesabaran. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.
Walton, E. 2005. Therapeutic Forgiveness: Developing A Model For Empowering Victims Of Sexual Abuse. Clinical Social Work Journal, 33 (2), 193-207.
Worthington, E.L., & Scherer, M.
2004. Forgiveness Is An Emotion-Focused Coping Strategy That Can Reduce
Health Risks And Promote Health Resilience: Theory, Review, And
Hypotheses. Psychology and Health, 19 (3), 385–405.
Abi Hurairah (semoga Allah meridoinya)
berkata, telah bersabda Rasulullah Saw., “Barangsiapa pernah melakukan
kezaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut
* Penulis
adalah dosen psikologi sosial Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya
UII & Ketua Umum PP Asosiasi Psikologi Islami.
1 Pennebaker, J.W. Ketika Diam Bukan Emas. Bandung: Mizan. 2002.
2 Sofyan Trenggana. Hubungan antara Intensitas Puasa Senin Kamis dan Kesabaran. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII. 2008.
3 Enright, R.D. (20 Martin, Anthony Dio. Emotional Quality Management: Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Penerbit Arga. 2003.
4
Thompson, L.Y., Snyder, C.R., Hoffman, L., Michael, S.T., Rasmussen,
H.N., Billings, L.S., Heinze, L., Neufeld, J.E., Shorey, H.S., Roberts,
J.C., & Robert, D.E., Dispositional Fogiveness of Self, Other, and
Situation. Journal of Social and Personality Psychology, 73 (2), 313-359. 2005.
5 Martin, A.D. Emotional Quality Management: Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Penerbit Arga. 2003.
6 Walton, E. Therapeutic Forgiveness: Developing A Model For Empowering Victims Of Sexual Abuse. Clinical Social Work Journal, 33 (2), 193-207. 2005
7
Worthington, E.L., & Scherer, M. Forgiveness Is An Emotion-Focused
Coping Strategy That Can Reduce Health Risks And Promote Health
Resilience: Theory, Review, And Hypotheses. Psychology and Health, 19 (3), 385–405. 2004.
8 Kedaulatan Rakyat, 23/11/2009
9 Republika, 18/11/2009
11 Baron, R.A. & Byrne, D. Social Psychology: Undersatnding Human Interaction. Boston: Allyn and Bacon. 2004.
0 komentar:
Posting Komentar